2 Perusahaan Sawit di Sumsel Disegel KLHK
A
A
A
PALEMBANG - Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (Gapki) Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) mengungkapkan, ada dua perusahaan sawit yang lahan konsesinya disegel Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) karena kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Ketua Gapki Sumsel, Harry Hartanto mengatakan, dua perusahaan sawit tersebut adalah PT MBJ yang berlokasi di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) dan PT DIL yang berada di Kabupaten Musi Rawas. Kedua perusahaan tersebut terdaftar dalam keanggotaan Gapki Sumsel.
"Iya ada dua perusahaan sawit anggota kita, yaitu MBJ dan DIL. Jika memang ada anggota yang melakukan dan terlibat dalam kasus karhutla, maka tidak masalah untuk ditindak oleh penegak hukum," ujar Harry saat diwawancarai SINDOnews, Kamis (10/10/2019).
Harry mengatakan, organisasinya sangat mendukung penegakan hukum untuk menjerat perusahaan sawit nakal yang kedapatan melakukan pembakaran untuk membuka lahan perkebunan. "Jangan pandang bulu, aparat harus tegas menindak karena sejatinya sejak 1995 sudah diberlakukan aturan untuk tidak membuka lahan dengan cara membakar," jelasnya
Harry menjelaskan, penegakan aturan tersebut harus berdasarkan asas praduga tak bersalah mengingat kejadian kebakaran lahan itu harus dilihat asal muasalnya, yakni dibakar, membakar, atau terbakar. Jadi, lanjut Harry, pihak kepolisian juga harus melakukan penyelidikan secara mendalam, mengingat beberapa kasus justru kebakaran bermula dari areal di luar konsesi.
"Seperti ini misalnya, api dari luar konsesi lahan milik masyarakat, lahan tak bertuan, kemudian tidak tertanggulangi. Lalu masuk ke areal konsesi, lantas tinggal menunggu saja untuk menyalahkan. Apa seperti itu penegakan hukum yang benar?” katanya.
Harry pun menambahkan, aparat penegakan hukum juga harus mempertimbangkan mengenai kesungguhan dari perusahaan perkebunan sawit dalam menyediakan sarana dan prasarana kebakaran sesuai dengan Permentan Nomor 5 tahun 2018.
Untuk mengikuti aturan pemerintah itu, sambungnya, perusahaan perkebunan mengeluarkan dana yang cukup besar seperti penyediaan minimal dua menara api untuk lahan seluas 1.000 hektare, 15 orang anggota pemadam, pompa air, mobil tangki, embung, dan lainnya.
"Jadi saat terbakar, satgas darat langsung beroperasi bekerja sama dengan BPBD, Manggala Agni, hingga Masyarakat Peduli Api. Lantas muncul pertanyaan, kenapa masih terbakar, ini suatu pertanyaan yang sulit dijawab karena membuat kami jadi pesimis," katanya.
Diketahui, hingga saat ini KLHK telah melakukan penyegelan terhadap lahan dari 8 perusahaan perkebunan di Sumsel terkait kasus karhutla. Lahan konsesi yang disegel itu yakni PT DGS dengan komoditas tebu di OKI, PT WAG dengan komoditas sawit di OKI, PT MBJ dengan komoditas sawit di OKI, PT DIL dengan komoditas sawit di Musi Rawas, PT TIAN dengan izin HTI di Musi Rawas.
Kemudian PT HBL dengan izin menanam kayu jelutung di Musi Banyuasin, PT LBI yang merupakan perusahaan milik Singapura (PMA) yang izinnya penanaman sawit di Ogan Komering Ulu, serta terbaru PT TAC yang bergerak dalam HTI di Musi Banyuasin.
Ketua Gapki Sumsel, Harry Hartanto mengatakan, dua perusahaan sawit tersebut adalah PT MBJ yang berlokasi di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) dan PT DIL yang berada di Kabupaten Musi Rawas. Kedua perusahaan tersebut terdaftar dalam keanggotaan Gapki Sumsel.
"Iya ada dua perusahaan sawit anggota kita, yaitu MBJ dan DIL. Jika memang ada anggota yang melakukan dan terlibat dalam kasus karhutla, maka tidak masalah untuk ditindak oleh penegak hukum," ujar Harry saat diwawancarai SINDOnews, Kamis (10/10/2019).
Harry mengatakan, organisasinya sangat mendukung penegakan hukum untuk menjerat perusahaan sawit nakal yang kedapatan melakukan pembakaran untuk membuka lahan perkebunan. "Jangan pandang bulu, aparat harus tegas menindak karena sejatinya sejak 1995 sudah diberlakukan aturan untuk tidak membuka lahan dengan cara membakar," jelasnya
Harry menjelaskan, penegakan aturan tersebut harus berdasarkan asas praduga tak bersalah mengingat kejadian kebakaran lahan itu harus dilihat asal muasalnya, yakni dibakar, membakar, atau terbakar. Jadi, lanjut Harry, pihak kepolisian juga harus melakukan penyelidikan secara mendalam, mengingat beberapa kasus justru kebakaran bermula dari areal di luar konsesi.
"Seperti ini misalnya, api dari luar konsesi lahan milik masyarakat, lahan tak bertuan, kemudian tidak tertanggulangi. Lalu masuk ke areal konsesi, lantas tinggal menunggu saja untuk menyalahkan. Apa seperti itu penegakan hukum yang benar?” katanya.
Harry pun menambahkan, aparat penegakan hukum juga harus mempertimbangkan mengenai kesungguhan dari perusahaan perkebunan sawit dalam menyediakan sarana dan prasarana kebakaran sesuai dengan Permentan Nomor 5 tahun 2018.
Untuk mengikuti aturan pemerintah itu, sambungnya, perusahaan perkebunan mengeluarkan dana yang cukup besar seperti penyediaan minimal dua menara api untuk lahan seluas 1.000 hektare, 15 orang anggota pemadam, pompa air, mobil tangki, embung, dan lainnya.
"Jadi saat terbakar, satgas darat langsung beroperasi bekerja sama dengan BPBD, Manggala Agni, hingga Masyarakat Peduli Api. Lantas muncul pertanyaan, kenapa masih terbakar, ini suatu pertanyaan yang sulit dijawab karena membuat kami jadi pesimis," katanya.
Diketahui, hingga saat ini KLHK telah melakukan penyegelan terhadap lahan dari 8 perusahaan perkebunan di Sumsel terkait kasus karhutla. Lahan konsesi yang disegel itu yakni PT DGS dengan komoditas tebu di OKI, PT WAG dengan komoditas sawit di OKI, PT MBJ dengan komoditas sawit di OKI, PT DIL dengan komoditas sawit di Musi Rawas, PT TIAN dengan izin HTI di Musi Rawas.
Kemudian PT HBL dengan izin menanam kayu jelutung di Musi Banyuasin, PT LBI yang merupakan perusahaan milik Singapura (PMA) yang izinnya penanaman sawit di Ogan Komering Ulu, serta terbaru PT TAC yang bergerak dalam HTI di Musi Banyuasin.
(wib)