Jalankan tugas secara tulus untuk beribadah
A
A
A
Sindonews.com - Profesi petugas pengamat pos pemantauan Gunung Merapi, tidak selalu diniati dari awal. Meski sejalan dengan waktu, profesi tersebut menjadikan seseorang terpanggil dan dengan sukarela menjalani tugas mulia mereka untuk terus mengabarkan kondisi terbaru gunung teraktif di dunia itu.
Seperti yang dialami Purwono, salah satu petugas pengamat yang sudah melaksanakan pekerjaannya itu selama 21 tahun.
Hari Minggu, bukanlah hari libur bagi Purwono. Pria yang memiliki postur tubuh agak gemuk itu selalu standby selama 24 jam di Pos Pemantauan Gunung Merapi dimana dia ditempatkan.
Minggu 4 Mei 2014, Purwono tengah ditugaskan untuk berjaga di Pos Pemantauan Babadan. Pos itu sendiri berada pada jarak 4,4 kilometer arah Barat Daya dari puncak Merapi.
Seperti biasa, Purwono tampak melakukan tugasnya memantau layar komputer yang menunjukkan grafik aktivitas Merapi.
Beberapa hari terakhir, aktivitas pemantauan memang agak rutin dibanding biasanya, mengingat pada Rabu 30 April 2014 lalu status Merapi naik dari aktif normal level I menjadi waspada level II.
Pria yang merupakan warga asli Desa Sewukan, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang itu pun sesekali mengalihkan pandangan ke satu komputer lain yang berisi laporan pengamatan.
"Ya seperti ini lah pekerjaan saya setiap hari," kata Purwono sambil menggenggam pesawat HT.
Siapa sangka, jauh sebelum dirinya menggeluti profesi pengamat Gunung Merapi itu, Purwono sempat tidak berminat untuk masuk dalam dunia kegunung apian. Dia justru bercita- cita untuk menjadi seorang tentara lewat jalur ABRI kala itu.
"Saya tidak pernah terpikir untuk memiliki pekerjaan sebagai petugas pengamat Gunung Merapi. Saya bercita- cita untuk bisa menjadi tentara. Dulu sempat mendaftar juga, tapi tidak lolos," tutur bapak 3 anak itu.
Gagal masuk tentara, pria kelahiran 1 Juli 1959 itu kemudian masuk menjadi karyawan kontraktor pengeboran minyak di Dieng Wonosobo.
Merasa kurang cocok dengan prospek masa depan yang dihasilkan dari dunia kontraktor, Purwono akhirnya mencoba mendaftar di Kementerian Energi Sumber Daya Mineral untuk posisi petugas pengamat Gunung Merapi. Kebetulan kakak dari ayahnya juga bekerja sebagai petugas pengamat.
"Saya kemudian disuruh buat surat lamaran. Akhirnya, saya jadi petugas pengamat Gunung Merapi hingga saat ini," ujar suami dari Sri Surawi ini.
Purwono ditugaskan pertama kali di Pos Selo Boyolali sekitar tahun 1983 dengan status Pegawai Negeri Sipil (PNS) Golongan III.
Gaji bulan awal yang diterimanya saat itu masih Rp16 ribu. Sejak itu, dia juga sering ditugaskan berpindah- pindah di lima Pos Pengamatan Gunung Merapi.
Kelima pos itu yakni Pos Babadan di Kabupaten Magelang, Pos Ngepos yang juga di Kabupaten Magelang, Pos Jrakah di Klaten, Pos Kaliurang di Sleman, Yogjakarta, dan Pos Selo di Boyolali.
Di Pos Babadan sendiri, Purwono baru dua kali ditugaskan. Kali ini, dia bersama dengan dua orang petugas lain yang menjaga Pos Babadan dan Pos Ngepos bergantian, yaitu
Triyono dan Heru Purwoko.
Seiring berjalannya waktu, Purwono menyadari bahwa tugasnya merupakan tugas mulia dengan banyak orang bergantung padanya.
Hal itu pula yang kemudian membuat keluarganya mendukung dan tidak keberatan dengan pekerjaannya.
Meskipun dengan begitu, keluarga juga harus memaklumi jika waktu Purwono akan lebih banyak berada di pos pengamatan dibanding di rumah.
