Tak Mau Lingkungan Rusak, Tokoh Masyarakat Luwuk-Lolok Tolak Tambang
A
A
A
JAKARTA - Tokoh masyarakat Luwuk dan Lolok di Desa Satar Punda Kecamatan Lamba Leda, Manggarai Timur (Matim), NTT berbalik sikap terhadap kehadiran pabrik semen dan tambang batu kapur. Sebelumnya mereka mendukung kehadiran pabrik semen dan tambang. Namun, setelah mereka mendapat penjelasan dan belajar dari pengalaman mengenai efek tambang dan pabrik semen terhadap lingkungan, mereka akhirnya menyatakan menolak.
Para tokoh masyarakat itu antara lain; Bapak Aloysius Nambu, Bapak Aleks Doa dan Bapak Markus Meno. Aloy Nambu mengakui, dirinya mula-mula mendukung tambang. Namun, setelah dia memahami efek buruk tambang dan pabrik semen terhadap lingkungan, dia pun berbalik arah menolak. "Setelah saya mendapat penjelasan, saya memahami dan menolak," kata Bapak Aloy Nambu, salah satu tokoh masyarakat Luwuk.
Perubahan pilihan itu tidak lepas dari peran Paul Gunadi, anaknya, yang terus-menerus memberikan pencerahan kepadanya. "Kami beda pendapat. Namun, saya tidak putus asa untuk meyakinkan Bapak, bahwa masih ada pilihan lain untuk meningkatkan kesejahteraan, yaitu dengan budidaya udang dan bandeng," kata Paul yang memiliki keahlian dalam mengelola tambak udang dan bandeng.
Tidak bosan-bosan Paul menelpon sang ayah, sehari dua kali telpon. "Siang dan sore hari. Akhirnya dia balik arah, sama-sama menolak tambang. Saya bilang ke Bapa, 'apa yang bisa saya banggakan dari Bapa kalau warisan sudah dijual semua ke pihak tambang. Suatu hari nanti Bapa sudah tidak ada, tidak ada lagi warisan Bapa buat saya kenang'," tutur Paul yang langsung dibenarkan sang ayah.
"Betul apa yang kau katakan itu, Nak. Terus rencanamu apa sekarang?" kata Bapak Aloy. "Saya janji, Juli tahun ini, saya pulang dan akan wujudkan niat dan cita-cita saya untuk buka tambak di kawasan payau itu. Selagi Bapa masih hidup, saya janji Bapa akan merasakan hasil panen ikan bandeng dari tambak itu nanti," beber Paul.
Paul, begitu dipanggil, selama di perantauan menekuni cara budidaya udang dan ikan bandeng. Dia memperhitungkan, setelah listrik masuk kampung, rencana budidaya udang akan terealisasi. Keahliannya dan keterampilan yang saat ini dia miliki menjadi modal utama yang bakal merealisasikan niatnya.
Sebulan lalu, saat warga Luwuk Diaspora merintis kelompok UKM yang bergerak di bidang perikanan tambak dengan konsep agrowisata, Paul orang pertama yang menyatakan setuju. Rencana ini pula yang dia yakinkan kepada ayahnya, sehingga sang ayah langsung menolak kehadiran tambang. "Kami semua sudah mulai mengumpulkan modal untuk rencana UKM ini," tutup Paul.
"Saya yakin ini yang kamu pelajari selama di rantau. Kalau itu rencananya, saya berbalik arah sama-sama menolak tambang," kata Bapak Aloy.
Bapak Aloy lalu menceritakan, bahwa pernah satu waktu orang dari Dinas Perikanan menemuinya di Luwuk. Mereka menawarkan modal jika tambak benar-benar mau dikerjakan. "Kami siap bantu. Silakan buat proposal, hantar ke saya (orang Dinas Perikanan), saya sendiri langsung proses," tutur Bapak Aloy menirukan.
Belajar dari pengalaman
Sementara itu, Bapak Markus Meno, tokoh masyarakat Lolok berbalik menolak kehadiran tambang setelah dia melihat kondisi yang ada. Sebelumnya, Bapa Markus, mendukung tambang dan bekerja di PT Arumbai yang mengeksploitasi batu mangan di sebagian tanah ulayat masyarakat Lolok.
Awalnya juga, masyarakat terbelah menjadi kelompok yang mendukung dan menolak tambang. Bapa Markus salah satu yang merasakan getirnya perpecahan dalam keluarga akibat masuknya Arumbai. Tidak hanya tanah ulayat yang dibongkar, tapi juga kesatuan dan keutuhan hubungan saudara sekampung diacak-acak. Parahnya lagi, setelah tanah ulayat dibongkar, lubang tempat galian masih menganga. Pihak perusahaan meninggalkan begitu saja tanpa melakukan upaya pemulihan atau reboisasi lahan.
