Susuri Jejak Pahlawan dengan Kursi Roda
A
A
A
Sebagai satu-satunya Kota Pahlawan di dunia, tidak mengherankan jika Surabaya banyak memiliki rekam jejak perjuangan pahlawan.
Ada makam pembakar semangat Arek-Arek Suroboyo, Bung Tomo; rumah wafat pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya, Wage Rudolf Soepratman di Tambaksari; makam Wage Rudolf Soepratman di kawasan Rangkah; rumah lahir Bung Karno di Jalan Pandean IV/40, rumah Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto di Jalan Peneleh VII/29-31; Tugu Pahlawan; dan lainnya.
Tempat-tempat bernilai sejarah itu kemarin didatangi sejumlah penyandang disabilitas (difabel) dari sejumlah Yayasan Pendidikan Anak Cacat (YPAC) beberapa kota di Jatim, yaitu Surabaya, Sidoarjo, dan Malang. Kedatangan mereka bagian peringatan Hari Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan 2014 yang dise-lenggarakan Badan Koordinasi Kegiatan Kesejahteraan Sosial (BKKKS) Jatim.
Selain difabel, perwakilan pelajar sejumlah sekolah berikut mahasiswa tidak ketinggalan. “Anak difabel tidak hanya perlu sekolah, tapi juga wajib memahami sejarah kebangsaan,” kata Ketua Umum Badan Koordinasi Kegiatan Kesejahteraan Sosial (BKKKS) Jatim Tjuk Kasturi Sukiadi.
Saat berada di rumah HOS Tjokroaminoto, Tjuk menyebut kegiatan yang juga disebut wisata kepahlawanan ini untuk mengingatkan bahwa sebagai Kota Pahlawan Surabaya banyak memiliki tapak jejak kepahlawanan. “Harapan kami, dengan melihat, anak-anak mencoba berdialog dengan dirinya sendiri, bisa tahu dan menggambarkan seperti apa perjuangan masa lalu. Selain difabel, pelajar SMA, SMP dan mahasiswa ada yang ikut,” katanya.
Tjuk Kasturi Sukiadi sempat pula menjelaskan sejarah silam tempat-tempat yang didatangi. Seperti halnya rumah HOS Tjokroaminoto yang dulunya merupakan rumah kos yang ditempati Bung Karno saat menuntut ilmu di Surabaya.
“Bung Karno di rumah HOS Tjokroaminoto bersama Muso dan Kartosoewirjo. Ketiganya anak asuh HOS Tjokroaminoto. Tiga orang ini mewarnai sejarah Indonesia. Tahu Muso? Dia tokoh pemberontakan PKI di Madiun. Sedangkan, Kartosoeriwjo tokoh pemberontakan DI/TII. Tiga orang ini bersahabat, karena beda afiliasi politiknya, akhirnya jadi musuh secara politik,” papar Tjuk.
Pria berkacamata minus ini juga menyebut bahwa istri pertama Bung Karno, Oetari, merupakan anak HOS Tjokroaminoto. “Jadi Bung Karno menantu HOS Tjokroaminoto,” urainya.
HOS Tjokroaminoto, kata Tjuk, juga disebut Raja Jawa Tanpa Mahkota. Keberadaannya banyak melahirkan tokoh besar pada masa itu.
Diadakannya wisata kepahlawanan disambut gembira peserta. Bahkan, banyak siswa yang lahir dan asli Surabaya baru tahu dan pertama kali ke tempat-tempat bersejarah. Di rumah HOS Tjokroaminoto salah satunya.
“Saya baru tahu ada rumah HOS Tjokroaminoto. Baru pertama kali ini ke sini. Padahal, saya lahir di Surabaya, tinggal di Kecamatan Wonokromo, Surabaya,” tutur Lailatul Trimulyani, siswa kelas XI SMA Bina Taruna di kawasan Bendul Merisi, Surabaya.
Sebagaimana pelat kuningan yang tertempel di tembok rumah bersejarah, HOS Tjokroaminoto merupakan pimpinan Sarekat Islam (SI). Banyak kader pejuang bangsa digembleng di tempat itu.
