Sejarah dan Keistimewaan Pura Agung Jagatnatha
A
A
A
BALI memiliki banyak pura atau tempat ibadah bagi pemeluk agama Hindu. Di antara sekian banyak pura tersebut, kali ini Cerita Pagi mencoba mengupas Pura Agung Jagatnatha, pura terbesar di Denpasar.
Pura Agung Jagatnatha berlokasi tepat di sebelah Museum Bali. Sementara, pada bagian sebelah timur terdapat Lapangan Puputan Badung.
Seperti kebanyakan pura di Bali, posisi bangunan menghadap ke barat Gunung Agung. Umat Hindu di Bali percaya bahwa di puncak gunung tersebut terdapat istana para dewa. Pura ini dibuat sebagai tempat pemujaan kepada Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) sebagai ungkapan rasa syukur karena telah menciptakan alam semesta beserta isinya.
Pura Agung Jagatnatha diresmikan melalui upacara kecil pada 13 Mei 1968. "Pendirian Pura Jagatnatha juga memiliki sejarah. Pendirian pura ini merupakan realisasi keputusan-keputusan yang telah ditetapkan dalam pasamuhan Parisada Dharma Hindu Bali, 20 November 1961 lalu," ujar Pemangku Pura Agung Jagatnatha Ida Bagus Putu Widyanegara saat ditemui Tim Cerita Pagi di Pura Agung Jagatnatha, Denpasar.
Widyanegara menambahkan,"Pembangunan pura ini tidak langsung dibangun begitu saja, tetapi melalui ilham."
Dikutip dari situs wisatadewata.com, awal mula pendirian pura ini karena banyaknya pendatang dari berbagai desa di Bali yang saat berkunjung ke Denpasar tidak menemukan tempat sembahyang. Maka, dibangunlah Pura Agung Jagatnatha.
Menurut Widyanegara, pada 5 Februari 1963, Gubernur Bali Anak Agung Bagus Sutedja setuju pembangunan pura tersebut yang secara resmi bernama Pura Agung Jagatnatha. Selanjutnya, pada 1 Januari 1965, panitia meminta kesediaan Anak Agung Ketut Anggara dari Banjar Belong, Denpasar, untuk membuatkan gambar bangunan sekaligus memimpin para undagi (ahli bangunan) untuk mengerjakan pembangunan pura tersebut.
Saat pecah peristiwa 30 September 1965, proses pengerjaan pembangunan pura tersebut sempat terhambat. Pada 28 Juli 1967, dasar bangunan Padmasana berupa Bedawang Nala dapat diselesaikan. Selanjutnya, 15 Oktober 1967, pembangunan Padmasana sudah sampai pada bagian madya atau tengah.
Pada 13 Desember 1967, seluruh bangunan Padmasana dapat diselesaikan. Pada 5 Februari 1968, pembangunan Candi Bentar sudah rampung. Dan, pada tanggal 13 Mei 1968, tepatnya pada Purnama Jiyestha (hari suci bagi umat Hindu, dirayakan untuk memohon berkah dan karunia dari Hyang Widhi), pura ini diresmikan.
Lantas, apa keistimewaan Pura Agung Jagatnatha dibanding pura-pura lainnya di Pulau Dewata? Menurut Widyanegara, Pura Agung Jagatnatha memiliki keistimewaan atau keunikan yaitu tidak adanya Pengempon (kelompok masyarakat yang mengelola pura ini). Pura Agung Jagatnatha hanya memiliki beberapa orang yang mengelola dana mulai dari pembangunannya sampai untuk upacara sehari-hari.
Menurut Widyanegara, Pura Agung Jagatnatha memiliki sebuah pelinggih, tempat suci bersemayam Hyang, yaitu pelinggih Padmasana yang menjulang tinggi mencapai sekitar 15 meter. Di puncak Padmasana, terdapat gambar Acintya, simbol atau perwujudan dari kemahakuasaan Tuhan, yang dulunya dilapisi emas. Namun sayang, emas itu diambil pencuri sekitar tahun 1981.
Selain Padmasana, di pura itu terdapat dua pelinggih tajuk yang berdiri di kiri-kanan depan Padmasana. Sementara, pelinggih Ratu Niang berdiri di timur laut. Di situ juga ada pelinggih Dalem Karang dan pelinggih Ratu Made. Di dekat pelinggih Ratu Niang, tumbuh pohon bodi. Seperti umumnya pura-pura yang lain, di situ juga terdapat Bale Kulkul, Pamiyosan, Bale Paselang, Bale Gong, Candi Bentar, dan Kori Agung (pemedal agung).
"Pura ini derajatnya sama dengan pura yang ada di Tanah Lot. Biasanya masyarakat bersembahyang ke sini saat upacara Hari Raya Galungan, Kuningan, Hari Saraswati, Purnama Tilem. Wisatawan mancanegara juga sering mengunjungi pura, mereka ada yang sembahyang, ada juga hanya melihat-lihat arsitektur pura."
