Vonis 2 Tahun terhadap Jurnalis Sadli Preseden Buruk bagi Kebebasan Pers

Senin, 30 Maret 2020 - 06:16 WIB
Vonis 2 Tahun terhadap Jurnalis Sadli Preseden Buruk bagi Kebebasan Pers
Vonis 2 Tahun terhadap Jurnalis Sadli Preseden Buruk bagi Kebebasan Pers
A A A
BUTON - Vonis pidana penjara selama dua tahun terhadap jurnalis asal Buton Tengah, Provinsi Sulawesi Tenggara (Tenggara), M Sadli Saleh, yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Pasarwajo, Buton, dinilai menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers. Putusan ini juga dikhawatirkan menjadi yurispudensi 'kriminalisasi' bagi jurnalis lain maupun media massa.

Pembina Himpunan Pemuda Pelajar Mahasiswa Indonesia Buton (HIPPMIB) Bersatu-Jakarta, Sabir Laluhu mengatakan, semua pihak, termasuk M Sadli Saleh dan tim penasihat hukum, jaksa penuntut umum (JPU) pada Kejaksaan Negeri Buton, dan pelapor yakni Bupati Buton Tengah (Buteng) Samanhudi, tentu mesti mengormati putusan dua tahun penjara yang telah dibacakan majelis hakim Pengadilan Negeri Pasarwajo dalam persidangan terbuka untuk umum pada Kamis, 26 Maret 2020.

Sabir mengaku kaget saat mendapatkan informasi dari tangan pertama maupun pemberitaan media massa bahwa dalam forum persidangan ternyata Sadli menerima putusan. Pasalnya JPU yang menangani perkaranya saja masih menyatakan pikir-pikir selama tujuh hari.

Di sisi lain, Sabir menilai, putusan terhadap Sadli menjadi preseden buruk baik kebebasan pers dan profesi jurnalis. Apalagi perkara yang menjerat Sadli sehubungan dengan berita yang ditulisnya selaku jurnalis merangkap pemimpin redaksi liputanpersadacom saat itu. (Baca juga: Mengkritik Bupati Lewat Tulisan, Wartawan Dikriminalisasi)

"Putusan terhadap M. Sadli Saleh ini bukan masalah dua tahun pidana penjara atau betapapun vonis yang dijatuhkan majelis hakim. Putusan untuk Sadli ini jadi preseden buruk bagi kebebasan pers di Indonesia. Putusan ini juga akan jadi yurispudensi, ketika nanti sudah berkekuatan hukum tetap, bagi majelis hakim yang menangani perkara yang hampir sama," tegas Sabir melalui siaran pers di Jakarta, Senin (30/3/2020).

Sekretaris Bidang Humas Kerukunan Keluarga Sulawesi Tenggara (KKST) ini membeberkan, ada beberapa alasan kenapa putusan terhadap Sadli menjadi preseden buruk dan yurispudensi. Pertama, Sadli dilaporkan, disidik, kemudian diadili akibat dari berita yang ditulis dan ditayangkan pada laman media daring liputanpersadacom.

"Putusan itu secara tidak langsung melegitimasi siapa pun pihak tidak hanya pejabat publik, yang merasa tidak senang atau mengganggap dirinya dirugikan akibat berita, tidak perlu membawa berita media massa atau jurnalis atau media massa ke ranah sengketa pers ke Dewan Pers. Siapapun itu akan bisa langsung membawa ke ranah pidana," ujar Sabir.

Kedua, selama proses persidangan berlangsung ternyata Bupati Buteng Samanhudi tidak hadir memberikan kesaksian di hadapan majelis hakim meski telah beberapa kali dipanggil oleh JPU. (Baca juga: Majelis Hakim Mestinya Bisa Bebaskan M Sadli Saleh)

Menurut Sabir, alasan bahwa Samanhudi sedang sibuk menjalankan tugasnya sebagai Bupati Buteng jelas-jelas tidak mengindahkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasalnya pemanggilan seseorang untuk bersaksi di dalam persidangan merupakan kewajiban seorang warga negara, siapapun dia.

"Akan ada pihak yang jadikan ketidakhadiran Samanhudi sebagai contoh. 'Ah dia saja bisa, kenapa saya nggak. Toh kan Berita Acara Pemeriksaan saat di tahap penyidikan kan bisa dibacakan saja oleh JPU dalam persidangan'. Bisa jadi tindakan seperti Samanhudi akan terulang," tuturnya.

