Candi Gedog, Temuan Raffles yang Terlupakan
A
A
A
DALAM catatannya, Sir Thomas Stamford Raffles menyebut struktur Candi Gedog di Kelurahan Gedog, Kecamatan Sananwetan, Kota Blitar, Jawa Timur terdiri dari batu bata. Gubernur Jenderal Inggris itu menyatakan takjub.
Sebagian besar ornamen candi dibuat dari batu. Beberapa sisi (candi) masih dalam keadaan utuh. Tetapi bagian dasar pintu masuk atau tangga tangganya telah terpisah. Raffles menyebut struktur candi yang terdiri dari batu bata dikerjakan sangat menakjubkan.
"Di sini juga ditemukan benda-benda kuno. Di antara kota yang telah ditinggalkan itu, dengan dinding dinding dan alas dari batu, yang menarik untuk dicatat," tulisnya dalam History of Java (halaman 382). Sayang, semua hanya tinggal cerita.
Apa yang dinarasikan Raffles tidak menemukan bentuknya. Lenyap. Ornamen, pintu masuk, tangga atau wujud candi secara utuh seperti yang tersebut dalam buku, tidak ada buktinya. Di lokasi lebih banyak dijumpai pecahan batu bata. Potongan bata kuno yang berlumut dan geripis.
"Kalau melihat dokumentasinya Candi Gedog ini dulunya tinggi menjulang," tutur Edi Subagyo, tokoh masyarakat lingkungan Kelurahan Gedog, Kecamatan Sananwetan, Kota Blitar yang juga penggiat situs purbakala.
Puing-puing bata itu menyatu dengan gundukan tanah setinggi satu setengah meter. Ada juga susunan bata yang menyerupai pondasi bangunan. Posisinya separuh terpendam dalam tanah. Apakah candi Gedog terkubur di bawah gundukan tanah gembur itu? Menurut Edi, sejauh ini belum bisa dipastikan. Setahu dia belum ada penelitian soal itu. Kendati demikian terkait dengan rusaknya candi, ada dua teori yang diyakini rasional.
"Rusaknya candi diduga akibat bencana alam, yakni gunung Kelud meletus. Yang kedua, faktor human error. Informasi yang saya dengar Candi Gedog pernah dirusak sekelompok orang di tahun 1965," ungkapnya.
Selain batu bata kuno, di lokasi juga ditemukan Yoni, yakni kubus batu setinggi setengah meter dengan bagian tengah berlobang. Sayang, "Lingga" yang menjadi pasangannya tidak diketahui keberadaannya. Dalam terminologi Hindu, lingga yoni merupakan simbol kesuburan.
"Dulu katanya juga ada arca perempuan setinggi manusia. Namun, juga hilang entah kemana," terang Edi Subagyo.
Di jalan masuk menuju lokasi candi juga terdapat dua batu berukir. Entah arca dwarapala atau ular naga. Sebab dua batu berukir itu dalam kondisi tidak sempurna. Edi Subagyo menuturkan, tidak banyak yang mengetahui sejarah candi Gedog.
Apakah dibangun di era Kerajaan Kediri seperti halnya candi Penataran atau Kerajaan Majapahit. Juga tidak banyak warga yang tahu Candi Gedog tercatat dalam buku History of Java. "Kabarnya candi ini tempat persembahyangan," ungkapnya.
Selama ini warga hanya familiar dengan legenda cerita Joko Pangon, yakni pemuda asal Kerajaan Mataram yang membuka wilayah Gedog. Cerita babad itu kata Edi selalu direproduksi di setiap acara bersih desa Kelurahan Gedog. Dia berharap pemerintah daerah tidak berpangku tangan. Edi yang getol menyusuri sejarah Blitar melalui literatur berharap Candi Gedog bisa menjadi ikon wisata di Kota Blitar. Melihat luas area kawasan candi telah menyusut dari 48 meter menjadi 38 meter, dia khawatir situs Candi Gedog akan terus terbengkalai.
"Tahun 2015 kami bersama semua yang tertarik dengan sejarah Blitar sudah menyampaikan soal ini ke Pemkot Blitar. Namun tidak ada respons. Tahun 2017 kami menyampaikan lagi agar ada penanganan. Dan Alhamdulillah mulai ada respons," ungkapnya.