Pura Agung Jagatnatha berlokasi tepat di sebelah Museum Bali. Sementara, pada bagian sebelah timur terdapat Lapangan Puputan Badung.
Seperti kebanyakan pura di Bali, posisi bangunan menghadap ke barat Gunung Agung. Umat Hindu di Bali percaya bahwa di puncak gunung tersebut terdapat istana para dewa. Pura ini dibuat sebagai tempat pemujaan kepada Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) sebagai ungkapan rasa syukur karena telah menciptakan alam semesta beserta isinya.
Pura Agung Jagatnatha diresmikan melalui upacara kecil pada 13 Mei 1968. "Pendirian Pura Jagatnatha juga memiliki sejarah. Pendirian pura ini merupakan realisasi keputusan-keputusan yang telah ditetapkan dalam pasamuhan Parisada Dharma Hindu Bali, 20 November 1961 lalu," ujar Pemangku Pura Agung Jagatnatha Ida Bagus Putu Widyanegara saat ditemui Tim Cerita Pagi di Pura Agung Jagatnatha, Denpasar.
Widyanegara menambahkan,"Pembangunan pura ini tidak langsung dibangun begitu saja, tetapi melalui ilham."
Dikutip dari situs wisatadewata.com, awal mula pendirian pura ini karena banyaknya pendatang dari berbagai desa di Bali yang saat berkunjung ke Denpasar tidak menemukan tempat sembahyang. Maka, dibangunlah Pura Agung Jagatnatha.
Menurut Widyanegara, pada 5 Februari 1963, Gubernur Bali Anak Agung Bagus Sutedja setuju pembangunan pura tersebut yang secara resmi bernama Pura Agung Jagatnatha. Selanjutnya, pada 1 Januari 1965, panitia meminta kesediaan Anak Agung Ketut Anggara dari Banjar Belong, Denpasar, untuk membuatkan gambar bangunan sekaligus memimpin para undagi (ahli bangunan) untuk mengerjakan pembangunan pura tersebut.
Saat pecah peristiwa 30 September 1965, proses pengerjaan pembangunan pura tersebut sempat terhambat. Pada 28 Juli 1967, dasar bangunan Padmasana berupa Bedawang Nala dapat diselesaikan. Selanjutnya, 15 Oktober 1967, pembangunan Padmasana sudah sampai pada bagian madya atau tengah.
Pada 13 Desember 1967, seluruh bangunan Padmasana dapat diselesaikan. Pada 5 Februari 1968, pembangunan Candi Bentar sudah rampung. Dan, pada tanggal 13 Mei 1968, tepatnya pada Purnama Jiyestha (hari suci bagi umat Hindu, dirayakan untuk memohon berkah dan karunia dari Hyang Widhi), pura ini diresmikan.
Lantas, apa keistimewaan Pura Agung Jagatnatha dibanding pura-pura lainnya di Pulau Dewata? Menurut Widyanegara, Pura Agung Jagatnatha memiliki keistimewaan atau keunikan yaitu tidak adanya Pengempon (kelompok masyarakat yang mengelola pura ini). Pura Agung Jagatnatha hanya memiliki beberapa orang yang mengelola dana mulai dari pembangunannya sampai untuk upacara sehari-hari.
Menurut Widyanegara, Pura Agung Jagatnatha memiliki sebuah pelinggih, tempat suci bersemayam Hyang, yaitu pelinggih Padmasana yang menjulang tinggi mencapai sekitar 15 meter. Di puncak Padmasana, terdapat gambar Acintya, simbol atau perwujudan dari kemahakuasaan Tuhan, yang dulunya dilapisi emas. Namun sayang, emas itu diambil pencuri sekitar tahun 1981.
Selain Padmasana, di pura itu terdapat dua pelinggih tajuk yang berdiri di kiri-kanan depan Padmasana. Sementara, pelinggih Ratu Niang berdiri di timur laut. Di situ juga ada pelinggih Dalem Karang dan pelinggih Ratu Made. Di dekat pelinggih Ratu Niang, tumbuh pohon bodi. Seperti umumnya pura-pura yang lain, di situ juga terdapat Bale Kulkul, Pamiyosan, Bale Paselang, Bale Gong, Candi Bentar, dan Kori Agung (pemedal agung).
"Pura ini derajatnya sama dengan pura yang ada di Tanah Lot. Biasanya masyarakat bersembahyang ke sini saat upacara Hari Raya Galungan, Kuningan, Hari Saraswati, Purnama Tilem. Wisatawan mancanegara juga sering mengunjungi pura, mereka ada yang sembahyang, ada juga hanya melihat-lihat arsitektur pura."
(zik)