Rumah tersebut masuk sebagai salah satu cagar budaya sebagaimana Surat Keputusan (SK) Wali Kota Surabaya No 188.45/251/402.1.04/1996. Rumah ini di bawah kewenangan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Surabaya. Untuk operasional dan penjagaan kebersihan, rumah diserahkan ke warga RT 2/4, Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng.
“Yang membersihkan rumah adalah ibu-ibu PKK. Secara bergiliran ibu-ibu PKK membersihkan. Untuk bayar rekening air, rekening listrik menggunakan uang Rp1 juta per tahun bantuan Dinas Pariwisata,” kata Eko Hadiratno, Ketua RT 2/4, Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng.
Eko menyebut rumah tersebut pernah menjadi tempat sekolah kebangsaan. Biasanya terkait momentum Hari Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan. Dalam rumah tersebut banyak dijumpai peninggalan barang kuno, milik HOS Tjokroaminoto. Ada foto-foto lama, meja rias milik istri, kursi kayu kuno yang disebut kursi sedan lengkap dengan meja marmer bulat. Masih banyak benda lainnya.
“Dulu oleh ahli waris, rumah ini dititipkan ke ketua RT lama, namanya Pak Sunarjo. Saat itu, era Orba tidak ada yang berani membuka rumah karena situasi politik saat itu. Menyimpan foto Bung Karno saja bisa discreening . Akhirnya rumah ini sempat kosong,” tutur Eko.
Setelah era berganti, ahli waris HOS Tjokroaminoto lantas muncul dan menghibahkan rumah ke Pemkot Surabaya. Salah satu ahli warisnya adalah mendiang Nuraini Mahdiati Hidayat, istri mantan Menteri Perindustrian MS Hidayat.
Sebagaimana pernah ditulis SINDO , terkait tempat kelahiran Bung Karno, elemen yang mengatasnamakan Paguyuban Suroboyo Tangi bersamaan Hari Pahlawan tahun 2011 lalu sempat memprotes pembelokan sejarah.
Mereka menilai Bangsa Indonesia membuat dan memendam kesalahan besar, yakni membelokkan sejarah lahirnya Bung Karno. Bapak pendiri bangsa dengan banyak julukkan; Penyambung Lidah Rakyat, Proklamator, Presiden Pertama RI, Pemimpin Besar Revolusi, Putra Sang Fajar, dan lainnya.
Sesuai sejarah, Bung Karno disebutkan lahir di Blitar, Jatim. Ini yang membuat Blitar menjadi kiblat haul Bung Karno dalam memperingati meninggalnya Ir Soekarno pada 21 Juli 1970. Terlebih, pusara Sang Proklamator ada di Blitar.
Pada 5 Juni 2011, paguyuban itu menggelar arakarakan Hari Lahir Bung Karno. Mereka dari Paguyuban Suroboyo Tangi , Indonesia-Tionghoa (Inti) Jatim, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Surabaya, Pro Dem, dan masyarakat umum.
Arak-arakan bagian upaya meluruskan sejarah lahirnya Bung Karno yang tentunya tak luput dari kepentingan politik saat itu. Peter dengan nama lengkap Peter Apollonius Rohi ini menuturkan, mulai tahun 1966 semua buku sejarah yang dicetak dan beredar sebelum tahun 1965 dan seterusnya dilarang beredar.
Larangan dilakukan pihak Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI, sekarang TNI) yang saat itu dikepalai mendiang Nugroho Notosusanto. Buku sejarah yang dicetak setelah tahun 1966 menyebutkan Bung Karno lahir di Blitar.
“Jadi sejak 1966 ada pembelokan sejarah tentang tempat kelahiran Bung Karno. Saya tidak bisa memastikan apa latar belakangnya, tentunya tak lepas dari politik. Seorang anggota tim penyusun sejarah kelahiran Bung Karno saat itu yang sekarang masih hidup adalah Anhar Gonggong,” sebut pria kelahiran 14 November 1942 ini.
