Gubernur Bali diminta cabut SK reklamasi Tanjung Benoa
A
A
A
Sindonews.com - Gubernur Bali Made Mangku Pastika diminta mencabut SK 2138/02-C/HK/2012 tentang Pemberian Izin dan Hak Pemanfaatan Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa Provinsi Bali. Surat tertanggal 26 Desember 2012, itu dinilai cacat hukum, dan berpotensi melahirkan persoalan hukum di kemudian hari.
Pandangan itu, disampaikan Pakar hukum Universitas Udayana Denpasar Prof.DR. Putu Sakabawa Landra, ketika menanggapi kontroversi wacana reklamasi pembangunan pulau penyangga di Teluk Tanjung Benoa, Kabupaten Badung. Sukabawa tidak mau berdiskusi lebih jauh soal konsekuensi hukum yang terjadi, lantaran SK tersebut cacat hukum.
"Lebih baik gubernur segera mencabut SK tersebut demi Bali, karena secara prosedural menyalahi aturan," ujarnya di Kampus Universitas Udayana Denpasar, Kamis (11/7/2013).
Dia berharap, demi kepentingan Bali dan demi hukum sendiri, maka Gubernur Pastika harus segera mencabut SK tentang Izin dan Hak Pemanfaatan Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa Provinsi Bali.
Dia lantas memberi argumen, lahirnya SK itu hanya berdasarkan hasil kajian dan studi kelayakan yang belum final.
"Lantas SK Reklamasi itu diterbitkan berdasarkan apa? Sementara hasil kajiannya sendiri belum final," tanya Sukabawa yang juga Sekretaris Program Studi Magister Hukum Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Internasional Unud.
Diakuinya, saat rapat tertutup dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Udayana Denpasar, muncul kesimpulan bahwa kajian ilmiah LPPM terkait wacana reklamasi pantai belum final.
Demikian juga, dokumen Amdal yang diperlukan sebagai dasar kajian belum dimiliki. Pun, hasil kesimpulannya belum final lantaran kajian ilmiah baru sebatas aspek teknis, lingkungan hidup, serta aspek sosial budaya.
Padahal, mestinya kajian yang dilakukan harus menyeluruh atau banyak aspek lainnnya yang belum disentuh seperti Amdal, material batu, atau tanah hingga aspek finansialnya.
Dengan kata lain, secara hukum sebuah studi yang belum final tidak bisa dijadikan referensi dan tidak bisa menjadi konsideran hukum.
Karenanya, dia mengingatkan, jangan sampai masyarakat marah atas lahirnya SK tersebut. "Gubernur berhak mencabut SK demi hukum dan demi Bali," tutupnya.
Pandangan itu, disampaikan Pakar hukum Universitas Udayana Denpasar Prof.DR. Putu Sakabawa Landra, ketika menanggapi kontroversi wacana reklamasi pembangunan pulau penyangga di Teluk Tanjung Benoa, Kabupaten Badung. Sukabawa tidak mau berdiskusi lebih jauh soal konsekuensi hukum yang terjadi, lantaran SK tersebut cacat hukum.
"Lebih baik gubernur segera mencabut SK tersebut demi Bali, karena secara prosedural menyalahi aturan," ujarnya di Kampus Universitas Udayana Denpasar, Kamis (11/7/2013).
Dia berharap, demi kepentingan Bali dan demi hukum sendiri, maka Gubernur Pastika harus segera mencabut SK tentang Izin dan Hak Pemanfaatan Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa Provinsi Bali.
Dia lantas memberi argumen, lahirnya SK itu hanya berdasarkan hasil kajian dan studi kelayakan yang belum final.
"Lantas SK Reklamasi itu diterbitkan berdasarkan apa? Sementara hasil kajiannya sendiri belum final," tanya Sukabawa yang juga Sekretaris Program Studi Magister Hukum Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Internasional Unud.
Diakuinya, saat rapat tertutup dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Udayana Denpasar, muncul kesimpulan bahwa kajian ilmiah LPPM terkait wacana reklamasi pantai belum final.
Demikian juga, dokumen Amdal yang diperlukan sebagai dasar kajian belum dimiliki. Pun, hasil kesimpulannya belum final lantaran kajian ilmiah baru sebatas aspek teknis, lingkungan hidup, serta aspek sosial budaya.
Padahal, mestinya kajian yang dilakukan harus menyeluruh atau banyak aspek lainnnya yang belum disentuh seperti Amdal, material batu, atau tanah hingga aspek finansialnya.
Dengan kata lain, secara hukum sebuah studi yang belum final tidak bisa dijadikan referensi dan tidak bisa menjadi konsideran hukum.
Karenanya, dia mengingatkan, jangan sampai masyarakat marah atas lahirnya SK tersebut. "Gubernur berhak mencabut SK demi hukum dan demi Bali," tutupnya.
(san)