Kompolnas: Polisi Papua Harus Paham UU Otsus Papua
A
A
A
JAYAPURA - Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mengingatkan perlunya personel Polda Papua dan Papua Barat memahami Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua.
Sekretaris Kompolnas Irjen Pol Bekto Suprapto saat membuka seminar Pelaksanaan UU Otsus Papua di bidang Tugas Kepolisian dan Peradilan Adat di Jayapura mengakui, masih banyak aparat kepolisian yang belum memahami pelaksanaan UU tersebut.
"Undang-Undang Otsus Papua dibentuk dengan dua tujuan yang harus diingat. Penerapan Otsus harus menghargai kesetaraan, menghormati keragaman adat dan budaya di Papua. Nah apakah ini sudah terlaksana baik atau belum,"ucap Bekto, Selasa (23/7/2019).
Dia menambahkan tentang tugas Polda Papua dan Papua Barat dalam implementasi Otsus. Beberapa hal yang harus diingat adalah adanya kekhususan kewenangan dan rentan kendali antara pimpinan atas dan kepala daerah.
"Ini harus dipahami, ada tujuh wilayah adat di Papua. Sesuai Otsus beberapa hal kaitannya dengan Kepolisian ada diatur dalam satu bab, terkait Polda. Semisal adanya Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) tentang rekrutmen anggota Polri dan lainnya, ini harus dipahami," kata Bekto.
Sedangkan terkait keamanan, maka akan berkordinasi dengan gubernur. Termasuk di jajaran kewilayahan, maka harus berkoordisi dengan bupati atau wali kota.
Sementara, pengangkatan Kapolda harus merujuk persetujuan gubernur. Namun tidak untuk pemberhentian. "Itu kewenangan Kapolri," tandasnya.
"Semua dituangkan dalam Undang-Undang Otsus, Bab Polda, ini harus dipahami. Anggota Kepolisian utamanya para pejabatnya harus paham," kata Bekto.
Bekto menyebut, masih adanya kesalahan penerapan hukum di Papua dan Papua Barat yang notabene mengacu juga pada peradilan Adat.
"Jadi masih banyak juga aparat kepolisian yang mengacu pada hukum tertulis. Sementara banyak juga masyarakat yang hanya menginginkan peradilan Adat," lanjutnya.
Dia menegaskan bahwa perlu diingat lagi bahwa penerapan UU Otsus harus menghargai kesetaraan, menghormati keragaman adat dan budaya di Papua, dan harus terjadi kesepakatan penyelesaian suatu kasus.
"Peradilan Adat tidak boleh dipaksakan, saya lihat ada dipaksakan. Harus ada persetujuan. Banyak peradilan adat yang diterapkan dengan denda, tidak boleh dipaksakan, kecuali setuju. Peradilan Adat hanya untuk masyarakat hukum adat. Di luar itu boleh, hanya dengan persetujuan," sambungnya.
Dalam kesempatan itu, mantan Kapolda Papua periode 2010-2011 ini juga menyinggung kekhususan saat pendidikan Bintara Polri di SPN Jayapura.
Menurut Bekto, sesuai amanat UU Otsus Papua, maka harusnya ada kurikulum muatan lokal yang diberikan kepada para calon polisi.
Dengan harapan, ke depan para polisi tersebut memahami adat istiadat di Papua.
"Jadi butuh tambahan waktu pendidikan dan biaya pastinya. Yang jelas para polisi muda di Papua hanya akan ditugaskan di Papua. Sehingga mereka harus memahami adat istiadat,"ungkapnya.
Acara seminar tersebut juga dihadiri dua mantan Kapolda Papua, yakni Irjen Pol Purn Yonce Mende dan Irjen Pol Paulus Waterpauw.
Sekretaris Kompolnas Irjen Pol Bekto Suprapto saat membuka seminar Pelaksanaan UU Otsus Papua di bidang Tugas Kepolisian dan Peradilan Adat di Jayapura mengakui, masih banyak aparat kepolisian yang belum memahami pelaksanaan UU tersebut.
"Undang-Undang Otsus Papua dibentuk dengan dua tujuan yang harus diingat. Penerapan Otsus harus menghargai kesetaraan, menghormati keragaman adat dan budaya di Papua. Nah apakah ini sudah terlaksana baik atau belum,"ucap Bekto, Selasa (23/7/2019).
Dia menambahkan tentang tugas Polda Papua dan Papua Barat dalam implementasi Otsus. Beberapa hal yang harus diingat adalah adanya kekhususan kewenangan dan rentan kendali antara pimpinan atas dan kepala daerah.
"Ini harus dipahami, ada tujuh wilayah adat di Papua. Sesuai Otsus beberapa hal kaitannya dengan Kepolisian ada diatur dalam satu bab, terkait Polda. Semisal adanya Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) tentang rekrutmen anggota Polri dan lainnya, ini harus dipahami," kata Bekto.
Sedangkan terkait keamanan, maka akan berkordinasi dengan gubernur. Termasuk di jajaran kewilayahan, maka harus berkoordisi dengan bupati atau wali kota.
Sementara, pengangkatan Kapolda harus merujuk persetujuan gubernur. Namun tidak untuk pemberhentian. "Itu kewenangan Kapolri," tandasnya.
"Semua dituangkan dalam Undang-Undang Otsus, Bab Polda, ini harus dipahami. Anggota Kepolisian utamanya para pejabatnya harus paham," kata Bekto.
Bekto menyebut, masih adanya kesalahan penerapan hukum di Papua dan Papua Barat yang notabene mengacu juga pada peradilan Adat.
"Jadi masih banyak juga aparat kepolisian yang mengacu pada hukum tertulis. Sementara banyak juga masyarakat yang hanya menginginkan peradilan Adat," lanjutnya.
Dia menegaskan bahwa perlu diingat lagi bahwa penerapan UU Otsus harus menghargai kesetaraan, menghormati keragaman adat dan budaya di Papua, dan harus terjadi kesepakatan penyelesaian suatu kasus.
"Peradilan Adat tidak boleh dipaksakan, saya lihat ada dipaksakan. Harus ada persetujuan. Banyak peradilan adat yang diterapkan dengan denda, tidak boleh dipaksakan, kecuali setuju. Peradilan Adat hanya untuk masyarakat hukum adat. Di luar itu boleh, hanya dengan persetujuan," sambungnya.
Dalam kesempatan itu, mantan Kapolda Papua periode 2010-2011 ini juga menyinggung kekhususan saat pendidikan Bintara Polri di SPN Jayapura.
Menurut Bekto, sesuai amanat UU Otsus Papua, maka harusnya ada kurikulum muatan lokal yang diberikan kepada para calon polisi.
Dengan harapan, ke depan para polisi tersebut memahami adat istiadat di Papua.
"Jadi butuh tambahan waktu pendidikan dan biaya pastinya. Yang jelas para polisi muda di Papua hanya akan ditugaskan di Papua. Sehingga mereka harus memahami adat istiadat,"ungkapnya.
Acara seminar tersebut juga dihadiri dua mantan Kapolda Papua, yakni Irjen Pol Purn Yonce Mende dan Irjen Pol Paulus Waterpauw.
(shf)