"Terkadang saya sampai tidak bisa untuk hanya sekedar refreshing dan berlibur dengan keluarga pada hari libur. Karena tidak semua petugas juga dalam kondisi sehat, ada kalanya ketika saya off (libur) tapi salah satu teman sakit, sehingga saya tidak jadi off," ungkap Purwono.
Dengan hanya tiga orang petugas yang berjaga bergantian di dua pos pengamatan wilayah Kabupaten Magelang, waktu libur untuk mereka menjadi berkurang.
Meskipun sebenarnya jadwal yang harusnya berlaku adalah dua hari di Pos Babadan, dua hari di Pos Ngepos, dan dua hari off.
Sedangkan pekerjaan yang harus dilakukan oleh petugas pengamat pun tidak sedikit. Setiap harinya, mereka harus mengamati puncak Gunung Merapi jika cuaca cerah, mendokumentasikan pengamatan mereka, dan membuat laporan.
"Ya suka tidak suka, tetap saya jalani. Apalagi fasilitas yang diberikan sekarang juga sudah cukup banyak, tidak seperti dulu. Yang penting penghasilan saya bisa mencukupi kebutuhan sehari- hari keluarga," ujarnya.
Selama 21 tahun bertugas, Purwono mengaku terus berusaha agar dirinya bermanfaat bagi masyarakat, terutama yang tinggal di lereng Gunung Merapi.
Satu hal yang sempat membuatnya trenyuh, adalah bagaimana nantinya warga akan mendapatkan informasi yang akurat tentang perkembangan Gunung Merapi jika tidak ada petugas pengamat seperti dirinya.
Sempat satu kali dirinya dibuat menangis karena erupsi dahsyat Merapi yang terjadi tahun 2010 lalu. Ketika itu, dirinya tengah berada di Pos Jrakah.
Merapi mengamuk, bererupsi, dan membuat segenap warga yang tinggal di sekitar pos Jrakah mengungsi.
"Saya sempat ikut mengungsi bersama warga, saya melihat mereka menangis dari yang anak- anak hingga tua. Tidak terasa saya ikut menangis. Lalu bagaimana nantinya jika tidak ada petugas pengamat Gunung Merapi, padahal jika saya lihat, aktivitas Merapi sepertinya masih akan terjadi," kata pria lulusan SMKN 1 Magelang jurusan tambang
itu.
Kini, dia mengaku masih akan terus menjalani pekerjaannya sebagai petugas pengamat Gunung Merapi layaknya beribadah.
Seperti yang dialami Purwono, salah satu petugas pengamat yang sudah melaksanakan pekerjaannya itu selama 21 tahun.
Hari Minggu, bukanlah hari libur bagi Purwono. Pria yang memiliki postur tubuh agak gemuk itu selalu standby selama 24 jam di Pos Pemantauan Gunung Merapi dimana dia ditempatkan.
Minggu 4 Mei 2014, Purwono tengah ditugaskan untuk berjaga di Pos Pemantauan Babadan. Pos itu sendiri berada pada jarak 4,4 kilometer arah Barat Daya dari puncak Merapi.
Seperti biasa, Purwono tampak melakukan tugasnya memantau layar komputer yang menunjukkan grafik aktivitas Merapi.
Beberapa hari terakhir, aktivitas pemantauan memang agak rutin dibanding biasanya, mengingat pada Rabu 30 April 2014 lalu status Merapi naik dari aktif normal level I menjadi waspada level II.
Pria yang merupakan warga asli Desa Sewukan, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang itu pun sesekali mengalihkan pandangan ke satu komputer lain yang berisi laporan pengamatan.
"Ya seperti ini lah pekerjaan saya setiap hari," kata Purwono sambil menggenggam pesawat HT.
Siapa sangka, jauh sebelum dirinya menggeluti profesi pengamat Gunung Merapi itu, Purwono sempat tidak berminat untuk masuk dalam dunia kegunung apian. Dia justru bercita- cita untuk menjadi seorang tentara lewat jalur ABRI kala itu.
"Saya tidak pernah terpikir untuk memiliki pekerjaan sebagai petugas pengamat Gunung Merapi. Saya bercita- cita untuk bisa menjadi tentara. Dulu sempat mendaftar juga, tapi tidak lolos," tutur bapak 3 anak itu.
Gagal masuk tentara, pria kelahiran 1 Juli 1959 itu kemudian masuk menjadi karyawan kontraktor pengeboran minyak di Dieng Wonosobo.
