Orang gila di Garut bertambah
A
A
A
Sindonews.com - Populasi orang gila di Kabupaten Garut terus bertambah. Tidak hanya itu, jumlah pengemis pun mengalami peningkatan.
Salah seorang warga Desa Jayaraga, Kecamatan Tarogong Kidul, Iman Faturohman (35) menuturkan, keberadaan orang gila dan pengemis di Garut sudah cukup meresahkan warga. Sebab, tidak jarang ada warga yang diganggu oleh orang gila.
“Beberapa hari yang lalu saya mengalaminya. Saya sempat mengusir orang gila yang akan datang ke lingkungan tempat saya tinggal. Karena khawatir orang gila ini mengganggu, saya coba suruh dia pergi. Tapi saya malah dikejar,” tutur Iman, Senin (10/2/2014).
Dia melanjutkan, pakaian yang dikenakan orang gila sangat tidak pantas. Kadang-kadang, beberapa dari orang gila ini mengenakan pakaian setengah bugil. “Sangat tidak pantas untuk dilihat,” ucapnya.
Sementara itu, seorang PNS Ahmad, mengeluhkan banyaknya pengemis yang berkeliaran di sekitar kompleks perkantoran Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Garut. Meski tidak mengganggu, keberadaan pengemis ini membuat kompleks perkantoran terkesan kumuh.
“Pengemis di Garut tidak hanya meminta-meminta di jalan atau tempat rekreasi, tapi juga masuk ke kantor-kantor. Hampir setiap hari kerja, pasti pengemis berdatangan. Saya sendiri tidak yakin apakah mereka ini memang miskin atau bagaimana. Apalagi, sebagian besar berfisik sehat dan bugar," ungkapnya.
Terpisah, Kepala Dinas Tenaga Kerja Sosial dan Transmigrasi (Disnakersostrans) Kabupaten Garut Elka Nurhakimah mengaku, pihaknya pernah mendapat informasi mengenai populasi orang gila dan pengemis di Garut. Namun, hingga kini pihaknya kesulitan untuk mendata mereka.
“Kita punya data mengenai keberadaan mereka. Tapi sering kali data yang dimiliki tidak sama dengan keadaan di lapangan,” katanya.
Elka menambahkan, Pemkab Garut sering menghadapi sejumlah kendala saat menangani orang gila dan pengemis. Untuk penanganan terhadap orang gila, Pemkab Garut terkendala oleh tidak adanya fasilitas medis semisal rumah sakit jiwa.
“Penanganan masalah ini sebenarnya lintas sektor. Kesehatannya ada di Dinas Kesehatan (Dinkes) dan penertibannya ada di Satpol PP. Terlebih, di Garut tidak ada rumah sakit untuk orang gila. Kalau pun ditemukan orang gila, pasti akan kami koordinasikan dengan wilayah lain yang memiliki fasilitas rumah sakit jiwa,” jelasnya.
Dari pemantauan yang dia lakukan, keberadaan orang gila ini dapat ditemukan di sejumlah jalur lalulintas penghubung antar wilayah. Misalnya di Jalan Raya Bandung-Garut, tepatnya kawasan Kadungora-Leles, dan Bandung-Tasikmalaya, kawasan Limbangan-Malangbong.
“Bahkan kami juga pernah menerima laporan di kawasan Garut Selatan orang gila sering ditemukan. Dari informasi yang ada, rata-rata orang gila di kawasan selatan Garut itu hanya bisa berbahasa Jawa. Saya sendiri tidak tahu apakah orang gila ini memang sengaja dibuang atau datang sendiri dari daerah asalnya,” paparnya.
Terkait keberadaan pengemis, Pemkab Garut kesulitan untuk menanganinya. Selain tidak ada dasar aturan untuk melarang aktivitas mengemis, pemerintah tidak memiliki anggaran yang cukup untuk memberikan mereka pelatihan.
“Sulit rasanya untuk menyuruh mereka berhenti mengemis. Terlebih, anggaran dari pemerintah untuk memberikan pelatihan sangat terbatas. Kami hanya memiliki anggaran untuk memberikan pelatihan bagi anak jalanan dan Wanita Tuna Susila (WTS) saja,” paparnya.
Pada 2014 ini, program pemberian pelatihan kerja dari Disnakersostrans Garut hanya cukup untuk 30 anak jalanan dan 25 WTS. Biasanya, pelatihan yang diberikan berupa keterampilan di bidang mekanik dan ekonomi kreatif.