Kepastian Bung Karno lahir di Surabaya dikuatkan banyaknya literatur yang diterbitkan sebelum tahun 1965 maupun buku cetakan pasca reformasi, yang diperkuat hasil seminar tentang kelahiran Soekarno di Universitas Trisaksi, Jakarta, beberapa tahun silam.
Menguatkan bahwa Bung Karno lahir di Kota Pahlawan, Peter sempat membeber banyak buku lawas koleksinya. Di antaranya, Soekarno Sebagi Manoesia (ejaan sesuai judul buku) karya Im Yang Tjoe, diterbitkan Ravena, yang ditulis kembali oleh Peter A Rohi.
Buku berikutnya, Soekarno Bapak Indonesia Merdeka (Sebuah Biografi 1901-1945) karya Bob Hering yang diterbitkan Hasta Mitra. Buku berikutnya berjudul Ayah Bunda Bung Karno karya Nurinwa Kis Hendro Winoto dkk (dari LIPI) yang diterbitkan Republika.
Kamus Politik karangan Adinda dan Usman Burhan cetakan 1950, Ensiklopedia Indonesia cetakan 1955 yang diterbitkan Penerbitan W Van Hoeve Bandung, Ensiklopedia cetakan 1985 diterbitkan Ichtiar Baru Van Hoeve dan Elsevier Publishing Project menyebutkan Bung Karno lahir di Surabaya, 6 Juni 1901.
“Buku-buku ini menyebut Bung Karno lahir di Surabaya, 6 Juni 1901. Jadi bukan di Blitar. Kepada saya, kepala museum di areal Makam Bung Karno pernah membenarkan bahwa mendiang lahir di Surabaya,” kata Peter.
Peringatan tahun 2011 ini adalah yang pertama di kota kelahiran Bung Karno, Surabaya. “Tidak elok kalau di Surabaya tidak ada prasasti kelahiran Bung Karno, sementara di Jakarta ada prasasti yang menyebut Presiden AS Barack Obama pernah sekolah di Jakarta. Obama bukan bapak bangsa bagi Indonesia, sedangkan Bung Karno sudah nyata-nyata bapak bangsa,” tuturnya.
SOEPRAYITNO
Surabaya
Ada makam pembakar semangat Arek-Arek Suroboyo, Bung Tomo; rumah wafat pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya, Wage Rudolf Soepratman di Tambaksari; makam Wage Rudolf Soepratman di kawasan Rangkah; rumah lahir Bung Karno di Jalan Pandean IV/40, rumah Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto di Jalan Peneleh VII/29-31; Tugu Pahlawan; dan lainnya.
Tempat-tempat bernilai sejarah itu kemarin didatangi sejumlah penyandang disabilitas (difabel) dari sejumlah Yayasan Pendidikan Anak Cacat (YPAC) beberapa kota di Jatim, yaitu Surabaya, Sidoarjo, dan Malang. Kedatangan mereka bagian peringatan Hari Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan 2014 yang dise-lenggarakan Badan Koordinasi Kegiatan Kesejahteraan Sosial (BKKKS) Jatim.
Selain difabel, perwakilan pelajar sejumlah sekolah berikut mahasiswa tidak ketinggalan. “Anak difabel tidak hanya perlu sekolah, tapi juga wajib memahami sejarah kebangsaan,” kata Ketua Umum Badan Koordinasi Kegiatan Kesejahteraan Sosial (BKKKS) Jatim Tjuk Kasturi Sukiadi.
Saat berada di rumah HOS Tjokroaminoto, Tjuk menyebut kegiatan yang juga disebut wisata kepahlawanan ini untuk mengingatkan bahwa sebagai Kota Pahlawan Surabaya banyak memiliki tapak jejak kepahlawanan. “Harapan kami, dengan melihat, anak-anak mencoba berdialog dengan dirinya sendiri, bisa tahu dan menggambarkan seperti apa perjuangan masa lalu. Selain difabel, pelajar SMA, SMP dan mahasiswa ada yang ikut,” katanya.
