Walhi Sumsel Terbitkan Petisi Asap
A
A
A
PALEMBANG - Lembaga lingkungan hidup, Walhi Sumsel menerbitkan petisi tentang kabut asap. Dalam petisi yang ditulis seakan berasal dari suara anak-anak Sumsel, Walhi ingin mengkritisi bagaimana kondisi asap sangat mengganggu kehidupan masyarakat.
Dalam paragraf kedua Petisi Walhi Sumsel mengenai kabut asap itu tertulis. 'Bapak Gubernur, sejak bermunculan titik api, kami tidak bisa lagi menghirup udara segar di pagi hari dan sepanjang hari'.
Kalimat yang tertuju pada pemerintah daerah berharap agar kabut asap ditangani dengan upaya pencegahan. Misalnya, pemerintah tidak lagi dengan memberikan izin konsensi pada perusahaan yang merusak lingkungan.
"Petisi ini mengugah agar pemerintah bertindak tegas pada pelaku kebakaran lahan,terutana perusahaan pemegang izin yang berada di OKI, Muara Enim, Banyuasin, Musi Banyuasin dan Musi Rawas," ujar Direktur Walhi Sumsel, Hadi Jatmiko, Selasa (14/11/2014) pagi.
Hadi mengatakan, kebakaran hutan sudah menjadi permasalahan genting di Sumsel sejak tahun 1997. Namun, setiap tahun, kebakaran lahan masih kerap terjadi.
Tahun kemarin, pemerintah provinsi ikut dalam penandatangan kesepakatan BP REDD yang bertujuan menurunkan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan Sumsel. "Namun kebakaran hutan kerap terjadi hingga Sumsel dikepung asap," ungkapnya.
Selain itu, Hadi mengatakan Walhi mengajak semua elemen, terutama pemerintah untuk menghitung untung rugi aspek konsensi baik HTI dan perkebunan yang diberikan.
BNPB mencatat (berdasarkan keterangan media) negara membutuhkan biaya penanggulangan bahaya kabut asap di Sumatera mencapai Rp20 triliun. Sementara, seberapa besar pendapatan daerah yang diperoleh dari pemberian izin konsensi pada perusahaan perusak lingkungan.
"Tentu hitungan kasarnya, pemerintah merugi. Pendapatan daerah yang diperoleh dari nilai bagi hasil atau izin pemberian konsensi tidak sebesar biaya penanggulangan," tegasnya.
Petisi inipun, sambung Hadi, akan diteruskan pada sejumlah elemen masyarakat melalui gerakan bersama 'Menolak Asap Sumsel,'.
Dalam paragraf kedua Petisi Walhi Sumsel mengenai kabut asap itu tertulis. 'Bapak Gubernur, sejak bermunculan titik api, kami tidak bisa lagi menghirup udara segar di pagi hari dan sepanjang hari'.
Kalimat yang tertuju pada pemerintah daerah berharap agar kabut asap ditangani dengan upaya pencegahan. Misalnya, pemerintah tidak lagi dengan memberikan izin konsensi pada perusahaan yang merusak lingkungan.
"Petisi ini mengugah agar pemerintah bertindak tegas pada pelaku kebakaran lahan,terutana perusahaan pemegang izin yang berada di OKI, Muara Enim, Banyuasin, Musi Banyuasin dan Musi Rawas," ujar Direktur Walhi Sumsel, Hadi Jatmiko, Selasa (14/11/2014) pagi.
Hadi mengatakan, kebakaran hutan sudah menjadi permasalahan genting di Sumsel sejak tahun 1997. Namun, setiap tahun, kebakaran lahan masih kerap terjadi.
Tahun kemarin, pemerintah provinsi ikut dalam penandatangan kesepakatan BP REDD yang bertujuan menurunkan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan Sumsel. "Namun kebakaran hutan kerap terjadi hingga Sumsel dikepung asap," ungkapnya.
Selain itu, Hadi mengatakan Walhi mengajak semua elemen, terutama pemerintah untuk menghitung untung rugi aspek konsensi baik HTI dan perkebunan yang diberikan.
BNPB mencatat (berdasarkan keterangan media) negara membutuhkan biaya penanggulangan bahaya kabut asap di Sumatera mencapai Rp20 triliun. Sementara, seberapa besar pendapatan daerah yang diperoleh dari pemberian izin konsensi pada perusahaan perusak lingkungan.
"Tentu hitungan kasarnya, pemerintah merugi. Pendapatan daerah yang diperoleh dari nilai bagi hasil atau izin pemberian konsensi tidak sebesar biaya penanggulangan," tegasnya.
Petisi inipun, sambung Hadi, akan diteruskan pada sejumlah elemen masyarakat melalui gerakan bersama 'Menolak Asap Sumsel,'.
(sms)