Ekonomi Jatim Tergantung Pengusaha

Selasa, 11 November 2014 - 12:42 WIB
Ekonomi Jatim Tergantung...
Ekonomi Jatim Tergantung Pengusaha
A A A
SURABAYA - Gubernur Jawa Timur (Jatim) Soekarwo mengapresiasi kinerja yang ditunjukkan para pengusaha. Sebab, mereka menjadi penyumbang terbesar dalam produk domestik regional bruto (PDRB) Jatim hingga mencapai 90%.

Kondisi ini terlihat dari PDRB Jatim yang sebesar Rp1,136 triliun. Dari jumlah itu, belanja pemerintah hanya sekitar 9,8% dan sisanya didorong konsumsi masyarakat atas peran pengusaha dalam menyediakan barang dan jasa.

“Ini menunjukkan peranan pengusaha dalam mendorong dan menumbuhkan ekonomi sangat besar,” kata Gubernur Jatim Soekarwo dalam pembukaan Musyawarah Provinsi VI Kadin Jatim 2014 di Hotel Sheraton, Surabaya, kemarin. Pakde Karwo, panggilan akrab Soekarwo, menambahkan, kontribusi PDRB Jatim terhadap nasional juga cukup besar mencapai 15,17%. Dalam empat tahun terakhir, nilai PDRB Jatim meningkat hampir dua kali lipat.

Daya saing Jatim terhadap ekonomi nasional juga yang paling besar kedua setelah DKI Jakarta. Kekuatan daya saing ini diukur dengan 91 indikator yang dikelompokkan dalam empat aspek, antara lain stabilitas makro ekonomi, peranan pemerintah dan institusi, kondisi finansial, bisnis dan tenaga kerja, serta yang terakhir kualitas hidup masyarakatnya dan pengembangan infrastruktur.

Dari sisi pertumbuhan ekonomi Jatim juga terus melesat mengungguli nasional. Hingga akhir triwulan III/2014, pertumbuhan ekonomi Jatim tercatat mencapai 6,02% mengungguli pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 5,11%. “Dilihat dari PDRB, size ekonomi Jatim ini setara hampir dua pertiga size ekonomi Vietnam,” papar dia. Ketua Umum Kadin Jatim La Nyalla Mahmud Mattalitti menambahkan, salah satu rahasia sukses pertumbuhan ekonomi Jatim adalah sinergitas yang baik antara pemerintah daerah dan pengusaha.

Kadin sangat merasakan jalinan sinergitas program antara Pemerintah Provinsi Jatim dengan Kadin Jatim dan situasi kondusif seperti ini hampir tidak ada yang menyamai di provinsi yang lain. “Pertumbuhan ekonomi Jatim relatif masih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, masih diperlukan langkah-langkah strategis yang harus dikembangkan melalui jurus-jurus yang lebih berpihak kepada dunia usaha dan disertai regulasi-regulasi yang lebih probisnis,” katanya.

Kepala Pusat Harmonisasi Kebijakan Perdagangan Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Djatmiko Bris Witjaksono mengatakan, kebijakan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan diberlakukan pada akhir 2015 bukanlah hal yang perlu ditakuti. MEA akan menjadi sebuah peluang untuk meningkatkan perekonomian Indonesia karena aspek yang cukup dominan dalam pemberlakuan MEA adalah aspek fasilitasi dan reformasi ekonomi.

“Banyak kalangan yang hanya melihat MEA dari satu aspek, yaitu aspek liberalisasi perdagangan. Padahal, ada aspek yang jauh lebih besar lagi dari aspek tersebut, yaitu aspek fasilitasi dan reformasi ekonomi. Kedua aspek ini mencapai 75%-80% dari pemberlakuan MEA ini,” katanya. Menurutnya, selama ini masyarakat telah salah kaprah dengan diberlakukannya MEA. Mereka menganggap, dengan diberlakukannya MEA, seluruhnya akan sangat terbuka, baik sektor jasa, perdagangan, maupun investasi.

Padahal, pemberlakuan kebijakan tersebut tidak serta-merta menghilangkan aturan-aturan yang selama ini sudah diberlakukan. MEA tetap mewajibkan barang impor untuk memenuhi seluruh aturan dan kebijakan yang telah diberlakukan, di antaranya prosedur impor, ketentuan lartas, pembebasan bea masuk, kesesuaian standar dan persyaratan teknis (SNI), labeling, sertifikasi, kelayakan produk, dan karantina.

“Aturan soal SNI, masih saja akan tetap diberlakukan. Bahkan, aturan SNI ini akan lebih banyak diberlakukan pada produk yang masih belum diberlakukan. Jangan kemudian membayangkan, pada saat membuka mata pada 1 Januari 2016 penjual bakso di depan rumah dari Myanmar atau tukang cukur dari Thailand,” ujar dia. Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Soekowardoyo menambahkan, MEA memang tidak harus ditakuti. Namun, ada beberapa catatan atau pekerjaan rumah (PR) bagi Indonesia.

Di sektor perdagangan, daya saing Indonesia masih rendah dibanding negara ASEAN lainnya, Indonesia masih menempati nomor 34, kalah dengan Singapura yang menempati posisi kedua, Amerika di nomor tiga, dan Jepang di nomor enam.

“Yang perlu diperhatikan adalah kesiapan sumber daya manusia (SDM)-nya. Produktivitas tenaga kerja Indonesia di antara negara ASEAN relatif rendah. Ini terutama disebabkan rendahnya peningkatan kualitas pengembangan dan pendidikan SDM,” ucap dia.

Arief ardliyanto
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7415 seconds (0.1#10.140)