Surban Jadi Tren Hijab
A
A
A
YOGYAKARTA - Mengangkat tentang keberadaan kain surban, Muslim Fashion Designers of Indonesia (MODA) menjadikan kain tersebut sebagai tren hijab pada tahun 2015 mendatang.
Bukan tidak mungkin kain itu akan kembali booming, setelah sebelumnya vokalis Band Nidji, Giring sempat menjadikan surban sebagai fenomena fashion saat itu, terutama sebagai aksesoris fashion sehingga tidak sedikit fans maupun masyarakat yang kemudian menirunya. Kain surban memang tidak pernah lekang dimakan waktu. Dan kini oleh para desainer MODA dikembangkan menjadi bagian dari busana muslim, busana pesta, maupun busana wedding, khususnya hijab.
“Tren surban Attack itu melihat dari kecenderungan independen. Karakter perempuan sekarang yang cenderung independen. Meski surban sebenarnya banyak dipakai oleh pria, namun sekarang mengalami pergeseran. Dan layak pula dikenakan oleh perempuan,” ujar salah satu desainer MODA Lima Luthfi Majid. Di sisi lain, diangkatnya surban juga tidak lepas dari makna Spirit of Fight untuk tribute to Palestina.
Dan pada fungsinya, kain tersebut banyak digunakan oleh masyarakat di sana, Timur Tengah, maupun sekitarnya. Guna menutup dan melindungi diri dari medan di daerah - daerah tersebut. Yang banyak terdapat debu maupun pasir. “Surban dijadikan tren juga karena penggunaan bahan yang nyaman dipakai. Indikator yang digunakan juga melihat dari karakter masyarakat tadi. Memang sekarang terjadi pergeseran pada (busana) perempuan yang cenderung independen.
Mau pakai celana, sepatu boot dan lainnya masih tabu, sekarang malah jadi atribut. Bahan surban nyaman dikenakan, kita boleh bangga karena surban di India dan Timur Tengah dibuat di Indonesia,” jelasnya. Lewat karyanya yang digeber dalam helatan Grand Final Muslimah Ambassador Hunt 2014 belum lama ini, Lima begitu sapaan akrabnya, angkat tipe urban yang simpel dan minimalis. Dengan usung warna monokrom seperti hitam dan putih.
Diangkatnya warna ini karena menurutnya orang - orang mulai jenuh dengan warna - warna yanv kuat dan colourfull. Seperti fusia dan oranye. “Cuttingan gunakan teknik drapping, jadi tidak ada pola tapi ditempel langsung ke manekin. Nggak berbentuk dan lebih mengembang. Surban ada pada kerudung, terdiri dari two pieces. Yang pada bagian jaket bisa pula dijadikan rok melingkar. Busana ini memiliki dua look yang berbeda,” kata dia.
Ketua MODA Fairuzaqona Ulfaty atau yang akrab disapa dengan Ulfa Bhre Craft House (BCH) menuturkan, diangkatnya surban karena termasuk salah satu bahan yang nyaman dipakai. Yakni katun yang dibuat dengan tenun mesin, dan bermanfaat bisa menyerap keringat. Kain ini termasuk mudah didapat dan mudah diaplikasikan dengan bahan busana lainnya.
Dibandingkan dengan bahan sifon, yang meski happening sebagai salah satu bahan busana muslim, namun terlalu licin dan ribet karena mesti gunakan banyak jarum pentul. “Ukuran surban sendiri termasuk besar, satu meter kali satu meter, sehingga bisa cover hijab syar’i. Karena bisa sampai menutupi bagian dada dan nggak transparan. Surban sendiri jadi tren untuk hijab, sedangkan tren busana muslim bertajuk Ethnatura. Yang merupakan perpaduan etnik dan natural,” urai Ulfa.
Siti estuningsih
Bukan tidak mungkin kain itu akan kembali booming, setelah sebelumnya vokalis Band Nidji, Giring sempat menjadikan surban sebagai fenomena fashion saat itu, terutama sebagai aksesoris fashion sehingga tidak sedikit fans maupun masyarakat yang kemudian menirunya. Kain surban memang tidak pernah lekang dimakan waktu. Dan kini oleh para desainer MODA dikembangkan menjadi bagian dari busana muslim, busana pesta, maupun busana wedding, khususnya hijab.
“Tren surban Attack itu melihat dari kecenderungan independen. Karakter perempuan sekarang yang cenderung independen. Meski surban sebenarnya banyak dipakai oleh pria, namun sekarang mengalami pergeseran. Dan layak pula dikenakan oleh perempuan,” ujar salah satu desainer MODA Lima Luthfi Majid. Di sisi lain, diangkatnya surban juga tidak lepas dari makna Spirit of Fight untuk tribute to Palestina.
Dan pada fungsinya, kain tersebut banyak digunakan oleh masyarakat di sana, Timur Tengah, maupun sekitarnya. Guna menutup dan melindungi diri dari medan di daerah - daerah tersebut. Yang banyak terdapat debu maupun pasir. “Surban dijadikan tren juga karena penggunaan bahan yang nyaman dipakai. Indikator yang digunakan juga melihat dari karakter masyarakat tadi. Memang sekarang terjadi pergeseran pada (busana) perempuan yang cenderung independen.
Mau pakai celana, sepatu boot dan lainnya masih tabu, sekarang malah jadi atribut. Bahan surban nyaman dikenakan, kita boleh bangga karena surban di India dan Timur Tengah dibuat di Indonesia,” jelasnya. Lewat karyanya yang digeber dalam helatan Grand Final Muslimah Ambassador Hunt 2014 belum lama ini, Lima begitu sapaan akrabnya, angkat tipe urban yang simpel dan minimalis. Dengan usung warna monokrom seperti hitam dan putih.
Diangkatnya warna ini karena menurutnya orang - orang mulai jenuh dengan warna - warna yanv kuat dan colourfull. Seperti fusia dan oranye. “Cuttingan gunakan teknik drapping, jadi tidak ada pola tapi ditempel langsung ke manekin. Nggak berbentuk dan lebih mengembang. Surban ada pada kerudung, terdiri dari two pieces. Yang pada bagian jaket bisa pula dijadikan rok melingkar. Busana ini memiliki dua look yang berbeda,” kata dia.
Ketua MODA Fairuzaqona Ulfaty atau yang akrab disapa dengan Ulfa Bhre Craft House (BCH) menuturkan, diangkatnya surban karena termasuk salah satu bahan yang nyaman dipakai. Yakni katun yang dibuat dengan tenun mesin, dan bermanfaat bisa menyerap keringat. Kain ini termasuk mudah didapat dan mudah diaplikasikan dengan bahan busana lainnya.
Dibandingkan dengan bahan sifon, yang meski happening sebagai salah satu bahan busana muslim, namun terlalu licin dan ribet karena mesti gunakan banyak jarum pentul. “Ukuran surban sendiri termasuk besar, satu meter kali satu meter, sehingga bisa cover hijab syar’i. Karena bisa sampai menutupi bagian dada dan nggak transparan. Surban sendiri jadi tren untuk hijab, sedangkan tren busana muslim bertajuk Ethnatura. Yang merupakan perpaduan etnik dan natural,” urai Ulfa.
Siti estuningsih
(ars)