Mewujudkan Demokrasi Lokal yang Menggembirakan
A
A
A
DIREKTUR Jenderal (Dirjen) Otonomi Daerah (Otda) Kementerian Dalam Negeri Sumarsono resmi ditetapkan Presiden sebagai penjabat (pj) gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel). Menyukseskan pemilihan kepala daerah (pilkada) dan memastikan pemerintahan berjalan baik menjadi fokus pria kelahiran Tulungagung, Jawa Timur, 22 Februari 1959 ini. Selain itu pria yang akrab dengan sapaan Soni ini ingin mewujudkan demokrasi lokal yang menggemberikan. Berikut petikan wawancaranya:
Bagaimana rasanya pernah ditunjuk menjadi pemimpin di tiga daerah (Sulut, DKI Jakarta, dan Sulsel) yang berbeda?
Ini mengenai style of management di tiga daerah dengan karakteristik berbeda. Tapi karena misi kita mengelola pemerintahan transisional, maka basic management-nya sama, cuma bagaimana karakteristik yang berbeda bisa disesuaikan.
Misi apa yang dibawa dalam mengelola pemerintahan transisional?
Kita hanya mengisi kekosongan entah karena kepala daerah sudah selesai menjabat, cuti kampanye, atau lainnya. Jadi ciri khasnya adalah kita menyadari bahwa kekosongan ini ibarat sebuah jembatan sehingga kepemimpinan satu periode dengan periode lainnya tersambungkan. Jadi ketika kita tinggalkan cepat nyambungnya. Oleh karena itu kita tidak bisa punya program yang ekstrem berbeda dengan sebelumnya itu bisa bahaya. Tapi di sisi lain kita juga harus bisa membaca visi dan misi calon gubernur yang tengah bertarung. Jadi ini bisa jadi jembatan yang baik.
Lalu bagaimana misi tersebut diterapkan di Sulsel nantinya?
Kita memastikan adanya kesinambungan dari keberhasilan kebijakan dan program dari kepemimpinan sebelumnya, yakni Pak Syahrul Yasin Limpo. Dua periode beliau sangat berhasil. Kita harus jaga momentum keberhasilan ini dan dilanjutkan kebijakannya. Itu paling prinsip. Kenapa harus dilanjutkan? Jawabannya sederhana, karena periode gubernur ini berada dalam sebuah rencana pembangunan jangka panjang daerah (RPJPD). Jadi ibarat membangun gedung lima tingkat, itu setiap periode harus berkelanjutan. Lantai 1, 2, 3, dan seterusnya. Jangan sampai saya membangun hotel yang lain. Sementara ini belum lima lantai. Ini filosofinya. Jadi kita harus melanjutkan kebijakan. Sama ketika di DKI Jakarta juga melanjutkan kebijakan Ahok. Kita tidak ada program baru.
Terkait dengan pemerintahan, apa lagi yang akan dilakukan?
Harus dapat memastikan bahwa semua fungsi pemerintahan berjalan efektif. Termasuk tugas pokok SKPD. Kebetulan bulan-bulan ini DIPA (daftar isian pelaksanaan anggaran) jalan, lelang jalan, pelayanan jalan. Saya harus memastikan itu semua berjalan. Ini bagian dari agenda birokrasi. Banyak kegiatan yang harus kita jalankan. Termasuk memastikan semua DIPA dilaksanakan, daya serap tinggi, akuntabilitas bisa dilaksanakan, dan langkah-langkah antikorupsi juga bisa dijamin.
Dalam konteks penyelenggaraan Pilkada Serentak 2018 di Sulsel, apa yang akan dilakukan?
Kalau karena itu, kita harus mendukung pilkada serentak yang aman, nyaman, dan damai. Momentum ini yang harus bikin. Berarti tambah tugas lagi menjaga keamanan dan ketertiban masya rakat. Sekaligus menyukseskan pilkada serentak 2018. Hal ini dilakukan untuk memperkuat komunikasi dengan berbagai pihak termasuk Forkompimda. Jadi ini memang agenda kedua, yakni terkait politik lokal di daerah. Ini KPU dan Bawaslu harus nyambung dengan pemerintah. Jadi itulah yang penting. Termasuk dengan Forkompimda juga harus diperkuat. Juga harus menjaga jarak yang sama terhadap para kontestan pilkada. Ini soal netralitas. Tidak boleh bergerak satu senti pun.
