Misteri Akhir Hidup Murachman, Mantan Wali Kota Surabaya Diduga Berhaluan Komunis

Jum'at, 13 Juli 2018 - 05:00 WIB
Misteri Akhir Hidup...
Misteri Akhir Hidup Murachman, Mantan Wali Kota Surabaya Diduga Berhaluan Komunis
A A A
Pemerintah Hindia Belanda menetapkan Surabaya sebagai kota sekitar tahun 1906. Sejak kota Pahlawan ini mengelola pemerintahannya sendiri, pemimpinnya dirangkap oleh Residen Surabaya.

Pemerintahan Dalam Negeri Hindia Belanda menetapkan status Surabaya sebagai Kotapaja dengan Hak Otonom (Zelfstaandige Stadsgemeente). Perangkapan jabatan oleh Residen Surabaya berlangsung 10 tahun sebagai masa peralihan. Baru 21 Agustus 1916, diserahkan pada kepala pemerintahan kota yang disebut Burgemeester.

Orang pertama yang ditunjuk sebagai burgemeester adalah Mr A Mey Roos. Empat tahun kemudian, tahun 1920 diganti oleh Ir G J Dijkerman. Selama enam tahun memerintah sampai tahun 1926, dia diganti H J Bussemaker (1926-1932). Berturut-turut berikutnya burgemeester adalah Ter Poorten (1932-1936), MHW Van Helsdingen (1936-1942).

Pada Januari 1942, burgemeester Surabaya diserahterimakan pada Mr W A H Fuchter. Namun, hanya satu bulan memerintah, Jepang menginvasi Indonesia, termasuk Surabaya.

Belanda, pada Februari 1942 meninggalkan Surabaya. Begitu Belanda angkat kaki dari Indonesia, pemerintahan Kota Surabaya diambilalih oleh para pegawai di lingkungan Pemerintah Kota Surabaya. Pada masa transisi ini, seorang pegawai pribumi, Radjamin Nasution diangkat wali kota. Dengan begitu, Radjimin merupakan orang pribumi pertama yang memimpin Surabaya.

Sejak terbentuk sebagai pemerintah tersendiri hingga saat ini, Surabaya sudah dipimpin oleh 23 wali kota. Sekarang yang masih menjabat adalah Tri Rismaharini.

Risma, panggilan Tri Rismaharini merupakan wali kota perempuan pertama yang memimpin ibu kota Jawa Timur (Jatim) ini. Puluhan penghargaaan berhasil diraih Risma, baik dari dalam maupun luar negeri. Namun begitu, ada juga penghargaan yang dianggap kontroversial.

Kembali pada pembahasan wali kota, suatu ketika penulis pernah berkunjung ke rumah dinas wali kota Surabaya yang ada di Jalan Sedap Malam. Di ruang tamu rumah yang cukup asri ini, terpampang semua wali kota Surabaya sejak pertama kali berdiri hingga sekarang.

Namun ada satu wali kota yang fotonya tidak ikut terpajang dan kolom itu dibiarkan kosong. Dia adalah dr Raden Satrio Sastrodiredjo dan Murachman. Konon, foto dua orang itu tidak ikut dipajang lantaran diduga karena berhaluan komunis.

dr R. Satrio Sastrodiredjo menjabat wali kota periode 1958-1964. Sedangkan Murachman tahun 1964-1965. Tidak banyak literatur untuk mengungkap secara lebih mendalam kedua mantan orang nomor satu di Surabaya ini.

Namun, tulisan Ikrom Zain melalui salah satu media sosial menyebutkan, naiknya kedua orang komunis itu tak lepas dari pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) saat itu. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 1958 merupakan front terbuka PKI dan Masyumi untuk meraih dukungan.

Saat itu, Pilkada dilakukan anggota DPRD. Pada DPRD Kota Surabaya hasil pemilu daerah 1957, Masyumi memperoleh 2 kursi, sedangkan PKI mendapat 17 kursi. Jumlah kursi yang jauh lebih banyak ini membuat PKI bisa mulus memilih kadernya untuk menjadi wali kota Surabaya. Pemilihan wali kota pada 1958 dimenangkan PKI dengan mengusung Raden Satrio Sastrodiredjo. PKI menyatakan, kemenangan itu merupakan kemenangan kaum buruh Surabaya.

Sebaliknya, seteru PKI, Masyumi menganggap kemenangan itu adalah petaka. Hegemoni partai berlambang palu dan arit ini semakin berkibar dengan naiknya Moerachman, yang juga kader PKI menggantikan dr R Satrio Sastrodiredjo.

PKI dan Masyumi terus bertikai hingga penghujung 1950-an. Hingga muncullah petaka peristiwa Gerakan 30 September. Pada saat ini, sekitar tujuh jenderal dibunuh secara sadis oleh sejumlah pasukan yang disebut Tjakrabirawa. Selang sehari kemudian, muncul kabar bahwa pelaku pembunuhan itu adalah PKI.

Menurut wartawan senior Surabaya, Yousri Nur Raja Agam, kabar bahwa PKI merupakan dalang pembunuhan para jenderal, sekitar bulan Nopember, sampai juga di Surabaya. Saat itu, sejumlah organisasi pemuda, dia ntaranya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI) dan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) berunjuk rasa di balai kota Surabaya. “Mereka menuntut Moerachman turun dari jabatan karena dianggap PKI,” katanya.

Namun, sejak awal tahun 1996, Moerachman tidak diketahui rimbanya. Ada yang menyebutkan bahwa pria bergelar sarjana hukum itu hilang. Ada juga yang mengatakan tewas dibunuh. Kabar lain menyebutkan Moerachman ditangkap tentara.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0970 seconds (0.1#10.140)