Temui SBY, 5 warga Syiah Sampang bersepeda ke Jakarta
A
A
A
Sindonews.com - Konflik fisik antar warga Syiah dan Sunni di Desa Karanggayam dan Bluuran Sampang, Madura, Jawa Timur saat ini memang sudah tidak terjadi. Meski begitu, luka akibat “permusuhan” tersebut belum sepenuhnya sembuh.
Sedikitnya 165 warga Syiah hingga kini masih belum berani kembali ke rumahnya. Selama sembilan bulan mereka terpaksa hidup mengungsi di GOR Wijaya Kusuma, Sampang. Relokasi yang ditawarkan pihak pemerintah tidak diminati warga minoritas ini. Sebab keinginan mereka memang ingin kembali ke rumahnya.
Terkait persoalan ini, lima warga Syiah Sampang pun berniat mengadukan nasibnya ke Presiden SBY di Jakarta. Caranya mereka bersepeda dari Jawa Timur ke ibu kota Indonesia. Rabu (5/6) lima orang ini melintas di Kudus. Mereka pun menyempatkan diri mengunjungi Menara Kudus yang merupakan simbol toleransi beragama di Kota Kretek. Bagaimana ceritanya?.
Sudah lima hari terakhir Mujadin (40), melibas debu Pantura dan tak menghiraukan panasnya terik matahari jalan nasional penghubung Jawa Timur dan Jawa Tengah tersebut. Sejumlah kota mulai dari Surabaya, Jatim hingga Pati, Jateng sudah dilaluinya. Kini, Mujadin pun tiba di Kabupaten Kudus.
Di Kota Kretek ini, ia menyempatkan diri berkunjung ke Menara Kudus yang merupakan simbol toleransi beragama di kota yang didirikan oleh seorang penyebar Islam di Pulau Jawa, Sunan Kudus. Ia ingin sejenak merenung tentang keberagaman dan keberagamaan di Indonesia yang belakangan ini kian tak jelas arahnya.
"Kita berangkat tanggal 1 Juni saat hari lahirnya Pancasila dan rencananya tiba di Jakarta 16 Juni,” kata Mujadin saat ditemui di Menara Kudus, Rabu (5/6/2013).
Selain Mujadin, ada empat orang rekannya yang juga ngonthel dan menempuh perjalanan ratusan atau mungkin ribuan kilometer dari Surabaya ke Jakarta. Masing-masing yakni Mat Rosyid (24) ; Rohman (35) ; Anwar (36); dan Muis (20). Sepeda yang digunakan lima warga Syiah ini bukan sepeda “modern” milik para pebalap. Namun sepeda biasa yang lazim dimiliki warga pada umumnya.
Praktis, daya jelajah lima warga ini juga terbatas. Dalam sehari mereka hanya bisa menempuh perjalanan sekitar 59 kilometer (km). Jarak tersebut ditempuh dalam kurun waktu pagi sejak pukul 08.00 WIB hingga pukul 15.00 atau 16.00 WIB. Sedang sore atau malam hari dipergunakan untuk istirahat agar stamina mereka tetap terjaga agar bisa menempuh perjalanan hingga Jakarta dengan sehat.
“Lagipula kalau malam bersepeda melintasi pantura bahaya. Kami juga ingin pulang ke Sampang lagi dengan selamat karena punya keluarga di sana,” jelasnya.
Mat Rosyid mengatakan jika malam tiba, ia dan rekan-rekannya terpaksa menginap di kota atau kabupaten yang dilintasi. Untuk tempat menginap, sejauh ini tidak ada masalah. Sebab ada LSM, ormas dan elemen lainnya yang peduli dengan perjuangan mereka. Namun jangan dibayangkan tempat mereka berada di hotel atau losmen kelas melati. Tempat penginapan mereka bisa di rumah kontrakan aktivis LSM atau mungkin ruangan di gereja yang pengurusnya peduli dengan mereka.
“Fasilitasnya tentu seadanya, tapi tidak masalah. Justru kami bersyukur karena ada masih ada yang peduli,” terangnya.
Saat berada di Kudus, lima warga Syiah ini diterima oleh salah seorang “murid” Bapak Pluralisme Indonesia, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yakni Aris Junaidi. Aris yang saat ini dipercaya sebagai Sekretaris DPP Gerakan Kebangkitan Rakyat (Gatara) ini mengaku prihatin dengan kian minimnya toleransi di Indonesia. Sebab saat ini, kekerasan yang mengatasnamakan agama kian sering terjadi di Tanah Air. Baik dilakukan antar pemeluk agama berbeda maupun sesama penganut agama yang sama.
“Ini menjadi PR bagi Presiden SBY. Pemerintah mestinya bisa menjamin keamanan dan kenyamanan umat beragama di Indonesia, termasuk warga Syiah yang memang minoritas. Ini salah satu warisan gerakan Gus Dur yang harus diteruskan oleh para pemimpin di Indonesia,” tutur Aris yang juga Ketua Dewan Kesenian Kudus (DKD) ini.
Sementara itu, aktivis Kontras yang mendampingi lima warga Syiah Sampang, Fatkhul Khoir mengatakan pihaknya mendesak pemerintah segera mengambil langkah konkret agar nasib warga Syiah Sampang tidak terus terkatung-katung. Menurutnya tawaran relokasi bukan solusi utama. Sebab relokasi tidak mampu menyelesaikan akar konflik. Terpenting justru pemerintah menggelar rekonsiliasi agar warga Syiah maupun Sunni bisa kembali lagi ke kehidupan normalnya, seperti sebelum terjadinya konflik.