Seperti apa Anda memandang netralitas ASN di Pilkada Sulsel?
Dulu di DKI Jakarta saya kembangkan "Salam Birokrasi, Netral". Saya kira itu penting. Kenapa saya tidak bilang ASN? Karena birokrasi itu unsurnya tiga, yaitu lembaga, aparat, dan sistem. Misalnya jika aparatnya netral tapi secara kelembagaan mobil-mobil digunakan sudah tidak netral. Secara sistem mendukung calon juga tidak netral. Tidak ada misalnya sosialisasi antinarkoba, kan sering disusupin. Gambarnya dia masuk. Jadi tiga-tiganya harus netral. Itu yang harus dikumandangkan di Sulsel. Birokrasi Sulsel harus membuat jarak yang sama terhadap 4 pasangan calon. Pasangan calon ini adalah empat putra terbaik yang dimiliki Sulsel.
Lantas bagaimana dengan kerawanan pilkada di Sulsel?
Saya tentu sudah melihat peta di Sulsel dari berbagai informasi. Problem sosialnya kurang lebih sama dengan DKI Jakarta. Sebenarnya Sulsel ini rawan sedang, tapi jika salah mengelola bisa berbahaya. Sulsel ini barometer di wilayah timur Indonesia dan pintu gerbang Indonesia timur. Jadi apa pun yang dilakukan Sulsel harus dikelola dengan baik. Lalu dengan heterogenitas di Sulsel butuh orang yang ahli mengelola perbedaan. Sulsel itu lebih banyak perbedaan bila dibandingkan dengan persamaan. Ini tidak mudah. Tentunya penting dengan merawat kebinekaan. Ini memang given. Kan tidak bisa semua ikut Bugis, semua ikut Mandar atau suku lainnya. Tidak boleh. Jadi bagaimana membangun kebersamaan di dalam perbedaan. Saya yakin mereka sadar berbeda-beda. Nah, tinggal kita bangun persamaan di antara perbedaan itu. Ini sudah bisa tinggal momentumnya kita pelihara.
Untuk memastikan pilkada berjalan kondusif, apa yang akan Anda lakukan?
Filosofi pilkada bawa lawan bertanding tapi pada hakikatnya teman bermain dalam membangun Sulsel. Dan rakyatlah yang menjadi wasitnya. Ini juga akan saya sosialisasikan ke rakyat Sulsel. Tapi poin pentingnya yang saya sosialisasikan adalah demokrasi yang menggembirakan, sehingga pilkada sebagai pesta demokratis selayaknya pesta perkawinan, ulang tahun dan sebagainya harus menggembirkan. Masa pesta mencekam? Ini tugas pj gubernur.
Apakah Anda tahu ditolak sebagai pj gubernur Sulsel?
Saya tahu dari berita, bahwa sudah disambut dengan penolakan terhadap Sumarsono. Enggak apa-apa. Ya saya hanya ketawa. Kenapa? Wong isunya tidak jelas. Di Sulut dan DKI Jakarta banyak birokrat yang sedih saya tinggal karena bersatu dan nyaman bekerja. Lalu paslon juga merasa netralitas terjaga. Nah isu yang berkembang di Sulsel dikhawatirkan saya tidak netral. Dan yang kedua dianggap dapat merusak persatuan dan kesatuan karena dinilai gagal mengelola DKI Jakarta. Demokrasi tidak akan lepas dari demonstrasi. Demonstrasi pasti bagian dari demokrasi selama tidak anarkistis. Jadi diberilah ruang untuk menyampaikan itu.
Bagaimana Anda merespons penolakan tersebut?
