Kondisi Keraton Solo mulai kondusif
A
A
A
Sindonews.com - Kondisi kompleks Keraton Kasunanan Surakarta (Keraton Solo) mulai kondusif. Kondisi keraton tersebut berangsur-angsur pulih pasca bentrok yang berujung pendobrakan salah satu pintu keraton dengan mobil oleh warga Baluwarti, Senin (26/8) malam.
Sejauh pantauan KORAN SINDO, sejak pagi hari geliat perekonomian mulai terlihat. Satu persatu para pedagang mulai menampakkan diri di kompleks keraton peninggalan Zaman Mataram Islam tersebut.
Tidak hanya itu warga juga tampak beraktifitas seperti biasa. Jalur di dalam keraton tersebut juga terlihat ramai seperti tidak ada sesuatu yang terjadi di kompleks keraton tersebut.
Tidak terlihat lagi pendekar silat seperti hari Senin yang lalu.
Akan tetapi ratusan personel dari Kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih tampak berjaga-jaga dengan senjata lengkap.
Seorang warga bernama Suryono mengatakan, sejak Senin malam situasi sudah aman. Konflik itu mereda sejak ada pendobrakan pintu Sasana Putra oleh orang yang mengatasnamakan warga Baluwarti.
“Setelah itu kondisi kompleks keraton mulai tenang. Bentrok juga sudah tidak terjadi lagi, sehingga aktifivas berjalan seperti biasanya hingga siang hari ini,” ucapnya, Selasa (27/8/2013).
Sementara itu, kerabat Keraton Kasunanan Surakarta, KRMH Satrio Hadinagoro, membenarkan suasana keraton memang mulai kondusif.
Pihaknya meminta maaf kepada seluruh warga atas konlfik yang terjadi. “Ya kita itu sebenarnya tidak menginginkan dengan apa yang terjadi kemarin. Kita sebagai keluarga trah Mataram, meminta maaf atas ketidaknyamanan masyarakat akibat konflik yang berkepanjangan di Kompleks Keraton Kasunanan Surakarta,” ucapnya.
Namun demikian, pihaknya tetap meminta kepolisian untuk mengusut tuntas perusakan pintu keraton tersebut. Apalagi bangunan keraton itu masuk dalam kategori benda cagar budaya yang harus dilindungi keberadaanya.
Selain itu ia juga meminta kepada Mahapatih Tedjowulan untuk mengakui kesalahannya yang telah menyalahai aturan adat. Menurutnya konflik yang berkepanjangan tersebut dipicu oleh Tedjowulan yang telah mengaku dirinya sebagai Raja di Kasunanan Surakarta pada beberapa tahun lalu.
Padahal raja yang sah menurut adat adalah Pakubuana XIII Hanggabehi.
“Jika Tedjowulan itu mau mengakui kesalahannya yang mengaku-ngaku dirinya sebagai raja, masalah ini sudah selesai. Kita itu masyarakat adat yang memiliki aturan adat, jika ada yang melanggar harusnya ada etiket baik untuk memperbaikinya,” pungkasnya.
Sejauh pantauan KORAN SINDO, sejak pagi hari geliat perekonomian mulai terlihat. Satu persatu para pedagang mulai menampakkan diri di kompleks keraton peninggalan Zaman Mataram Islam tersebut.
Tidak hanya itu warga juga tampak beraktifitas seperti biasa. Jalur di dalam keraton tersebut juga terlihat ramai seperti tidak ada sesuatu yang terjadi di kompleks keraton tersebut.
Tidak terlihat lagi pendekar silat seperti hari Senin yang lalu.
Akan tetapi ratusan personel dari Kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih tampak berjaga-jaga dengan senjata lengkap.
Seorang warga bernama Suryono mengatakan, sejak Senin malam situasi sudah aman. Konflik itu mereda sejak ada pendobrakan pintu Sasana Putra oleh orang yang mengatasnamakan warga Baluwarti.
“Setelah itu kondisi kompleks keraton mulai tenang. Bentrok juga sudah tidak terjadi lagi, sehingga aktifivas berjalan seperti biasanya hingga siang hari ini,” ucapnya, Selasa (27/8/2013).
Sementara itu, kerabat Keraton Kasunanan Surakarta, KRMH Satrio Hadinagoro, membenarkan suasana keraton memang mulai kondusif.
Pihaknya meminta maaf kepada seluruh warga atas konlfik yang terjadi. “Ya kita itu sebenarnya tidak menginginkan dengan apa yang terjadi kemarin. Kita sebagai keluarga trah Mataram, meminta maaf atas ketidaknyamanan masyarakat akibat konflik yang berkepanjangan di Kompleks Keraton Kasunanan Surakarta,” ucapnya.
Namun demikian, pihaknya tetap meminta kepolisian untuk mengusut tuntas perusakan pintu keraton tersebut. Apalagi bangunan keraton itu masuk dalam kategori benda cagar budaya yang harus dilindungi keberadaanya.
Selain itu ia juga meminta kepada Mahapatih Tedjowulan untuk mengakui kesalahannya yang telah menyalahai aturan adat. Menurutnya konflik yang berkepanjangan tersebut dipicu oleh Tedjowulan yang telah mengaku dirinya sebagai Raja di Kasunanan Surakarta pada beberapa tahun lalu.
Padahal raja yang sah menurut adat adalah Pakubuana XIII Hanggabehi.
“Jika Tedjowulan itu mau mengakui kesalahannya yang mengaku-ngaku dirinya sebagai raja, masalah ini sudah selesai. Kita itu masyarakat adat yang memiliki aturan adat, jika ada yang melanggar harusnya ada etiket baik untuk memperbaikinya,” pungkasnya.
(lns)