Jurnalis sebuah media nasional ini membeberkan, alasan ketiga yakni majelis hakim maupun JPU yang sedang atau akan menangani perkara serupa akan mengambil tindakan yang sama dengan tidak menghadirkan seorang saksi secara paksa meski tidak hadir lebih tiga kali dalam persidangan. Sabir membeberkan, sebenarnya cukup mengagetkan ketika JPU tidak menerbitkan surat panggilan disertai membawa Samanhudi dan majelis hakim tidak menetapkan pemanggilan paksa terhadap Samanhudi.

"Harusnya JPU dan majelis hakim melakukan tindakan itu. Jadi bukan sekadar isi BAP yang kemudian dimasukkan sebagai pertimbangan dalam putusan terhadap Sadli. Kalau Samanhudi hadir bersaksi, maka majelis hakim dan JPU serta Sadli dan tim penasihat hukumnya bisa lebih menggali lebih detil," tegas Sabir.

Keempat, dia melanjutkan, putusan terhadap Sadli kemungkinan akan dipakai sebagai rujukan pihak-pihak tertentu untuk membungkam unsur masyarakat termasuk jurnalis dan media massa yang mengkritik pejabat publik dan pemerintah daerah sehubungan penyelenggaraan pelayanan publik, pelaksanaan kebijakan, atau pengadaaan dan pelaksanaan proyek.

Kelima, JPU maupun majelis hakim seolah mengesampingkan keterangan ahli Dewan Pers Winartodalam persidangan. Padahal dalam keterangannya, Winarto memastikan sejumlah hal. Di antaranya Sadli adalah jurnalis, Liputanpersadacom merupakan media massa, tulisan Sadli berjudul 'Abracadabra: Simpang Lima Labungkari Disulap Menjadi Simpang Empat' sebagai karya jurnalistik, seseorang yang tidak senang dengan media massa harus menempuh hak jawab dan membawanya ke sengketa pers, hingga polemik atas berita yang dibuat Sadli adalah sengketa pers.

"Kalau keterangan ahli Dewan Pers dalam persidangan Sadli itu tidak diperhatikan dan dipertimbangkan, maka akan ada peristiwa serupa akan terjadi lagi dan terulang," kata Sabir. (Baca juga: Wartawan Dikriminalisasi Ini Penjelasan Pemkab Buton Tengah)

Alasan terakhir, pelaporan yang dapat diwakilkan. Putusan terhadap Sadli telah melegitimasi bahwa seorang pejabat publik yang merasa dirugikan tidak perlu melaporkan secara sendiri tetapi bisa diwakilkan.

Alumnus Pondok Pesantren Modern Al-Syaikh Abdul Wahid, Kota Baubau ini berharap, Sadli dapat memikirkan ulang keputusannya menerima putusan. Apalagi masih ada waktu sekitar tiga hari setelah putusan dijatuhkan, dengan melihat pernyataan JPU yang masih pikir-pikir. Sabir berharap Sadli dapat membicarakan dengan keluarganya untuk melakukan upaya banding.

"Harapan saya Sadli bisa banding. Meskipun saat persidangan putusan belum ditutup Sadli menyatakan menerima putusan, tapi berdasarkan KUHAP dan aturan yang ada Sadli masih punya hak untuk banding," imbuhnya.

Dengan masa waktu tersebut juga, ujar Sabir, maka asosiasi profesi jurnalis, LBH Pers, maupun lembaga bantuan hukum (LBH) tingkat pusat dan tingkat daerah dapat memberikan dukungan. Bagi LBH tingkat pusat maupun daerah, dapat berinisiatif menjadi kuasa (penasihat) hukum secara cuma-cuma untuk Sadli. Apalagi masa surat kuasa untuk tim kuasa atau penasihat hukum sebelumnya sudah habis bersamaan dengan hari putusan yakni Kamis, 26 Maret 2020.

"Asosiasi jurnalis, LBH Pers maupun LBH di daerah dan pusat sebaiknya cepat berbuat, memberikan dukungan kepada Sadli dan menjadi kuasa. Karena perjuangan ini bukan sekadar bicara tentang seorang Sadli saja," tandas Sabir.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9694 seconds (0.1#10.140)