Avianto (41) warga Kota Blitar mengaku tidak tahu kalau Candi Gedog ternyata tercatat dalam buku History of Java. Sebagai warga Blitar dia berharap pemerintah segera mengambil langkah terkait penelusuran sejarah Candi Gedog. "Puluhan tahun saya hidup di Blitar. Juga lahir di Blitar, tapi baru tahu jika Candi Gedog ternyata tercatat dan buku History of Java," ujarnya.
Antara Candi Gedog dan Legenda Joko Pangon
Selain susunan batu bata yang membuat Sir Thomas Stamford Raffles berdesir takjub, Candi Gedog juga menyimpan folklore legenda Joko Pangon. Meski di bukunya History of Java pengelana Eropa menyebut Candi Gedog, namun masyarakat Blitar lebih familiar dengan nama Candi Joko Pangon.
Bahkan cerita tutur itu lebih populer dibanding nama Candi Gedog itu sendiri. Lalu siapa Joko Pangon? Edi Subagyo menyebut Joko Pangon sebagai "sing babat alas" atau yang membuka hutan sekaligus pemberi nama kawasan (Gedog). Sebagai warga Kelurahan Gedog Edi mempercayai dongeng itu.
"Warga Blitar memang lebih mengenal Candi Joko Pangon daripada nama Candi Gedog," tutur Edi. Dalam alkisah yang digetok tularkan (menyebar mulut ke mulut), Joko Pangon dihikayatkan sebagai pengembara asal Mataram (sekarang DIY). Dalam rangka mendulang ilmu pengetahuan, pemuda Pangon meninggalkan tanah kelahirannya.
Tidak hanya ilmu kanuragan (kesaktian) yakni ilmu yang diserap melalui metode tirakat, puasa dan bertapa. Pangon juga mencari ilmu peternakan, yakni tata cara mengembangbiakkan kerbau, binatang herbivora yang kala itu lebih populer dibanding sapi.
"Mungkin nama Pangon diambil dari kebiasaan angon (menggembala) kerbau," terang Edi.
Singkat cerita, pengelanaan Joko Pangon berhenti di sebuah permukiman yang berdekatan dengan kawasan hutan. Seorang janda tua baik hati menolongnya, sekaligus memberinya tempat tinggal. Pangon dianggap anak sendiri. Sebagai wujud baktinya, pemuda Mataram itu mengambil alih rutinitas si janda mengumpulkan kayu bakar di hutan.
Suatu ketika saat mengumpulkan kayu bakar, telinga Joko Pangon menangkap suara "dak dok". Bunyi tak lazim. Bunyi bunyian seperti orang yang sedang bekerja. Pangon penasaran. Dia memutuskan masuk ke hutan lebih dalam menelisik asal suara. Di tengah hutan Pangon melihat seorang lelaki tua.
Kakek berbadan pendek, berkumis serta berjenggot panjang itu tengah bekerja. Dia seorang pande besi. Juga empu yang mahir mencetak parang, sabit dan benda tajam lainnya. Suara "dak dok" itu ternyata berasal dari bunyi besi yang ditempa. Pangon disambut dengan baik.
"Dalam pertemuan itu Joko Pangon ditanya apa tujuannya datang ke tempatnya," kata Edi menuturkan kisah.
Tidak hanya diajari pengetahuan soal pande besi. Pangon yang mengaku bertujuan mencari kayu bakar dan berguru itu juga dikasi wejangan ilmu kebatinan dan pengetahuan lain yang dikehendaki.
Hingga suatu hari Sabtu Kliwon, Pangon bermimpi didatangi anjing besar bermotif belang. Saat terjaga dia terperanjat melihat seekor anjing ada di dekatnya. Anjing yang sama dalam mimpinya. Anjing itu milik sang empu. Pangon pun langsung bergegas mencari gurunya.
Yang dicari tidak ada. Alih-alih ketemu, Pangon hanya menjumpai sebongkah batu besar yang konon penjelmaan dari sang empu. Dia pun berujar, kelak bila hutan itu menjadi perkampungan (desa), dia namakan Gedog. Nama yang berasal dari bunyi "dag dog". Anjing sang empu dia beri nama Yungyang.
Untuk mengenang keduanya, di hutan itu Joko Pangon mendirikan sebuah candi. "Selanjutnya hutan itu dibabat Joko Pangon dan ditinggali," terang Edi. Kisahpun berlanjut.
Permukiman yang dulunya hutan berubah menjadi desa dan memiliki seorang kepala desa. Cerita berawal dari keinginan kepala desa memelihara sepasang kerbau jantan dan betina.
