Penertiban PKL Semarang Tidak Efektif
A
A
A
SEMARANG - Upaya penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL) yang giat dilakukan Satpol PP Kota Semarang dinilai tidak efektif. Sebab, meski kiosnya telah dibongkar, PKL masih nekat menempati lokasi semula.
Pantauan KORAN SINDO di lapangan, dari beberapa lokasi penertiban PKL, banyak PKL yang kembali berjualan. Bahkan, hari ini, PKL yang menempati sepanjang trotoar Jalan Menteri Supeno, tepatnya di RSUP Dr Kariadi, kembali melakukan aktivitasnya. Padahal, sehari sebelumnya yakni Senin (25/8/2014), ratusan petugas Satpol PP telah membongkar paksa kios mereka dan mengangkut sejumlah barang-barang.
Menurut salah satu pedagang kelontong di lokasi itu yang enggan disebutkan namanya, dirinya nekat berjualan demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Menurutnya, jika tidak berjualan di lokasi itu, ia tidak mampu membiayai kehidupan keluarganya.
"Kemaren (Senin) memang habis ditertibkan, barang-barang saya dibawa petugas Satpol PP. Tapi saya ya tetep berjualan, kalau tidak keluarga saya makan apa," kata perempuan paruh baya itu, Selasa (26/8/2014).
Ia mengaku siap jika suatu saat ada penggusuran lagi. Namun selama tidak ada tempat berjualan yang bagus, dirinya akan kembali nekat berjualan di lokasi itu. "Pokoknya ya kucing-kucingan. Kalau tidak boleh berjualan di sini harusnya dicarikan lokasi lainnya. Jangan main bongkar saja," tegasnya.
Pengamat Ekonomi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang FX Sugiyanto menilai, penertiban PKL yang sering dilakukan oleh Satpol PP di Kota Semarang memang tidak menyelesaikan masalah. Justru, dari penertiban PKL tersebut menimbulkan masalah baru.
"Soalnya Pemkot hanya fokus untuk menertibkan tanpa memberikan solusi yakni mencarikan tempat yang strategis bagi para PKL berjualan. Kalau seperti ini terus, maka persoalan PKL di Kota Semarang tidak akan pernah selesai. Penertiban seperti itu tidak akan pernah efektif," ujarnya.
PKL, lanjut Sugiyanto, selama ini hanya menjadi korban atas kebijakan-kebijakan Pemkot Semarang. Kehadiran mereka bak anak haram yang selalu ingin dibuang oleh pemerintah setempat.
"Ini jelas tidak bagus bagi Kota Semarang. Seharusnya Pemkot meniru kota lain dalam menyelesaikan persoalan PKL ini. Mereka bisa belajar dari keberhasilan Kota Solo dalam mengatasi permasalahan PKL."
Lebih lanjut Sugiyanto mendesak Pemkot Semarang lebih mengoptimalkan potensi para PKL di Kota Semarang. Pengelolaan PKL secara baik harus dilakukan karena PKL juga merupakan salah satu instrumen untuk mengembangkan Kota Semarang.
"Selain berkontribusi bagi pendapatan kota, kehadiran para PKL juga mampu mengangkat Kota Semarang di bidang wisata kuliner. Jadi menurut saya Pemkot Semarang lebih memilih mengoptimalkan potensi PKL daripada menggusurnya seperti yang telah terjadi," pungkasnya.
Pantauan KORAN SINDO di lapangan, dari beberapa lokasi penertiban PKL, banyak PKL yang kembali berjualan. Bahkan, hari ini, PKL yang menempati sepanjang trotoar Jalan Menteri Supeno, tepatnya di RSUP Dr Kariadi, kembali melakukan aktivitasnya. Padahal, sehari sebelumnya yakni Senin (25/8/2014), ratusan petugas Satpol PP telah membongkar paksa kios mereka dan mengangkut sejumlah barang-barang.
Menurut salah satu pedagang kelontong di lokasi itu yang enggan disebutkan namanya, dirinya nekat berjualan demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Menurutnya, jika tidak berjualan di lokasi itu, ia tidak mampu membiayai kehidupan keluarganya.
"Kemaren (Senin) memang habis ditertibkan, barang-barang saya dibawa petugas Satpol PP. Tapi saya ya tetep berjualan, kalau tidak keluarga saya makan apa," kata perempuan paruh baya itu, Selasa (26/8/2014).
Ia mengaku siap jika suatu saat ada penggusuran lagi. Namun selama tidak ada tempat berjualan yang bagus, dirinya akan kembali nekat berjualan di lokasi itu. "Pokoknya ya kucing-kucingan. Kalau tidak boleh berjualan di sini harusnya dicarikan lokasi lainnya. Jangan main bongkar saja," tegasnya.
Pengamat Ekonomi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang FX Sugiyanto menilai, penertiban PKL yang sering dilakukan oleh Satpol PP di Kota Semarang memang tidak menyelesaikan masalah. Justru, dari penertiban PKL tersebut menimbulkan masalah baru.
"Soalnya Pemkot hanya fokus untuk menertibkan tanpa memberikan solusi yakni mencarikan tempat yang strategis bagi para PKL berjualan. Kalau seperti ini terus, maka persoalan PKL di Kota Semarang tidak akan pernah selesai. Penertiban seperti itu tidak akan pernah efektif," ujarnya.
PKL, lanjut Sugiyanto, selama ini hanya menjadi korban atas kebijakan-kebijakan Pemkot Semarang. Kehadiran mereka bak anak haram yang selalu ingin dibuang oleh pemerintah setempat.
"Ini jelas tidak bagus bagi Kota Semarang. Seharusnya Pemkot meniru kota lain dalam menyelesaikan persoalan PKL ini. Mereka bisa belajar dari keberhasilan Kota Solo dalam mengatasi permasalahan PKL."
Lebih lanjut Sugiyanto mendesak Pemkot Semarang lebih mengoptimalkan potensi para PKL di Kota Semarang. Pengelolaan PKL secara baik harus dilakukan karena PKL juga merupakan salah satu instrumen untuk mengembangkan Kota Semarang.
"Selain berkontribusi bagi pendapatan kota, kehadiran para PKL juga mampu mengangkat Kota Semarang di bidang wisata kuliner. Jadi menurut saya Pemkot Semarang lebih memilih mengoptimalkan potensi PKL daripada menggusurnya seperti yang telah terjadi," pungkasnya.
(zik)