Tjuk Kasturi Sukiadi sempat pula menjelaskan sejarah silam tempat-tempat yang didatangi. Seperti halnya rumah HOS Tjokroaminoto yang dulunya merupakan rumah kos yang ditempati Bung Karno saat menuntut ilmu di Surabaya.
“Bung Karno di rumah HOS Tjokroaminoto bersama Muso dan Kartosoewirjo. Ketiganya anak asuh HOS Tjokroaminoto. Tiga orang ini mewarnai sejarah Indonesia. Tahu Muso? Dia tokoh pemberontakan PKI di Madiun. Sedangkan, Kartosoeriwjo tokoh pemberontakan DI/TII. Tiga orang ini bersahabat, karena beda afiliasi politiknya, akhirnya jadi musuh secara politik,” papar Tjuk.
Pria berkacamata minus ini juga menyebut bahwa istri pertama Bung Karno, Oetari, merupakan anak HOS Tjokroaminoto. “Jadi Bung Karno menantu HOS Tjokroaminoto,” urainya.
HOS Tjokroaminoto, kata Tjuk, juga disebut Raja Jawa Tanpa Mahkota. Keberadaannya banyak melahirkan tokoh besar pada masa itu.
Diadakannya wisata kepahlawanan disambut gembira peserta. Bahkan, banyak siswa yang lahir dan asli Surabaya baru tahu dan pertama kali ke tempat-tempat bersejarah. Di rumah HOS Tjokroaminoto salah satunya.
“Saya baru tahu ada rumah HOS Tjokroaminoto. Baru pertama kali ini ke sini. Padahal, saya lahir di Surabaya, tinggal di Kecamatan Wonokromo, Surabaya,” tutur Lailatul Trimulyani, siswa kelas XI SMA Bina Taruna di kawasan Bendul Merisi, Surabaya.
Sebagaimana pelat kuningan yang tertempel di tembok rumah bersejarah, HOS Tjokroaminoto merupakan pimpinan Sarekat Islam (SI). Banyak kader pejuang bangsa digembleng di tempat itu.
Rumah tersebut masuk sebagai salah satu cagar budaya sebagaimana Surat Keputusan (SK) Wali Kota Surabaya No 188.45/251/402.1.04/1996. Rumah ini di bawah kewenangan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Surabaya. Untuk operasional dan penjagaan kebersihan, rumah diserahkan ke warga RT 2/4, Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng.
“Yang membersihkan rumah adalah ibu-ibu PKK. Secara bergiliran ibu-ibu PKK membersihkan. Untuk bayar rekening air, rekening listrik menggunakan uang Rp1 juta per tahun bantuan Dinas Pariwisata,” kata Eko Hadiratno, Ketua RT 2/4, Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng.
Eko menyebut rumah tersebut pernah menjadi tempat sekolah kebangsaan. Biasanya terkait momentum Hari Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan. Dalam rumah tersebut banyak dijumpai peninggalan barang kuno, milik HOS Tjokroaminoto. Ada foto-foto lama, meja rias milik istri, kursi kayu kuno yang disebut kursi sedan lengkap dengan meja marmer bulat. Masih banyak benda lainnya.
“Dulu oleh ahli waris, rumah ini dititipkan ke ketua RT lama, namanya Pak Sunarjo. Saat itu, era Orba tidak ada yang berani membuka rumah karena situasi politik saat itu. Menyimpan foto Bung Karno saja bisa discreening . Akhirnya rumah ini sempat kosong,” tutur Eko.
Setelah era berganti, ahli waris HOS Tjokroaminoto lantas muncul dan menghibahkan rumah ke Pemkot Surabaya. Salah satu ahli warisnya adalah mendiang Nuraini Mahdiati Hidayat, istri mantan Menteri Perindustrian MS Hidayat.
Sebagaimana pernah ditulis SINDO , terkait tempat kelahiran Bung Karno, elemen yang mengatasnamakan Paguyuban Suroboyo Tangi bersamaan Hari Pahlawan tahun 2011 lalu sempat memprotes pembelokan sejarah.