Sang kepala desa meminta Joko Pangon yang memelihara kerbaunya. Dengan perjanjian bila beranak betina menjadi milik kepala desa dan bila jantan milik Joko Pangon. Yang terjadi jumlah anak kerbau lebih banyak jantan daripada betina. Joko Pangon pun menjadi seorang kaya raya.
Tidak terima dengan kenyataan itu sang kepala desa murka. Bersama kaki tangannya kepala desa mengajak Joko Pangon mengunjungi sendang (mata air) yang berada di sebelah barat candi. Disana, Pangon disergap. Kaki dan tangannya diikat lalu ditenggelamkan ke dalam sendang hingga tewas.
Agar tidak ketahuan, jasad Joko Pangon diberi pemberat agar tidak muncul ke permukaan air. Anjing Yungyang yang melihat tuannya dibunuh berlari ke rumah janda tua (orang tua angkat Joko Pangon) yang bertempat tinggal di Desa Swangsan (Sekarang Kelurahan Bendogerit).
Orang tua angkat Pangon heran, anjing itu datang sendirian. Melolong panjang seperti mengungkapkan kesedihan. Dia merasakan firasat buruk tentang Joko Pangon. Apalagi si anjing menggigit bajunya, menarik-narik seperti hendak menunjukkan sesuatu. Sesampai di sendang, janda tua itu melihat darah berceceran.
Firasat buruknya semakin kuat. Sambil menangis, dia meminta si anjing menyelam ke sendang mencari jasad Joko Pangon. Namun setelah ditunggu lama, si anjing tidak juga muncul ke permukaan. Janda tua itupun murka. Dengan terisak dia melontarkan sumpah bahwa anak cucunya di Desa Swangsan dilarang berbesan dengan warga Desa Gedog.
Barang siapa yang melanggar akan mendapat kutukan hingga turun temurun. Menurut Edi semua yang diceritakanya hanyalah dongeng, hikayat yang secara ilmiah perlu diuji kembali. Kendati demikian kearifan lokal, yakni nyadran atau upacara bersih desa Gedog masih berjalan dengan baik. Nyadran selalu mengambil pusat acara di situs Candi Gedog.
"Setidaknya kearifan lokal itu bagian dari strategi kebudayaan untuk menjaga lingkungan alam," pungkasnya.
Sebagian besar ornamen candi dibuat dari batu. Beberapa sisi (candi) masih dalam keadaan utuh. Tetapi bagian dasar pintu masuk atau tangga tangganya telah terpisah. Raffles menyebut struktur candi yang terdiri dari batu bata dikerjakan sangat menakjubkan.
"Di sini juga ditemukan benda-benda kuno. Di antara kota yang telah ditinggalkan itu, dengan dinding dinding dan alas dari batu, yang menarik untuk dicatat," tulisnya dalam History of Java (halaman 382). Sayang, semua hanya tinggal cerita.
Apa yang dinarasikan Raffles tidak menemukan bentuknya. Lenyap. Ornamen, pintu masuk, tangga atau wujud candi secara utuh seperti yang tersebut dalam buku, tidak ada buktinya. Di lokasi lebih banyak dijumpai pecahan batu bata. Potongan bata kuno yang berlumut dan geripis.
"Kalau melihat dokumentasinya Candi Gedog ini dulunya tinggi menjulang," tutur Edi Subagyo, tokoh masyarakat lingkungan Kelurahan Gedog, Kecamatan Sananwetan, Kota Blitar yang juga penggiat situs purbakala.
Puing-puing bata itu menyatu dengan gundukan tanah setinggi satu setengah meter. Ada juga susunan bata yang menyerupai pondasi bangunan. Posisinya separuh terpendam dalam tanah. Apakah candi Gedog terkubur di bawah gundukan tanah gembur itu? Menurut Edi, sejauh ini belum bisa dipastikan. Setahu dia belum ada penelitian soal itu. Kendati demikian terkait dengan rusaknya candi, ada dua teori yang diyakini rasional.
"Rusaknya candi diduga akibat bencana alam, yakni gunung Kelud meletus. Yang kedua, faktor human error. Informasi yang saya dengar Candi Gedog pernah dirusak sekelompok orang di tahun 1965," ungkapnya.