Itu setiap hari ada 5-6 demo dengan berbagai alasan. Itu artinya Sulsel butuh panggung dialogis. Dialog interaktif. Dinamika generasi yang ingin dapat jawaban tidak tersalurkan sehingga melakukan demonstrasi. Apalagi ditambah dengan andaikata itu ada sponsor (demo) jadi makin berat. Maka sebagai pj gubernur, saya akan siapkan dialog interaktif. Saya juga akan berkunjung ke setiap kampus, ke setiap media hingga pasar. Hal ini sebagaimana saya lakukan ke Sulut dan DKI Jakarta. Hal ini panggilan dari pamong praja.
Buat saya didemo ya silakan saja. Mungkin mereka belum kenal saya. Saya datang ke Sulsel ikut membantu membangun bangsa. Ini sense-nya pengabdian dan kontribusi. Saya siap melakukan dialog dan melakukan kuliah umum. Dialog interaktif akan saya gunakan. Saya akan memberikan jawaban C jika sudah mendengar A dan B. Nah, mungkin inilah yang dibutuhkan di Sulsel.
Bagaimana rasanya pernah ditunjuk menjadi pemimpin di tiga daerah (Sulut, DKI Jakarta, dan Sulsel) yang berbeda?
Ini mengenai style of management di tiga daerah dengan karakteristik berbeda. Tapi karena misi kita mengelola pemerintahan transisional, maka basic management-nya sama, cuma bagaimana karakteristik yang berbeda bisa disesuaikan.
Misi apa yang dibawa dalam mengelola pemerintahan transisional?
Kita hanya mengisi kekosongan entah karena kepala daerah sudah selesai menjabat, cuti kampanye, atau lainnya. Jadi ciri khasnya adalah kita menyadari bahwa kekosongan ini ibarat sebuah jembatan sehingga kepemimpinan satu periode dengan periode lainnya tersambungkan. Jadi ketika kita tinggalkan cepat nyambungnya. Oleh karena itu kita tidak bisa punya program yang ekstrem berbeda dengan sebelumnya itu bisa bahaya. Tapi di sisi lain kita juga harus bisa membaca visi dan misi calon gubernur yang tengah bertarung. Jadi ini bisa jadi jembatan yang baik.
Lalu bagaimana misi tersebut diterapkan di Sulsel nantinya?
Kita memastikan adanya kesinambungan dari keberhasilan kebijakan dan program dari kepemimpinan sebelumnya, yakni Pak Syahrul Yasin Limpo. Dua periode beliau sangat berhasil. Kita harus jaga momentum keberhasilan ini dan dilanjutkan kebijakannya. Itu paling prinsip. Kenapa harus dilanjutkan? Jawabannya sederhana, karena periode gubernur ini berada dalam sebuah rencana pembangunan jangka panjang daerah (RPJPD). Jadi ibarat membangun gedung lima tingkat, itu setiap periode harus berkelanjutan. Lantai 1, 2, 3, dan seterusnya. Jangan sampai saya membangun hotel yang lain. Sementara ini belum lima lantai. Ini filosofinya. Jadi kita harus melanjutkan kebijakan. Sama ketika di DKI Jakarta juga melanjutkan kebijakan Ahok. Kita tidak ada program baru.
Terkait dengan pemerintahan, apa lagi yang akan dilakukan?
Harus dapat memastikan bahwa semua fungsi pemerintahan berjalan efektif. Termasuk tugas pokok SKPD. Kebetulan bulan-bulan ini DIPA (daftar isian pelaksanaan anggaran) jalan, lelang jalan, pelayanan jalan. Saya harus memastikan itu semua berjalan. Ini bagian dari agenda birokrasi. Banyak kegiatan yang harus kita jalankan. Termasuk memastikan semua DIPA dilaksanakan, daya serap tinggi, akuntabilitas bisa dilaksanakan, dan langkah-langkah antikorupsi juga bisa dijamin.
Dalam konteks penyelenggaraan Pilkada Serentak 2018 di Sulsel, apa yang akan dilakukan?