Saat ini, lagi-lagi tambang mau menggali batu kapur di semua tanah adat termasuk kampung tempat mereka tinggal. Bapak Markus kini berada pada pihak yang menolak. Bapak Markus tak sendirian menolak. Seluruh Uku (suku) Lantar mengikuti pilihannya. "Kampung ini, tanah tumpah darah kami. Kami tidak mau pindah makam leluhur kami dari kampung ini. Kami akan kehilangan lahan untuk bercocok tanam," tegas Bapak Markus.
Saat ini, konflik internal kampung antara yang pro dan kontra tambang semakin tajam. Nilai-nilai kekeluargaan semakin hilang. Jika tanah ulayat hilang, maka satu-kesatuan nilai budaya akan punah. "Kami masih mencintai budaya warisan leluhur," katanya.
Tokoh lain adalah Bapak Aleks Doa. Tokoh masyarakat yang biasa dipanggil Om Aldo ini, selalu pada posisi menolak, baik saat Arumbai masuk, maupun saat ini PT Istindo yang mau mengeruk batu kapur di tanah ulayat Lolok.
Beberapa minggu lalu, saat Bupati Matim datang ke Luwuk untuk meyakinkan warga agar merelakan lahan sawah jadi tempat pabrik semen, Om Aldo berani mengkritisi sikap pemerintah yang pro tambang.
Menurut Om Aldo, dengan masuknya listrik ke Luwuk saat ini, banyak kemungkinan usaha kecil bisa dibuka warga. "Bukankah tiang listrik yang sudah dipasang ini untuk kami warga Luwuk. Atau listrik ini disiapkan untuk pabrik semen?" tanya Om Aldo.
Anggota DPRD Matim Ambros Don saat bertemu dengan warga Luwuk Diaspora di Jakarta, Kamis (06/02) mengatakan, dirinya sangat mendukung jika warga mengembangkan budidaya perikanan tambak. "Saya setuju sekali, karena daerah ini (Luwuk) sebentar lagi akan menjadi lintasan wisatawan mancanegara. Pesisir utara Flores memiliki keindahan alam yang khas dan kekayaan ikan laut. Jadi, sangat tepat dikelola dengan konsep agrowisata," kata Ambros
Menurut Ambros, kehadiran tambang, di mana-mana, selalu bermasalah. Karena itu, pemerintah harus tanggap terhadap potensi yang ada. "Saya pribadi menolak keras kehadiran tambang, karena tidak membawa manfaat," kata wakil rakyat dari Fraksi Demokrat itu.
Para tokoh masyarakat itu antara lain; Bapak Aloysius Nambu, Bapak Aleks Doa dan Bapak Markus Meno. Aloy Nambu mengakui, dirinya mula-mula mendukung tambang. Namun, setelah dia memahami efek buruk tambang dan pabrik semen terhadap lingkungan, dia pun berbalik arah menolak. "Setelah saya mendapat penjelasan, saya memahami dan menolak," kata Bapak Aloy Nambu, salah satu tokoh masyarakat Luwuk.
Perubahan pilihan itu tidak lepas dari peran Paul Gunadi, anaknya, yang terus-menerus memberikan pencerahan kepadanya. "Kami beda pendapat. Namun, saya tidak putus asa untuk meyakinkan Bapak, bahwa masih ada pilihan lain untuk meningkatkan kesejahteraan, yaitu dengan budidaya udang dan bandeng," kata Paul yang memiliki keahlian dalam mengelola tambak udang dan bandeng.
Tidak bosan-bosan Paul menelpon sang ayah, sehari dua kali telpon. "Siang dan sore hari. Akhirnya dia balik arah, sama-sama menolak tambang. Saya bilang ke Bapa, 'apa yang bisa saya banggakan dari Bapa kalau warisan sudah dijual semua ke pihak tambang. Suatu hari nanti Bapa sudah tidak ada, tidak ada lagi warisan Bapa buat saya kenang'," tutur Paul yang langsung dibenarkan sang ayah.
"Betul apa yang kau katakan itu, Nak. Terus rencanamu apa sekarang?" kata Bapak Aloy. "Saya janji, Juli tahun ini, saya pulang dan akan wujudkan niat dan cita-cita saya untuk buka tambak di kawasan payau itu. Selagi Bapa masih hidup, saya janji Bapa akan merasakan hasil panen ikan bandeng dari tambak itu nanti," beber Paul.
