Legenda Gunung Kelud & pengkhianatan cinta
A
A
A
Sindonews.com - Menurut legenda, Gunung Kelud bukan berasal dari gundukan tanah yang meninggi secara alami. Melainkan terbentuk berkat sebuah pengkhianatan cinta seorang putri Dyah Ayu Puspasari terhadap Lembu Sura.
Kala itu, kecantikan Dyah Ayu Puspitasari, putri Prabu Brawijaya menyilaukan banyak pria. Sang putri yang memiliki tubuh yang amat mempesona itu menarik minat banyak pangeran dan raja untuk melamarnya.
Untuk menyaring siapa jodoh anaknya, Prabu Brawijaya kemudian membuat sayembara. Bagi para pria yang bisa menarik busur Kyai Garudayeksa dan mengangkat gong Kyai Sekadelima, dialah pendamping putri kesayangannya.
Pada saat yang telah ditentukan, para peserta kemudian berkumpul di alun-alun kerajaan. Prabu Brawijaya dan sang putri nampak bertengger di atas singgasana menyaksikan sayembara tersebut. Prabu Brawijaya pun kemudian memukul gong sebagai pertanda sayembara dimulai.
Satu perasatu peserta sayembara mengeluarkan seluruh kesaktiannya untuk merentang busur dan mengangkat gong tersebut. Namun, tak seorang pun yang berhasil melakukannya. Bahkan, tak sedikit pula di antara peserta yang kemudian mendapat musibah, seperti patah tangan dan patah pinggang.
Prabu Brawijaya pun kemudian menutup sayembara tersebut. Namun, ketika dia hendak memukul gong untuk menutup acara, seorang raja berwajah lembu, datang dan memohon izin kepada Prabu Brawijaya untuk ikut dalam sayembara tersebut.
"Ampun Gusti Prabu! Apakah hamba diperkenankan untuk mengikuti sayembara ini?" pinta pemuda itu.
"Hey pemuda, siapa namamu?" tanya Prabu Brawijaya.
"Nama saya Lembu Sura," jawab pemuda itu.
Prabu Brawijaya saat itu beranggapan pemuda berwajah lembu itu tak akan mampu merentangkan busur dan memukul gong seperti yang dikehendakinya.
Namun ternyata, dengan kesaktian yang dimilikinya, Lembu Sura dapat dengan mudah melakukan apa yang disayembarakan. Tepuk tangan penonton pun riuh menggema di pelataran istana.
Namun, sang putri merasa enggan bersuamikan pemuda berkepala lembu. Tak ingin terkesan menolak, Dyah Ayu Puspasari dan Prabu Brawijaya pun kemudian memberlakukan satu syarat tambahan, yakni Lembu Sura harus membuat sumur di puncak gunung.
Saking cintanya, Lembu Sura akhirnya mengerjakan apa yang diminta Dyah Ayu Puspasari tanpa dengan kesulitan. Tapi nyatanya, Dyah Ayu Puspasari dan ayahnya kemudian licik. Saat Lembu Sura berada di dalam sumur itu, Prabu Brawijaya memerintahkan pasukan Jenggala untuk mengubur Lembu Sura dengan batu.
Lembu Sura pun merasa dikhianati. Raja berkepala lembu itu kemudian berteriak lantang hingga terdengar kencang ke atas langit kepada Dyah Ayu dan Prabu Brawijaya.
"Oyoh, wong Kediri mbesuk bakal pethuk piwalesku sing makaping kaping yoiku. Kediri bakal dadi kali, Blitar dadi latar, Tulungagung bakal dadi Kedung. (Ya, orang Kediri besok akan mendapatkan balasanku yang sangat besar. Kediri bakal jadi sungai, Blitar akan jadi daratan dan Tulungagung menjadi danau," sumpah Lembu Suro yang merasa dendam.
Tak pelak, sumpah itu membuat raja dan rakyatnya takut, sehingga masyarakat lereng Gunung Kelud hingga kini masih melakukan sesaji sebagai tolak bala sumpah itu yang disebut Larung Sesaji.
Para warga pun meyakini, setiap Gunung Kelud meletus, merupakan pertanda marahnya Lembu Sura akibat dikhianati Dyah Ayu Puspasari dan Prabu Brawijaya.
Acara Larung Saji sendiri hingga kini digelar setahun sekali pada tanggal 23 bulan Suro oleh masyakat Sugih Waras. Pelaksanaan acara ritual ini juga menjadi wahana promosi untuk meningkatkan kunjungan wisatawan untuk datang ke Kediri.