“Karena tidak ada solusi konkrit dari Pemkab Sampang maupun Pemprov Jatim makanya kita ke Jakarta. Semoga Presiden SBY bisa benar-benar menyelesaikan persoalan ini,” tandasnya.
Sedikitnya 165 warga Syiah hingga kini masih belum berani kembali ke rumahnya. Selama sembilan bulan mereka terpaksa hidup mengungsi di GOR Wijaya Kusuma, Sampang. Relokasi yang ditawarkan pihak pemerintah tidak diminati warga minoritas ini. Sebab keinginan mereka memang ingin kembali ke rumahnya.
Terkait persoalan ini, lima warga Syiah Sampang pun berniat mengadukan nasibnya ke Presiden SBY di Jakarta. Caranya mereka bersepeda dari Jawa Timur ke ibu kota Indonesia. Rabu (5/6) lima orang ini melintas di Kudus. Mereka pun menyempatkan diri mengunjungi Menara Kudus yang merupakan simbol toleransi beragama di Kota Kretek. Bagaimana ceritanya?.
Sudah lima hari terakhir Mujadin (40), melibas debu Pantura dan tak menghiraukan panasnya terik matahari jalan nasional penghubung Jawa Timur dan Jawa Tengah tersebut. Sejumlah kota mulai dari Surabaya, Jatim hingga Pati, Jateng sudah dilaluinya. Kini, Mujadin pun tiba di Kabupaten Kudus.
Di Kota Kretek ini, ia menyempatkan diri berkunjung ke Menara Kudus yang merupakan simbol toleransi beragama di kota yang didirikan oleh seorang penyebar Islam di Pulau Jawa, Sunan Kudus. Ia ingin sejenak merenung tentang keberagaman dan keberagamaan di Indonesia yang belakangan ini kian tak jelas arahnya.
"Kita berangkat tanggal 1 Juni saat hari lahirnya Pancasila dan rencananya tiba di Jakarta 16 Juni,” kata Mujadin saat ditemui di Menara Kudus, Rabu (5/6/2013).
Selain Mujadin, ada empat orang rekannya yang juga ngonthel dan menempuh perjalanan ratusan atau mungkin ribuan kilometer dari Surabaya ke Jakarta. Masing-masing yakni Mat Rosyid (24) ; Rohman (35) ; Anwar (36); dan Muis (20). Sepeda yang digunakan lima warga Syiah ini bukan sepeda “modern” milik para pebalap. Namun sepeda biasa yang lazim dimiliki warga pada umumnya.
Praktis, daya jelajah lima warga ini juga terbatas. Dalam sehari mereka hanya bisa menempuh perjalanan sekitar 59 kilometer (km). Jarak tersebut ditempuh dalam kurun waktu pagi sejak pukul 08.00 WIB hingga pukul 15.00 atau 16.00 WIB. Sedang sore atau malam hari dipergunakan untuk istirahat agar stamina mereka tetap terjaga agar bisa menempuh perjalanan hingga Jakarta dengan sehat.
“Lagipula kalau malam bersepeda melintasi pantura bahaya. Kami juga ingin pulang ke Sampang lagi dengan selamat karena punya keluarga di sana,” jelasnya.
Mat Rosyid mengatakan jika malam tiba, ia dan rekan-rekannya terpaksa menginap di kota atau kabupaten yang dilintasi. Untuk tempat menginap, sejauh ini tidak ada masalah. Sebab ada LSM, ormas dan elemen lainnya yang peduli dengan perjuangan mereka. Namun jangan dibayangkan tempat mereka berada di hotel atau losmen kelas melati. Tempat penginapan mereka bisa di rumah kontrakan aktivis LSM atau mungkin ruangan di gereja yang pengurusnya peduli dengan mereka.
“Fasilitasnya tentu seadanya, tapi tidak masalah. Justru kami bersyukur karena ada masih ada yang peduli,” terangnya.
Saat berada di Kudus, lima warga Syiah ini diterima oleh salah seorang “murid” Bapak Pluralisme Indonesia, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yakni Aris Junaidi. Aris yang saat ini dipercaya sebagai Sekretaris DPP Gerakan Kebangkitan Rakyat (Gatara) ini mengaku prihatin dengan kian minimnya toleransi di Indonesia. Sebab saat ini, kekerasan yang mengatasnamakan agama kian sering terjadi di Tanah Air. Baik dilakukan antar pemeluk agama berbeda maupun sesama penganut agama yang sama.
“Ini menjadi PR bagi Presiden SBY. Pemerintah mestinya bisa menjamin keamanan dan kenyamanan umat beragama di Indonesia, termasuk warga Syiah yang memang minoritas. Ini salah satu warisan gerakan Gus Dur yang harus diteruskan oleh para pemimpin di Indonesia,” tutur Aris yang juga Ketua Dewan Kesenian Kudus (DKD) ini.
Sementara itu, aktivis Kontras yang mendampingi lima warga Syiah Sampang, Fatkhul Khoir mengatakan pihaknya mendesak pemerintah segera mengambil langkah konkret agar nasib warga Syiah Sampang tidak terus terkatung-katung. Menurutnya tawaran relokasi bukan solusi utama. Sebab relokasi tidak mampu menyelesaikan akar konflik. Terpenting justru pemerintah menggelar rekonsiliasi agar warga Syiah maupun Sunni bisa kembali lagi ke kehidupan normalnya, seperti sebelum terjadinya konflik.
“Karena tidak ada solusi konkrit dari Pemkab Sampang maupun Pemprov Jatim makanya kita ke Jakarta. Semoga Presiden SBY bisa benar-benar menyelesaikan persoalan ini,” tandasnya.
(rsa)