Garin Ingatkan PSTF Unej Harus Punya Ciri Khas
A
A
A
JEMBER - Sutradara kawakkan sekaligus budayawan Garin Nugroho mengingatkan agar Program Studi Televisi dan Film (PSTF) Universitas Jember (Unej) membuat kiblat. Hal ini penting agar Unej mampu berbicara dalam percaturan pertelevisian dan film di Tanah Air.
Saat menjadi pembicara dalam seminar bertajuk “Peluang dan Tantangan Perfilman Indonesia Sebagai Industri Kreatif di Era Digital dan pengaruh Kapitalisme Global” di Universitas Jember, kemarin, Garin menuturkan Unej, khususnya PSTF Fakultas Sastra, harus punya ciri khas beda dengan institusi lain yang juga fokus pada pertelevisian dan film.
Di Indonesia banyak berdiri lembaga pendidikan atau kampus yang menjadi kawah candradimuka pegiat seni dan film. Sebut saja Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dan Solo. Lembaga ini punya ciri khas berbeda dengan Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
“IKJ memiliki ciri khas urban. Itu wajar karena posisinya di Jakarta sebagai ibukota Indonesia, tempat kaum urban berada. Nah, sekarang Unej mau menempatkan diri di mana? Itu sangat penting agar bisa dibedakan dengan yang lain,” kata Garin dalam seminar yang dibuka Dekan Fakultas Sastra Unej Dr Khairus Salikin, MED itu.
Menurut Garin, kiblat bisa dibentuk secara perlahan dan dicapai melalui kepekaan atau daya sensivitas terhadap fenomena yang terjadi di masyarakat Jember dan sekitarnya. Sutradara yang sedang menyiapkan film semibiografi mengenai tokoh pergerakan nasional HOS Tjokroaminoto ini menegaskan, berangkat dari kepekaan atas fenomena sosial masyarakat di Jember, PSTF Unej akan punya ciri khas.
“Jember itu kan daerah pertemuan budaya Jawa dan Madura dengan sejarah perkebunan yang panjang. Itu bisa jadi modal. Yang terpenting harus diingat, di era digital kesempatan berkreasi makin terbuka lebar. Peluang mereka yang di Jakarta sama dengan yang di daerah, asalkan kreatif,” ujarnya.
Selain itu, Garin mengatakan, PSTF Unej punya tantangan besar ditaklukkan. Pertama, kenyataan bahwa desentralisasi politik belum diikuti desentralisasi ekonomi membuat perputaran uang terfokus di Jakarta. Kedua, masyarakat Indonesia sudah terbiasa dengan model program televisi dan film yang Jakarta sentries sehingga perlu diubah dengan kreativitas daerah. Ketiga, konsekuensi dari Jakarta sentries, kualitas sumber daya manusia di bidang televisi, dan film di daerah, memang masih perlu ditingkatkan. “Maka perlu dibangun jejaring agar PSTF Unej mampu bersinergi dengan banyak pihak,” katanya.
Seusai memberikan materi, Garin menyempatkan berdiskusi bersama komunitas pegiat seni dan film dari Fakultas Sastra Unej serta komunitas seni Jember dalam kegiatan Forum Kemisan di halaman Fakultas Sastra Kampus Tegalboto.
P juliatmoko
Saat menjadi pembicara dalam seminar bertajuk “Peluang dan Tantangan Perfilman Indonesia Sebagai Industri Kreatif di Era Digital dan pengaruh Kapitalisme Global” di Universitas Jember, kemarin, Garin menuturkan Unej, khususnya PSTF Fakultas Sastra, harus punya ciri khas beda dengan institusi lain yang juga fokus pada pertelevisian dan film.
Di Indonesia banyak berdiri lembaga pendidikan atau kampus yang menjadi kawah candradimuka pegiat seni dan film. Sebut saja Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dan Solo. Lembaga ini punya ciri khas berbeda dengan Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
“IKJ memiliki ciri khas urban. Itu wajar karena posisinya di Jakarta sebagai ibukota Indonesia, tempat kaum urban berada. Nah, sekarang Unej mau menempatkan diri di mana? Itu sangat penting agar bisa dibedakan dengan yang lain,” kata Garin dalam seminar yang dibuka Dekan Fakultas Sastra Unej Dr Khairus Salikin, MED itu.
Menurut Garin, kiblat bisa dibentuk secara perlahan dan dicapai melalui kepekaan atau daya sensivitas terhadap fenomena yang terjadi di masyarakat Jember dan sekitarnya. Sutradara yang sedang menyiapkan film semibiografi mengenai tokoh pergerakan nasional HOS Tjokroaminoto ini menegaskan, berangkat dari kepekaan atas fenomena sosial masyarakat di Jember, PSTF Unej akan punya ciri khas.
“Jember itu kan daerah pertemuan budaya Jawa dan Madura dengan sejarah perkebunan yang panjang. Itu bisa jadi modal. Yang terpenting harus diingat, di era digital kesempatan berkreasi makin terbuka lebar. Peluang mereka yang di Jakarta sama dengan yang di daerah, asalkan kreatif,” ujarnya.
Selain itu, Garin mengatakan, PSTF Unej punya tantangan besar ditaklukkan. Pertama, kenyataan bahwa desentralisasi politik belum diikuti desentralisasi ekonomi membuat perputaran uang terfokus di Jakarta. Kedua, masyarakat Indonesia sudah terbiasa dengan model program televisi dan film yang Jakarta sentries sehingga perlu diubah dengan kreativitas daerah. Ketiga, konsekuensi dari Jakarta sentries, kualitas sumber daya manusia di bidang televisi, dan film di daerah, memang masih perlu ditingkatkan. “Maka perlu dibangun jejaring agar PSTF Unej mampu bersinergi dengan banyak pihak,” katanya.
Seusai memberikan materi, Garin menyempatkan berdiskusi bersama komunitas pegiat seni dan film dari Fakultas Sastra Unej serta komunitas seni Jember dalam kegiatan Forum Kemisan di halaman Fakultas Sastra Kampus Tegalboto.
P juliatmoko
(ars)