Salah seorang warga Desa Jayaraga, Kecamatan Tarogong Kidul, Iman Faturohman (35) menuturkan, keberadaan orang gila dan pengemis di Garut sudah cukup meresahkan warga. Sebab, tidak jarang ada warga yang diganggu oleh orang gila.
“Beberapa hari yang lalu saya mengalaminya. Saya sempat mengusir orang gila yang akan datang ke lingkungan tempat saya tinggal. Karena khawatir orang gila ini mengganggu, saya coba suruh dia pergi. Tapi saya malah dikejar,” tutur Iman, Senin (10/2/2014).
Dia melanjutkan, pakaian yang dikenakan orang gila sangat tidak pantas. Kadang-kadang, beberapa dari orang gila ini mengenakan pakaian setengah bugil. “Sangat tidak pantas untuk dilihat,” ucapnya.
Sementara itu, seorang PNS Ahmad, mengeluhkan banyaknya pengemis yang berkeliaran di sekitar kompleks perkantoran Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Garut. Meski tidak mengganggu, keberadaan pengemis ini membuat kompleks perkantoran terkesan kumuh.
“Pengemis di Garut tidak hanya meminta-meminta di jalan atau tempat rekreasi, tapi juga masuk ke kantor-kantor. Hampir setiap hari kerja, pasti pengemis berdatangan. Saya sendiri tidak yakin apakah mereka ini memang miskin atau bagaimana. Apalagi, sebagian besar berfisik sehat dan bugar," ungkapnya.
Terpisah, Kepala Dinas Tenaga Kerja Sosial dan Transmigrasi (Disnakersostrans) Kabupaten Garut Elka Nurhakimah mengaku, pihaknya pernah mendapat informasi mengenai populasi orang gila dan pengemis di Garut. Namun, hingga kini pihaknya kesulitan untuk mendata mereka.
“Kita punya data mengenai keberadaan mereka. Tapi sering kali data yang dimiliki tidak sama dengan keadaan di lapangan,” katanya.
Elka menambahkan, Pemkab Garut sering menghadapi sejumlah kendala saat menangani orang gila dan pengemis. Untuk penanganan terhadap orang gila, Pemkab Garut terkendala oleh tidak adanya fasilitas medis semisal rumah sakit jiwa.
“Penanganan masalah ini sebenarnya lintas sektor. Kesehatannya ada di Dinas Kesehatan (Dinkes) dan penertibannya ada di Satpol PP. Terlebih, di Garut tidak ada rumah sakit untuk orang gila. Kalau pun ditemukan orang gila, pasti akan kami koordinasikan dengan wilayah lain yang memiliki fasilitas rumah sakit jiwa,” jelasnya.
Dari pemantauan yang dia lakukan, keberadaan orang gila ini dapat ditemukan di sejumlah jalur lalulintas penghubung antar wilayah. Misalnya di Jalan Raya Bandung-Garut, tepatnya kawasan Kadungora-Leles, dan Bandung-Tasikmalaya, kawasan Limbangan-Malangbong.
“Bahkan kami juga pernah menerima laporan di kawasan Garut Selatan orang gila sering ditemukan. Dari informasi yang ada, rata-rata orang gila di kawasan selatan Garut itu hanya bisa berbahasa Jawa. Saya sendiri tidak tahu apakah orang gila ini memang sengaja dibuang atau datang sendiri dari daerah asalnya,” paparnya.
Terkait keberadaan pengemis, Pemkab Garut kesulitan untuk menanganinya. Selain tidak ada dasar aturan untuk melarang aktivitas mengemis, pemerintah tidak memiliki anggaran yang cukup untuk memberikan mereka pelatihan.
“Sulit rasanya untuk menyuruh mereka berhenti mengemis. Terlebih, anggaran dari pemerintah untuk memberikan pelatihan sangat terbatas. Kami hanya memiliki anggaran untuk memberikan pelatihan bagi anak jalanan dan Wanita Tuna Susila (WTS) saja,” paparnya.
Pada 2014 ini, program pemberian pelatihan kerja dari Disnakersostrans Garut hanya cukup untuk 30 anak jalanan dan 25 WTS. Biasanya, pelatihan yang diberikan berupa keterampilan di bidang mekanik dan ekonomi kreatif.
(san)