Merasa kurang cocok dengan prospek masa depan yang dihasilkan dari dunia kontraktor, Purwono akhirnya mencoba mendaftar di Kementerian Energi Sumber Daya Mineral untuk posisi petugas pengamat Gunung Merapi. Kebetulan kakak dari ayahnya juga bekerja sebagai petugas pengamat.
"Saya kemudian disuruh buat surat lamaran. Akhirnya, saya jadi petugas pengamat Gunung Merapi hingga saat ini," ujar suami dari Sri Surawi ini.
Purwono ditugaskan pertama kali di Pos Selo Boyolali sekitar tahun 1983 dengan status Pegawai Negeri Sipil (PNS) Golongan III.
Gaji bulan awal yang diterimanya saat itu masih Rp16 ribu. Sejak itu, dia juga sering ditugaskan berpindah- pindah di lima Pos Pengamatan Gunung Merapi.
Kelima pos itu yakni Pos Babadan di Kabupaten Magelang, Pos Ngepos yang juga di Kabupaten Magelang, Pos Jrakah di Klaten, Pos Kaliurang di Sleman, Yogjakarta, dan Pos Selo di Boyolali.
Di Pos Babadan sendiri, Purwono baru dua kali ditugaskan. Kali ini, dia bersama dengan dua orang petugas lain yang menjaga Pos Babadan dan Pos Ngepos bergantian, yaitu
Triyono dan Heru Purwoko.
Seiring berjalannya waktu, Purwono menyadari bahwa tugasnya merupakan tugas mulia dengan banyak orang bergantung padanya.
Hal itu pula yang kemudian membuat keluarganya mendukung dan tidak keberatan dengan pekerjaannya.
Meskipun dengan begitu, keluarga juga harus memaklumi jika waktu Purwono akan lebih banyak berada di pos pengamatan dibanding di rumah.
"Terkadang saya sampai tidak bisa untuk hanya sekedar refreshing dan berlibur dengan keluarga pada hari libur. Karena tidak semua petugas juga dalam kondisi sehat, ada kalanya ketika saya off (libur) tapi salah satu teman sakit, sehingga saya tidak jadi off," ungkap Purwono.
Dengan hanya tiga orang petugas yang berjaga bergantian di dua pos pengamatan wilayah Kabupaten Magelang, waktu libur untuk mereka menjadi berkurang.
Meskipun sebenarnya jadwal yang harusnya berlaku adalah dua hari di Pos Babadan, dua hari di Pos Ngepos, dan dua hari off.
Sedangkan pekerjaan yang harus dilakukan oleh petugas pengamat pun tidak sedikit. Setiap harinya, mereka harus mengamati puncak Gunung Merapi jika cuaca cerah, mendokumentasikan pengamatan mereka, dan membuat laporan.
"Ya suka tidak suka, tetap saya jalani. Apalagi fasilitas yang diberikan sekarang juga sudah cukup banyak, tidak seperti dulu. Yang penting penghasilan saya bisa mencukupi kebutuhan sehari- hari keluarga," ujarnya.
Selama 21 tahun bertugas, Purwono mengaku terus berusaha agar dirinya bermanfaat bagi masyarakat, terutama yang tinggal di lereng Gunung Merapi.
Satu hal yang sempat membuatnya trenyuh, adalah bagaimana nantinya warga akan mendapatkan informasi yang akurat tentang perkembangan Gunung Merapi jika tidak ada petugas pengamat seperti dirinya.
Sempat satu kali dirinya dibuat menangis karena erupsi dahsyat Merapi yang terjadi tahun 2010 lalu. Ketika itu, dirinya tengah berada di Pos Jrakah.
Merapi mengamuk, bererupsi, dan membuat segenap warga yang tinggal di sekitar pos Jrakah mengungsi.
"Saya sempat ikut mengungsi bersama warga, saya melihat mereka menangis dari yang anak- anak hingga tua. Tidak terasa saya ikut menangis. Lalu bagaimana nantinya jika tidak ada petugas pengamat Gunung Merapi, padahal jika saya lihat, aktivitas Merapi sepertinya masih akan terjadi," kata pria lulusan SMKN 1 Magelang jurusan tambang
itu.
Kini, dia mengaku masih akan terus menjalani pekerjaannya sebagai petugas pengamat Gunung Merapi layaknya beribadah.
(sms)