Bukti Komitmen Keraton Yogyakarta Terhadap Penyebaran Ajaran Islam
A
A
A
Persebaran Islam di Gunungkidul semakin kuat pada pertengahan 1800-an hingga awal 1900-an. Setelah masjid Al Huda Playen yang menunjukkan peranan Keraton Yogyakarta untuk penyebaran siar Islam, di Wonosari juga terdapat sebuah masjid tua pemberian Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.
Masjid yang kini diberi nama Nurul Huda ini terletak di Dusun Kepek I, Desa Kepek, Wonosari. Masjid kecil yang berada di atas tanah seluas 500 meter persegi ini merupakan salah satu masjid dengan bangunan inti masih kuno, yaitu model joglo (model rumah jawa).
Meskipun telah mengalami pemugaran atau rehab pada 1984, namun model inti masjid berupa empat tiang (saka) dan atapnya yang khas joglo masih utuh seperti saat masjid ini dipindah dari dusun Purbosari, yang dulu disebut Kakiman sekitar 1901.
Takmir masjid setempat Suripto mengungkapkan, bangunan masjid ini awalnya berupa joglo dengan gebyok kayu. Namun pada 1984, masjid yang dulu dikenal dengan sebutan mesjid lawas tersebut diperbaiki dengan penggunaan dinding tembok.Namun, model joglo khas masjid gaya keraton Yogyakarta masih terlihat di bangunan yang kini menjadi dua ruang tersebut.
”Masjid ini pemberian Sri Sultan HB VIII untuk salah seorang naib (penghulu) di panewon ( sekarang KUA) Wonosari, begitu juga dengan tanahnya adalah tanah milik keraton,” ucapnya.
Suripto mengakui dengan pemberian masjid Sultoni ini, membuktikan peran kuat keraton Yogyakarta untuk membesarkan pengaruh Islam di wilayah Yogyakarta. Para penewon, diberikan masjid untuk dibangun dan digunakan untuk ibadah.
Dia menjelaskan, selain bangunan masjid bentuk rumah joglo, di masjid juga diberikan bedug besar. Namun sayang semenjak pemerintah membangun masjid Agung Al Iklhas, bedug diboyong ke masjid besar tersebut dan kini sulit dilacak keberadaannya. ”Katanya bedug dibawa ke ponjong,” ulasnya.
Diapun mengaku di Gunungkidul ada beberapa masjid lain yang umurnya hampir bersamaan dengan masjid Nurul Huda tersebut.” Yang jelas hampir sama adalah masjid di Ponjong dan Playen” katanya
Meskipun berstatus sebagai masjid, namun beberapa pemuka Islam sempat memberikan aturan untuk menggunakan Masjid Al Ikhlas yang letaknya sekitar 300 meter dari masjid tersebut untuk salat Jumat. Akibatnya, sejak 1952 masjid ini hanya untuk ibadah lima waktu warga sekitar saja.
Sedangkan salat jumat dipindah ke masjid Al Ikhlas yang berada di sisi barat Alun-Alun Wonosari. ”Dulu katanya biar masjid yang besar ramai. Maka umat di sekitar mesjid lawas ini pindah salat jumat di masjid Al Ikhlas,” lanjutnya.
Karena untuk salat jumat dipindah, jamaah putrilah yang sering menggunakan masjid yang hingga kini belum jelas berdirinya tersebut untuk berbagai kegiatan pengajian. ”Dulu masjid ini juga dikenal sebagai masjid putri, karena banyak digunakan untuk pengajian dan kegiatan ibu-ibu kompleks pasar Wonosari,” bebernya.
Gempa yang terjadi 2006 lalu menjadikan sejarah baru dan digunakan kembali untuk salat jumat di masjid lawas tersebut. Pengurus takmir dan warga akhirnya sepakat menggunakan masjid tersebut untuk salat jumat kembali. ”Jadi masjid Al iklas juga sudah ramai dan kami gelar salat jumat di sini, sampai sekarang,” kata Suripto.
Seorang jamaah masjid Nurul Huda Ervan Bambang mengatakan, sejak kecil dirinya berjamaah dan juga belajar mengaji di masjid tersebut. Kegiatan Taman Pendidikan Alquran (TPA) di lingkungan masjid juga berjalan setiap bulan Ramadhan.” Dulu saya sering takut kalau sendirian di dalam bangunan inti,” tuturnya.