Selain batu bata kuno, di lokasi juga ditemukan Yoni, yakni kubus batu setinggi setengah meter dengan bagian tengah berlobang. Sayang, "Lingga" yang menjadi pasangannya tidak diketahui keberadaannya. Dalam terminologi Hindu, lingga yoni merupakan simbol kesuburan.
"Dulu katanya juga ada arca perempuan setinggi manusia. Namun, juga hilang entah kemana," terang Edi Subagyo.
Di jalan masuk menuju lokasi candi juga terdapat dua batu berukir. Entah arca dwarapala atau ular naga. Sebab dua batu berukir itu dalam kondisi tidak sempurna. Edi Subagyo menuturkan, tidak banyak yang mengetahui sejarah candi Gedog.
Apakah dibangun di era Kerajaan Kediri seperti halnya candi Penataran atau Kerajaan Majapahit. Juga tidak banyak warga yang tahu Candi Gedog tercatat dalam buku History of Java. "Kabarnya candi ini tempat persembahyangan," ungkapnya.
Selama ini warga hanya familiar dengan legenda cerita Joko Pangon, yakni pemuda asal Kerajaan Mataram yang membuka wilayah Gedog. Cerita babad itu kata Edi selalu direproduksi di setiap acara bersih desa Kelurahan Gedog. Dia berharap pemerintah daerah tidak berpangku tangan. Edi yang getol menyusuri sejarah Blitar melalui literatur berharap Candi Gedog bisa menjadi ikon wisata di Kota Blitar. Melihat luas area kawasan candi telah menyusut dari 48 meter menjadi 38 meter, dia khawatir situs Candi Gedog akan terus terbengkalai.
"Tahun 2015 kami bersama semua yang tertarik dengan sejarah Blitar sudah menyampaikan soal ini ke Pemkot Blitar. Namun tidak ada respons. Tahun 2017 kami menyampaikan lagi agar ada penanganan. Dan Alhamdulillah mulai ada respons," ungkapnya.
Avianto (41) warga Kota Blitar mengaku tidak tahu kalau Candi Gedog ternyata tercatat dalam buku History of Java. Sebagai warga Blitar dia berharap pemerintah segera mengambil langkah terkait penelusuran sejarah Candi Gedog. "Puluhan tahun saya hidup di Blitar. Juga lahir di Blitar, tapi baru tahu jika Candi Gedog ternyata tercatat dan buku History of Java," ujarnya.
Antara Candi Gedog dan Legenda Joko Pangon
Selain susunan batu bata yang membuat Sir Thomas Stamford Raffles berdesir takjub, Candi Gedog juga menyimpan folklore legenda Joko Pangon. Meski di bukunya History of Java pengelana Eropa menyebut Candi Gedog, namun masyarakat Blitar lebih familiar dengan nama Candi Joko Pangon.
Bahkan cerita tutur itu lebih populer dibanding nama Candi Gedog itu sendiri. Lalu siapa Joko Pangon? Edi Subagyo menyebut Joko Pangon sebagai "sing babat alas" atau yang membuka hutan sekaligus pemberi nama kawasan (Gedog). Sebagai warga Kelurahan Gedog Edi mempercayai dongeng itu.
"Warga Blitar memang lebih mengenal Candi Joko Pangon daripada nama Candi Gedog," tutur Edi. Dalam alkisah yang digetok tularkan (menyebar mulut ke mulut), Joko Pangon dihikayatkan sebagai pengembara asal Mataram (sekarang DIY). Dalam rangka mendulang ilmu pengetahuan, pemuda Pangon meninggalkan tanah kelahirannya.
Tidak hanya ilmu kanuragan (kesaktian) yakni ilmu yang diserap melalui metode tirakat, puasa dan bertapa. Pangon juga mencari ilmu peternakan, yakni tata cara mengembangbiakkan kerbau, binatang herbivora yang kala itu lebih populer dibanding sapi.
"Mungkin nama Pangon diambil dari kebiasaan angon (menggembala) kerbau," terang Edi.
Singkat cerita, pengelanaan Joko Pangon berhenti di sebuah permukiman yang berdekatan dengan kawasan hutan. Seorang janda tua baik hati menolongnya, sekaligus memberinya tempat tinggal. Pangon dianggap anak sendiri. Sebagai wujud baktinya, pemuda Mataram itu mengambil alih rutinitas si janda mengumpulkan kayu bakar di hutan.