(Diolah dari berbagai sumber)
Baca:
Detik-detik menegangkan saat letusan Gunung Kelud
Kala itu, kecantikan Dyah Ayu Puspitasari, putri Prabu Brawijaya menyilaukan banyak pria. Sang putri yang memiliki tubuh yang amat mempesona itu menarik minat banyak pangeran dan raja untuk melamarnya.
Untuk menyaring siapa jodoh anaknya, Prabu Brawijaya kemudian membuat sayembara. Bagi para pria yang bisa menarik busur Kyai Garudayeksa dan mengangkat gong Kyai Sekadelima, dialah pendamping putri kesayangannya.
Pada saat yang telah ditentukan, para peserta kemudian berkumpul di alun-alun kerajaan. Prabu Brawijaya dan sang putri nampak bertengger di atas singgasana menyaksikan sayembara tersebut. Prabu Brawijaya pun kemudian memukul gong sebagai pertanda sayembara dimulai.
Satu perasatu peserta sayembara mengeluarkan seluruh kesaktiannya untuk merentang busur dan mengangkat gong tersebut. Namun, tak seorang pun yang berhasil melakukannya. Bahkan, tak sedikit pula di antara peserta yang kemudian mendapat musibah, seperti patah tangan dan patah pinggang.
Prabu Brawijaya pun kemudian menutup sayembara tersebut. Namun, ketika dia hendak memukul gong untuk menutup acara, seorang raja berwajah lembu, datang dan memohon izin kepada Prabu Brawijaya untuk ikut dalam sayembara tersebut.
"Ampun Gusti Prabu! Apakah hamba diperkenankan untuk mengikuti sayembara ini?" pinta pemuda itu.
"Hey pemuda, siapa namamu?" tanya Prabu Brawijaya.
"Nama saya Lembu Sura," jawab pemuda itu.
Prabu Brawijaya saat itu beranggapan pemuda berwajah lembu itu tak akan mampu merentangkan busur dan memukul gong seperti yang dikehendakinya.
Namun ternyata, dengan kesaktian yang dimilikinya, Lembu Sura dapat dengan mudah melakukan apa yang disayembarakan. Tepuk tangan penonton pun riuh menggema di pelataran istana.
Namun, sang putri merasa enggan bersuamikan pemuda berkepala lembu. Tak ingin terkesan menolak, Dyah Ayu Puspasari dan Prabu Brawijaya pun kemudian memberlakukan satu syarat tambahan, yakni Lembu Sura harus membuat sumur di puncak gunung.
Saking cintanya, Lembu Sura akhirnya mengerjakan apa yang diminta Dyah Ayu Puspasari tanpa dengan kesulitan. Tapi nyatanya, Dyah Ayu Puspasari dan ayahnya kemudian licik. Saat Lembu Sura berada di dalam sumur itu, Prabu Brawijaya memerintahkan pasukan Jenggala untuk mengubur Lembu Sura dengan batu.
Lembu Sura pun merasa dikhianati. Raja berkepala lembu itu kemudian berteriak lantang hingga terdengar kencang ke atas langit kepada Dyah Ayu dan Prabu Brawijaya.
"Oyoh, wong Kediri mbesuk bakal pethuk piwalesku sing makaping kaping yoiku. Kediri bakal dadi kali, Blitar dadi latar, Tulungagung bakal dadi Kedung. (Ya, orang Kediri besok akan mendapatkan balasanku yang sangat besar. Kediri bakal jadi sungai, Blitar akan jadi daratan dan Tulungagung menjadi danau," sumpah Lembu Suro yang merasa dendam.
Tak pelak, sumpah itu membuat raja dan rakyatnya takut, sehingga masyarakat lereng Gunung Kelud hingga kini masih melakukan sesaji sebagai tolak bala sumpah itu yang disebut Larung Sesaji.
Para warga pun meyakini, setiap Gunung Kelud meletus, merupakan pertanda marahnya Lembu Sura akibat dikhianati Dyah Ayu Puspasari dan Prabu Brawijaya.
Acara Larung Saji sendiri hingga kini digelar setahun sekali pada tanggal 23 bulan Suro oleh masyakat Sugih Waras. Pelaksanaan acara ritual ini juga menjadi wahana promosi untuk meningkatkan kunjungan wisatawan untuk datang ke Kediri.
(Diolah dari berbagai sumber)
Baca:
Detik-detik menegangkan saat letusan Gunung Kelud
(rsa)