Paul, begitu dipanggil, selama di perantauan menekuni cara budidaya udang dan ikan bandeng. Dia memperhitungkan, setelah listrik masuk kampung, rencana budidaya udang akan terealisasi. Keahliannya dan keterampilan yang saat ini dia miliki menjadi modal utama yang bakal merealisasikan niatnya.
Sebulan lalu, saat warga Luwuk Diaspora merintis kelompok UKM yang bergerak di bidang perikanan tambak dengan konsep agrowisata, Paul orang pertama yang menyatakan setuju. Rencana ini pula yang dia yakinkan kepada ayahnya, sehingga sang ayah langsung menolak kehadiran tambang. "Kami semua sudah mulai mengumpulkan modal untuk rencana UKM ini," tutup Paul.
"Saya yakin ini yang kamu pelajari selama di rantau. Kalau itu rencananya, saya berbalik arah sama-sama menolak tambang," kata Bapak Aloy.
Bapak Aloy lalu menceritakan, bahwa pernah satu waktu orang dari Dinas Perikanan menemuinya di Luwuk. Mereka menawarkan modal jika tambak benar-benar mau dikerjakan. "Kami siap bantu. Silakan buat proposal, hantar ke saya (orang Dinas Perikanan), saya sendiri langsung proses," tutur Bapak Aloy menirukan.
Belajar dari pengalaman
Sementara itu, Bapak Markus Meno, tokoh masyarakat Lolok berbalik menolak kehadiran tambang setelah dia melihat kondisi yang ada. Sebelumnya, Bapa Markus, mendukung tambang dan bekerja di PT Arumbai yang mengeksploitasi batu mangan di sebagian tanah ulayat masyarakat Lolok.
Awalnya juga, masyarakat terbelah menjadi kelompok yang mendukung dan menolak tambang. Bapa Markus salah satu yang merasakan getirnya perpecahan dalam keluarga akibat masuknya Arumbai. Tidak hanya tanah ulayat yang dibongkar, tapi juga kesatuan dan keutuhan hubungan saudara sekampung diacak-acak. Parahnya lagi, setelah tanah ulayat dibongkar, lubang tempat galian masih menganga. Pihak perusahaan meninggalkan begitu saja tanpa melakukan upaya pemulihan atau reboisasi lahan.
Saat ini, lagi-lagi tambang mau menggali batu kapur di semua tanah adat termasuk kampung tempat mereka tinggal. Bapak Markus kini berada pada pihak yang menolak. Bapak Markus tak sendirian menolak. Seluruh Uku (suku) Lantar mengikuti pilihannya. "Kampung ini, tanah tumpah darah kami. Kami tidak mau pindah makam leluhur kami dari kampung ini. Kami akan kehilangan lahan untuk bercocok tanam," tegas Bapak Markus.
Saat ini, konflik internal kampung antara yang pro dan kontra tambang semakin tajam. Nilai-nilai kekeluargaan semakin hilang. Jika tanah ulayat hilang, maka satu-kesatuan nilai budaya akan punah. "Kami masih mencintai budaya warisan leluhur," katanya.
Tokoh lain adalah Bapak Aleks Doa. Tokoh masyarakat yang biasa dipanggil Om Aldo ini, selalu pada posisi menolak, baik saat Arumbai masuk, maupun saat ini PT Istindo yang mau mengeruk batu kapur di tanah ulayat Lolok.
Beberapa minggu lalu, saat Bupati Matim datang ke Luwuk untuk meyakinkan warga agar merelakan lahan sawah jadi tempat pabrik semen, Om Aldo berani mengkritisi sikap pemerintah yang pro tambang.
Menurut Om Aldo, dengan masuknya listrik ke Luwuk saat ini, banyak kemungkinan usaha kecil bisa dibuka warga. "Bukankah tiang listrik yang sudah dipasang ini untuk kami warga Luwuk. Atau listrik ini disiapkan untuk pabrik semen?" tanya Om Aldo.
Anggota DPRD Matim Ambros Don saat bertemu dengan warga Luwuk Diaspora di Jakarta, Kamis (06/02) mengatakan, dirinya sangat mendukung jika warga mengembangkan budidaya perikanan tambak. "Saya setuju sekali, karena daerah ini (Luwuk) sebentar lagi akan menjadi lintasan wisatawan mancanegara. Pesisir utara Flores memiliki keindahan alam yang khas dan kekayaan ikan laut. Jadi, sangat tepat dikelola dengan konsep agrowisata," kata Ambros
Menurut Ambros, kehadiran tambang, di mana-mana, selalu bermasalah. Karena itu, pemerintah harus tanggap terhadap potensi yang ada. "Saya pribadi menolak keras kehadiran tambang, karena tidak membawa manfaat," kata wakil rakyat dari Fraksi Demokrat itu.
(don)