Menurut dia, masjid ini berbeda dengan masjid-masjid modern lainnya.” Suasananya di dalam sangat lain, kedekatan dengan keraton masih terlihat di bangunan utama dan model pintu pintunya,” pungkasnya.
Masjid yang kini diberi nama Nurul Huda ini terletak di Dusun Kepek I, Desa Kepek, Wonosari. Masjid kecil yang berada di atas tanah seluas 500 meter persegi ini merupakan salah satu masjid dengan bangunan inti masih kuno, yaitu model joglo (model rumah jawa).
Meskipun telah mengalami pemugaran atau rehab pada 1984, namun model inti masjid berupa empat tiang (saka) dan atapnya yang khas joglo masih utuh seperti saat masjid ini dipindah dari dusun Purbosari, yang dulu disebut Kakiman sekitar 1901.
Takmir masjid setempat Suripto mengungkapkan, bangunan masjid ini awalnya berupa joglo dengan gebyok kayu. Namun pada 1984, masjid yang dulu dikenal dengan sebutan mesjid lawas tersebut diperbaiki dengan penggunaan dinding tembok.Namun, model joglo khas masjid gaya keraton Yogyakarta masih terlihat di bangunan yang kini menjadi dua ruang tersebut.
”Masjid ini pemberian Sri Sultan HB VIII untuk salah seorang naib (penghulu) di panewon ( sekarang KUA) Wonosari, begitu juga dengan tanahnya adalah tanah milik keraton,” ucapnya.
Suripto mengakui dengan pemberian masjid Sultoni ini, membuktikan peran kuat keraton Yogyakarta untuk membesarkan pengaruh Islam di wilayah Yogyakarta. Para penewon, diberikan masjid untuk dibangun dan digunakan untuk ibadah.
Dia menjelaskan, selain bangunan masjid bentuk rumah joglo, di masjid juga diberikan bedug besar. Namun sayang semenjak pemerintah membangun masjid Agung Al Iklhas, bedug diboyong ke masjid besar tersebut dan kini sulit dilacak keberadaannya. ”Katanya bedug dibawa ke ponjong,” ulasnya.
Diapun mengaku di Gunungkidul ada beberapa masjid lain yang umurnya hampir bersamaan dengan masjid Nurul Huda tersebut.” Yang jelas hampir sama adalah masjid di Ponjong dan Playen” katanya
Meskipun berstatus sebagai masjid, namun beberapa pemuka Islam sempat memberikan aturan untuk menggunakan Masjid Al Ikhlas yang letaknya sekitar 300 meter dari masjid tersebut untuk salat Jumat. Akibatnya, sejak 1952 masjid ini hanya untuk ibadah lima waktu warga sekitar saja.
Sedangkan salat jumat dipindah ke masjid Al Ikhlas yang berada di sisi barat Alun-Alun Wonosari. ”Dulu katanya biar masjid yang besar ramai. Maka umat di sekitar mesjid lawas ini pindah salat jumat di masjid Al Ikhlas,” lanjutnya.
Karena untuk salat jumat dipindah, jamaah putrilah yang sering menggunakan masjid yang hingga kini belum jelas berdirinya tersebut untuk berbagai kegiatan pengajian. ”Dulu masjid ini juga dikenal sebagai masjid putri, karena banyak digunakan untuk pengajian dan kegiatan ibu-ibu kompleks pasar Wonosari,” bebernya.
Gempa yang terjadi 2006 lalu menjadikan sejarah baru dan digunakan kembali untuk salat jumat di masjid lawas tersebut. Pengurus takmir dan warga akhirnya sepakat menggunakan masjid tersebut untuk salat jumat kembali. ”Jadi masjid Al iklas juga sudah ramai dan kami gelar salat jumat di sini, sampai sekarang,” kata Suripto.
Seorang jamaah masjid Nurul Huda Ervan Bambang mengatakan, sejak kecil dirinya berjamaah dan juga belajar mengaji di masjid tersebut. Kegiatan Taman Pendidikan Alquran (TPA) di lingkungan masjid juga berjalan setiap bulan Ramadhan.” Dulu saya sering takut kalau sendirian di dalam bangunan inti,” tuturnya.
Menurut dia, masjid ini berbeda dengan masjid-masjid modern lainnya.” Suasananya di dalam sangat lain, kedekatan dengan keraton masih terlihat di bangunan utama dan model pintu pintunya,” pungkasnya.
(wib)