Meriahnya Tradisi Kebo-keboan

Selasa, 04 November 2014 - 12:01 WIB
Meriahnya Tradisi Kebo-keboan
Meriahnya Tradisi Kebo-keboan
A A A
BANYUWANGI - Festival Kebokeboan kembali digelar di Banyuwangi, Minggu (2/11). Festival ini menegaskan budaya agraris yang sudah lama dikenal dan menjadi bagian tidak terpisahkan dari masyarakat Banyuwangi. Salah satu buktinya, Banyuwangi merupakan salah satu lumbung padi di Jawa Timur dengan surplus beras sekitar 250.000 ton setiap tahunnya.

Tahun ini Festival Kebo-keboan digelar di dua tempat dalam hari yang sama, yaitu Desa Aliyan dan Desa Alas Malang. Festival ini merupakan ritual masyarakat setempat sebagai ungkapan syukur sekaligus doa agar ladang dan sawah mereka terus memberikan kesejahteraan. Dalam festival ini, sejumlah orang didandani seperti kerbau, simbolisasi kemitraan petani- kerbau.

Festival Kebo-keboan telah masuk agenda Banyuwangi Festival yang merupakan agenda pariwisata daerah sejak tahun ini. ”Dengan masuk Banyuwangi Festival, secara tidak langsung memaksa kami menampilkan suatu atraksi budaya lokal yang berkelas. Misalnya dengan perbaikan manajemen acara. Ini sebagai upaya kami agar budaya lokal terus membumi, selain tentunya rakyat bisa bangga,” kata Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas.

Konon, ritual kebo-keboan yang digelar setiap 10 Muharam tersebut mulai muncul sekitar abad ke-18. Ketika itu, pageblug atau wabah penyakit melanda Banyuwangi dan mengakibatkan banyak masyarakatnya meninggal. Melihat hal itu, Buyut Karti, sesepuh masyarakat setempat, menggelar selamatan dan menganjurkan warga desa membajak sawah menggunakan kerbau. Alhasil, pageblug pun hilang.

Sehari sebelum ritual dilaksanakan, warga desa menggelar kenduri yang ditandai dengan didirikannya gapura dari janur, tempat mereka meletakkan bumi. Gapura janur tersebut dibuat setiap warga sehingga terlihat di sepanjang jalan desa sebagai perlambang kesuburan dan kesejahteraan.

Esok paginya, warga pun menggelar selamatan di empat penjuru desa yang dilanjutkan dengan ider bumi. Para petani berdandan mirip kerbau, lalu berkeliling desa mengikuti empat penjuru mata angin. Saat berkeliling desa inilah, para ”kerbau” tersebut melakukan aktivitas bercocok tanam, mulai membajak, mengairi sawah, hingga menabur benih padi.

Para petani itu diyakini kerasukan roh gaib. Mereka benarbenar berjalan seperti kerbau yang sedang membajak sawah. Mereka juga berkubang, bergumul di lumpur, dan bergulunggulung di sepanjang jalan yang dilewati dengan peralatan membajak terpasang di pundak.

Festival Kebo-keboan, imbuh Plt Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi Yanuar Bramuda, juga menjadi bentuk pelestarian budaya agraris masyarakat.

P Juliatmoko
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7783 seconds (0.1#10.140)