Penangan Kasus Korupsi Masih Lamban

Rabu, 10 Desember 2014 - 16:48 WIB
Penangan Kasus Korupsi Masih Lamban
Penangan Kasus Korupsi Masih Lamban
A A A
SURABAYA - Penuntasan kasus korupsi di Jatim selama 2014 masih lamban. Berdasarkan data yang ada di Kejati Jatim, pada kurun waktu 2014 tercatat ada 130 kasus korupsi yang tengah ditangani.

Dari jumlah tersebut, 66 kasus di tahap penyidikan, sedangkan yang 64 kasus masih proses penyelidikan. Sementara kasus korupsi yang masuk proses penyidikan di Kejati Jatim sepanjang 2014 tercatat ada 119 kasus. Ini terdiri dari 66 kasus penyidikan di tahun 2014 dan 53 kasus penyidikan dari kasus korupsi tahun sebelumnya.

Sebanyak 71 kasus korupsi dari 119 kasus yang masuk tahap penyidikan tersebut telah dilimpahkan ke pengadilan. Sisanya 48 kasus masih tetap proses penyidikan. Total kasus yang berhasil dilimpahkan ke pengadilan tahun 2014, yakni 149 perkara karena di dalamnya termasuk 78 perkara tahun sebelumnya.

“Kasus korupsi sudah disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi selama 2014 ada 149 perkara dan dari jumlah itu, 43 perkara sudah diputusdan masih ada 106 perkara dalam persidangan,” kata Kasi Penerangan dan Hukum (Penkum) Kejati Jatim Romy Arizyanto.

Ada juga perkara korupsi yang masih pada tahap eksekusi. Romy menyampaikan bahwa pada 2014 ada 177 perkara dalam eksekusi karena yang sudah berhasil diselesaikan ada 126 perkara. Dengan demikian, masih ada 51 perkara belum dieksekusi. Dari jumlah perkara itu, Kejati Jatim berhasil menyelamatkan uang negara hingga Rp26,75 miliar.

Selain di Kejati Jatim, Polda Jatim juga menangani ratusan kasus korupsi. Ada 111 perkara korupsi yang ditangani sepanjang 2014. Kasus korupsi itu merupakan kasus laporan pada 2014 sebanyak 62 kasus dan selebihnya 49 kasus adalah laporan tahun sebelumnya.

Kabid Humas Polda Jatim Kombes Pol Awi Setiyono mengatakan, dari 111 kasus yang ditangani Polda Jatim itu, ada 89 kasus yang berhasil dilimpahkan ke kejaksaan. Dari kasus yang ditangani tersebut, kerugian negara yang diderita mencapai Rp255,59 miliar, sedangkan yang berhasil diselamatkan mencapai Rp4,14 miliar.

Dia mengungkapkan, Polda Jatim menargetkan ada 84 kasus korupsi yang berhasil dituntaskan atau berhasil dilimpahkan kekejaksaan dalam sethun ini. Namun belakangan, ada revisi target itu menjadi 43 kasus.

“Pada 2013 ditargetkan 84 kasus selesai, tapi yang berhasil diselesaikan ada 95 kasus atau mencapai 113%. Pada 2014, dari target 43 kasus, sampai saat ini yang berhasil dituntaskan sudah 89 kasus dengan persentase mencapai 206%,” kata Awi.

Usulkan Hukuman Koruptor Per Level

Mantan Hakim Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi DKI yang memvonis 20 tahun Jaksa Urip Tri Gunawan, juga Artalyta Suryani alias Ayin Madya Suhardja, mengusulkan ganjaran hukuman bagi koruptor diusulkan dibuat per level berdasar nominal kerugian.

Selain itu, jumlah anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diusulkandi perbanyak sehingga bisa menjangkau hingga daerah. Usulan itu disampaikannya pada kuliah umum bertema “Pentingnya Pendidikan Antikorupsi di Perguruan Tinggi”, di kampus Universitas Widya Kartika (Uwika) Surabaya, kemarin, untuk memaknai Hari Antikorupsi Sedunia.

“Vonis hukuman bagi orang yang terbukti korupsi harusnya dibuat per termin atau per level. Kerugian di atas Rp5 miliar hukuman mati, kerugian antara Rp2 miliar hingga Rp4 miliar hukuman seumur hidup, kerugian Rp1 miliar hukuman 20 tahun. Kerugian kurang dari Rp1 miliar bisa bervariatif antara empat, lima, hingga 10 tahun. Memang harus berat, tinggi hukumannya supaya ada syok terapi ,” kata Madya.

Madya menilai, UU No31/ 199 junto UU No20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdapat celah bagi oknum hakim dan jaksa “bermain”. Jaksa bisa mengajukan tuntutan ringan sehingga hakim memutuskan lebih ringan lagi dari tuntutan. “Selama ini hakim memvonis koruptor kelas kakap dengan empat tahun. Jaksa menuntut dengan delapan tahun, hakim memvonis enam tahun dan bahkan kurang,” kata Madya, mantan ketua Pengadilan Tinggi Jayapura ini.

Pada undang-undang, kata Madya, pasal 2 ayat (1) menyebut maksimal hukuman minimal empat tahun dan maksimal 20 tahun atau seumur hidup. Untuk Pasal 3 menyebut ancaman hukuman maksimal 20 tahun atau seumur hidup dan minimal 1 tahun.

“Ini membuat hakim leluasa putuskan. Pada undang-undang ada peluang sehingga mengambil putusan tengah-tengah, dua tahun. Koruptor berat (kakap) kena empat tahun. Budaya malu kita tak ada. Orang ditangkap masih bisa dada-dada (melambaikan tangan). Dari parpol beri bantuan hukum. Sebenarnya tak layak ada bantuan hukum. Masih beri support pada tersangka. Padahal partai lahirkan generasi calon pimpinan, nanti bisa jadi presiden. Tapi partai begitu keadaannya,” kata pria asli Surabaya ini.

Ringannya tuntutan jaksa dan vonis hakim, kata Madya, dipicu rendahnya moralitas penegak hukum. Di sisi lain, tidak ada keseriusan memberantas korupsi. “Jaksa menuntutnya harus mantap. Jaksa mewakili negara harus bisa memberikan efek jera. Tingginya tuntutan jaksa bisa membuat hakim tidak memiliki celah untuk menjatuhkan hukuman lebih rendah,” katanya.

Para jaksa Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya pada Hari Anti Korupsi turun ke jalan melakukan aksi simpatik dengan membagikan bunga dan stiker bertulis “Menuju Indonesia berintegritas, Jangan Beri Malan Anak Istrimu dari Uang Hasil Korupsi”. Aksi simpatik tersebut dipusatkan di tiga titik di Bundaran Satelit Jalan Mayjen Sungkono, kemudian di depan Kantor KPU Kota Surabaya Jalan Adityawarman, dan di kawasan Wonokromo.

“Aksi turun jalanan ini adalah bentuk imbauan sekaligus peringatan kepada masyarakat, khususnya Kota Surabaya, agar menghindari korupsi,” kata Kepala Seksi Intelijen Kejari Surabaya Sri Koentjoro.

Lutfi Yuhandi/ Soeprayitno
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3927 seconds (0.1#10.140)