Suatu ketika saat mengumpulkan kayu bakar, telinga Joko Pangon menangkap suara "dak dok". Bunyi tak lazim. Bunyi bunyian seperti orang yang sedang bekerja. Pangon penasaran. Dia memutuskan masuk ke hutan lebih dalam menelisik asal suara. Di tengah hutan Pangon melihat seorang lelaki tua.
Kakek berbadan pendek, berkumis serta berjenggot panjang itu tengah bekerja. Dia seorang pande besi. Juga empu yang mahir mencetak parang, sabit dan benda tajam lainnya. Suara "dak dok" itu ternyata berasal dari bunyi besi yang ditempa. Pangon disambut dengan baik.
"Dalam pertemuan itu Joko Pangon ditanya apa tujuannya datang ke tempatnya," kata Edi menuturkan kisah.
Tidak hanya diajari pengetahuan soal pande besi. Pangon yang mengaku bertujuan mencari kayu bakar dan berguru itu juga dikasi wejangan ilmu kebatinan dan pengetahuan lain yang dikehendaki.
Hingga suatu hari Sabtu Kliwon, Pangon bermimpi didatangi anjing besar bermotif belang. Saat terjaga dia terperanjat melihat seekor anjing ada di dekatnya. Anjing yang sama dalam mimpinya. Anjing itu milik sang empu. Pangon pun langsung bergegas mencari gurunya.
Yang dicari tidak ada. Alih-alih ketemu, Pangon hanya menjumpai sebongkah batu besar yang konon penjelmaan dari sang empu. Dia pun berujar, kelak bila hutan itu menjadi perkampungan (desa), dia namakan Gedog. Nama yang berasal dari bunyi "dag dog". Anjing sang empu dia beri nama Yungyang.
Untuk mengenang keduanya, di hutan itu Joko Pangon mendirikan sebuah candi. "Selanjutnya hutan itu dibabat Joko Pangon dan ditinggali," terang Edi. Kisahpun berlanjut.
Permukiman yang dulunya hutan berubah menjadi desa dan memiliki seorang kepala desa. Cerita berawal dari keinginan kepala desa memelihara sepasang kerbau jantan dan betina.
Sang kepala desa meminta Joko Pangon yang memelihara kerbaunya. Dengan perjanjian bila beranak betina menjadi milik kepala desa dan bila jantan milik Joko Pangon. Yang terjadi jumlah anak kerbau lebih banyak jantan daripada betina. Joko Pangon pun menjadi seorang kaya raya.
Tidak terima dengan kenyataan itu sang kepala desa murka. Bersama kaki tangannya kepala desa mengajak Joko Pangon mengunjungi sendang (mata air) yang berada di sebelah barat candi. Disana, Pangon disergap. Kaki dan tangannya diikat lalu ditenggelamkan ke dalam sendang hingga tewas.
Agar tidak ketahuan, jasad Joko Pangon diberi pemberat agar tidak muncul ke permukaan air. Anjing Yungyang yang melihat tuannya dibunuh berlari ke rumah janda tua (orang tua angkat Joko Pangon) yang bertempat tinggal di Desa Swangsan (Sekarang Kelurahan Bendogerit).
Orang tua angkat Pangon heran, anjing itu datang sendirian. Melolong panjang seperti mengungkapkan kesedihan. Dia merasakan firasat buruk tentang Joko Pangon. Apalagi si anjing menggigit bajunya, menarik-narik seperti hendak menunjukkan sesuatu. Sesampai di sendang, janda tua itu melihat darah berceceran.
Firasat buruknya semakin kuat. Sambil menangis, dia meminta si anjing menyelam ke sendang mencari jasad Joko Pangon. Namun setelah ditunggu lama, si anjing tidak juga muncul ke permukaan. Janda tua itupun murka. Dengan terisak dia melontarkan sumpah bahwa anak cucunya di Desa Swangsan dilarang berbesan dengan warga Desa Gedog.
Barang siapa yang melanggar akan mendapat kutukan hingga turun temurun. Menurut Edi semua yang diceritakanya hanyalah dongeng, hikayat yang secara ilmiah perlu diuji kembali. Kendati demikian kearifan lokal, yakni nyadran atau upacara bersih desa Gedog masih berjalan dengan baik. Nyadran selalu mengambil pusat acara di situs Candi Gedog.
"Setidaknya kearifan lokal itu bagian dari strategi kebudayaan untuk menjaga lingkungan alam," pungkasnya.
(rhs)