Mereka menilai Bangsa Indonesia membuat dan memendam kesalahan besar, yakni membelokkan sejarah lahirnya Bung Karno. Bapak pendiri bangsa dengan banyak julukkan; Penyambung Lidah Rakyat, Proklamator, Presiden Pertama RI, Pemimpin Besar Revolusi, Putra Sang Fajar, dan lainnya.
Sesuai sejarah, Bung Karno disebutkan lahir di Blitar, Jatim. Ini yang membuat Blitar menjadi kiblat haul Bung Karno dalam memperingati meninggalnya Ir Soekarno pada 21 Juli 1970. Terlebih, pusara Sang Proklamator ada di Blitar.
Pada 5 Juni 2011, paguyuban itu menggelar arakarakan Hari Lahir Bung Karno. Mereka dari Paguyuban Suroboyo Tangi , Indonesia-Tionghoa (Inti) Jatim, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Surabaya, Pro Dem, dan masyarakat umum.
Arak-arakan bagian upaya meluruskan sejarah lahirnya Bung Karno yang tentunya tak luput dari kepentingan politik saat itu. Peter dengan nama lengkap Peter Apollonius Rohi ini menuturkan, mulai tahun 1966 semua buku sejarah yang dicetak dan beredar sebelum tahun 1965 dan seterusnya dilarang beredar.
Larangan dilakukan pihak Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI, sekarang TNI) yang saat itu dikepalai mendiang Nugroho Notosusanto. Buku sejarah yang dicetak setelah tahun 1966 menyebutkan Bung Karno lahir di Blitar.
“Jadi sejak 1966 ada pembelokan sejarah tentang tempat kelahiran Bung Karno. Saya tidak bisa memastikan apa latar belakangnya, tentunya tak lepas dari politik. Seorang anggota tim penyusun sejarah kelahiran Bung Karno saat itu yang sekarang masih hidup adalah Anhar Gonggong,” sebut pria kelahiran 14 November 1942 ini.
Kepastian Bung Karno lahir di Surabaya dikuatkan banyaknya literatur yang diterbitkan sebelum tahun 1965 maupun buku cetakan pasca reformasi, yang diperkuat hasil seminar tentang kelahiran Soekarno di Universitas Trisaksi, Jakarta, beberapa tahun silam.
Menguatkan bahwa Bung Karno lahir di Kota Pahlawan, Peter sempat membeber banyak buku lawas koleksinya. Di antaranya, Soekarno Sebagi Manoesia (ejaan sesuai judul buku) karya Im Yang Tjoe, diterbitkan Ravena, yang ditulis kembali oleh Peter A Rohi.
Buku berikutnya, Soekarno Bapak Indonesia Merdeka (Sebuah Biografi 1901-1945) karya Bob Hering yang diterbitkan Hasta Mitra. Buku berikutnya berjudul Ayah Bunda Bung Karno karya Nurinwa Kis Hendro Winoto dkk (dari LIPI) yang diterbitkan Republika.
Kamus Politik karangan Adinda dan Usman Burhan cetakan 1950, Ensiklopedia Indonesia cetakan 1955 yang diterbitkan Penerbitan W Van Hoeve Bandung, Ensiklopedia cetakan 1985 diterbitkan Ichtiar Baru Van Hoeve dan Elsevier Publishing Project menyebutkan Bung Karno lahir di Surabaya, 6 Juni 1901.
“Buku-buku ini menyebut Bung Karno lahir di Surabaya, 6 Juni 1901. Jadi bukan di Blitar. Kepada saya, kepala museum di areal Makam Bung Karno pernah membenarkan bahwa mendiang lahir di Surabaya,” kata Peter.
Peringatan tahun 2011 ini adalah yang pertama di kota kelahiran Bung Karno, Surabaya. “Tidak elok kalau di Surabaya tidak ada prasasti kelahiran Bung Karno, sementara di Jakarta ada prasasti yang menyebut Presiden AS Barack Obama pernah sekolah di Jakarta. Obama bukan bapak bangsa bagi Indonesia, sedangkan Bung Karno sudah nyata-nyata bapak bangsa,” tuturnya.
SOEPRAYITNO
Surabaya
(bbg)