Berkedok normalisasi sungai, Pemkab Sleman jual beli pasir
A
A
A
Sindonews.com - Pemberian izin untuk normalisasi akibat erupsi Merapi 2010 di Daerah Aliran Sungai (DAS) wilayah Sleman disinyalir hanya sebagai kedok. Fakta yang terlihat di lapangan, tidak ada prosedur yang jelas dalam melakukan normalisasi untuk mitigasi bencana itu.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta, Suparlan menuding, normalisasi sungai yang selama ini dilakukan hanya untuk jual beli pasir saja. Dalam hal ini, konteks jual beli adalah legalitas, antara pemberi izin dengan yang diberi izin. "Ini bukan normalisasi, tapi bisnis pasir atau penambangan," ujarnya, Sabtu (9/2/2013).
Menurutnya, para penambang pasir di sungai-sungai yang dilewati material lahar dingin tersebut, hanya mengambil pasirnya saja, dan batu kerikil yang dianggap tidak bernilai ekonomis, ditinggalkan.
Selain itu, payung hukum yang diberikan oleh pihak pemberi izin, yaitu Pemerintah Kabupaten Sleman, tidak jelas. Sarana prasarana, waktu atau durasi dalam melakukan normalisasi, dan skema normalisasi, tidak diketahui kejelasannya.
"Lahan yang dinormalisasi harus jelas durasi waktunya dan pemetaan. Selama ini juga tidak ada kontrol seberapa lebar dan dalamnya sungai dinormalisasi. Ada sungai yang seharusnya mempunyai kedalaman enam meter namun dikeruk hingga sepuluh meter," imbuhnya.
Ke depannya, pihak pemerintah harus melakukan upaya yang tegas dan kontrol yang ketat dalam memberikan izin normalisasi ini. Sebab, normalisasi yang dilakukan seharusnya difungsikan untuk mitigasi bencana banjir lahar dingin Merapi.
Terpisah, Kepala Desa Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, Heri Suprapto mengatakan, di wilayahnya yang dilakukan normalisasi sungai, yaitu di Sungai Gendol sepanjang tujuh kilometer.
Untuk alat berat yang masuk di dalam sungai sebanyak 13 hingga 15 unit. Sedangkan alat berat yang digunakan di luar sungai, yaitu di lahan-lahan pinggi sungai sebanyak sembilan unit. "Kalau pengerukan pasir dilakukan dari pukul 04.00 hingga pukul 18.00 WIB. Jalanan yang dilewati truk pasir tidak terlalu parah kerusakannya," ucapnya.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta, Suparlan menuding, normalisasi sungai yang selama ini dilakukan hanya untuk jual beli pasir saja. Dalam hal ini, konteks jual beli adalah legalitas, antara pemberi izin dengan yang diberi izin. "Ini bukan normalisasi, tapi bisnis pasir atau penambangan," ujarnya, Sabtu (9/2/2013).
Menurutnya, para penambang pasir di sungai-sungai yang dilewati material lahar dingin tersebut, hanya mengambil pasirnya saja, dan batu kerikil yang dianggap tidak bernilai ekonomis, ditinggalkan.
Selain itu, payung hukum yang diberikan oleh pihak pemberi izin, yaitu Pemerintah Kabupaten Sleman, tidak jelas. Sarana prasarana, waktu atau durasi dalam melakukan normalisasi, dan skema normalisasi, tidak diketahui kejelasannya.
"Lahan yang dinormalisasi harus jelas durasi waktunya dan pemetaan. Selama ini juga tidak ada kontrol seberapa lebar dan dalamnya sungai dinormalisasi. Ada sungai yang seharusnya mempunyai kedalaman enam meter namun dikeruk hingga sepuluh meter," imbuhnya.
Ke depannya, pihak pemerintah harus melakukan upaya yang tegas dan kontrol yang ketat dalam memberikan izin normalisasi ini. Sebab, normalisasi yang dilakukan seharusnya difungsikan untuk mitigasi bencana banjir lahar dingin Merapi.
Terpisah, Kepala Desa Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, Heri Suprapto mengatakan, di wilayahnya yang dilakukan normalisasi sungai, yaitu di Sungai Gendol sepanjang tujuh kilometer.
Untuk alat berat yang masuk di dalam sungai sebanyak 13 hingga 15 unit. Sedangkan alat berat yang digunakan di luar sungai, yaitu di lahan-lahan pinggi sungai sebanyak sembilan unit. "Kalau pengerukan pasir dilakukan dari pukul 04.00 hingga pukul 18.00 WIB. Jalanan yang dilewati truk pasir tidak terlalu parah kerusakannya," ucapnya.
(lns)