Kalau karena itu, kita harus mendukung pilkada serentak yang aman, nyaman, dan damai. Momentum ini yang harus bikin. Berarti tambah tugas lagi menjaga keamanan dan ketertiban masya rakat. Sekaligus menyukseskan pilkada serentak 2018. Hal ini dilakukan untuk memperkuat komunikasi dengan berbagai pihak termasuk Forkompimda. Jadi ini memang agenda kedua, yakni terkait politik lokal di daerah. Ini KPU dan Bawaslu harus nyambung dengan pemerintah. Jadi itulah yang penting. Termasuk dengan Forkompimda juga harus diperkuat. Juga harus menjaga jarak yang sama terhadap para kontestan pilkada. Ini soal netralitas. Tidak boleh bergerak satu senti pun.
Seperti apa Anda memandang netralitas ASN di Pilkada Sulsel?
Dulu di DKI Jakarta saya kembangkan "Salam Birokrasi, Netral". Saya kira itu penting. Kenapa saya tidak bilang ASN? Karena birokrasi itu unsurnya tiga, yaitu lembaga, aparat, dan sistem. Misalnya jika aparatnya netral tapi secara kelembagaan mobil-mobil digunakan sudah tidak netral. Secara sistem mendukung calon juga tidak netral. Tidak ada misalnya sosialisasi antinarkoba, kan sering disusupin. Gambarnya dia masuk. Jadi tiga-tiganya harus netral. Itu yang harus dikumandangkan di Sulsel. Birokrasi Sulsel harus membuat jarak yang sama terhadap 4 pasangan calon. Pasangan calon ini adalah empat putra terbaik yang dimiliki Sulsel.
Lantas bagaimana dengan kerawanan pilkada di Sulsel?
Saya tentu sudah melihat peta di Sulsel dari berbagai informasi. Problem sosialnya kurang lebih sama dengan DKI Jakarta. Sebenarnya Sulsel ini rawan sedang, tapi jika salah mengelola bisa berbahaya. Sulsel ini barometer di wilayah timur Indonesia dan pintu gerbang Indonesia timur. Jadi apa pun yang dilakukan Sulsel harus dikelola dengan baik. Lalu dengan heterogenitas di Sulsel butuh orang yang ahli mengelola perbedaan. Sulsel itu lebih banyak perbedaan bila dibandingkan dengan persamaan. Ini tidak mudah. Tentunya penting dengan merawat kebinekaan. Ini memang given. Kan tidak bisa semua ikut Bugis, semua ikut Mandar atau suku lainnya. Tidak boleh. Jadi bagaimana membangun kebersamaan di dalam perbedaan. Saya yakin mereka sadar berbeda-beda. Nah, tinggal kita bangun persamaan di antara perbedaan itu. Ini sudah bisa tinggal momentumnya kita pelihara.
Untuk memastikan pilkada berjalan kondusif, apa yang akan Anda lakukan?
Filosofi pilkada bawa lawan bertanding tapi pada hakikatnya teman bermain dalam membangun Sulsel. Dan rakyatlah yang menjadi wasitnya. Ini juga akan saya sosialisasikan ke rakyat Sulsel. Tapi poin pentingnya yang saya sosialisasikan adalah demokrasi yang menggembirakan, sehingga pilkada sebagai pesta demokratis selayaknya pesta perkawinan, ulang tahun dan sebagainya harus menggembirkan. Masa pesta mencekam? Ini tugas pj gubernur.
Apakah Anda tahu ditolak sebagai pj gubernur Sulsel?
Saya tahu dari berita, bahwa sudah disambut dengan penolakan terhadap Sumarsono. Enggak apa-apa. Ya saya hanya ketawa. Kenapa? Wong isunya tidak jelas. Di Sulut dan DKI Jakarta banyak birokrat yang sedih saya tinggal karena bersatu dan nyaman bekerja. Lalu paslon juga merasa netralitas terjaga. Nah isu yang berkembang di Sulsel dikhawatirkan saya tidak netral. Dan yang kedua dianggap dapat merusak persatuan dan kesatuan karena dinilai gagal mengelola DKI Jakarta. Demokrasi tidak akan lepas dari demonstrasi. Demonstrasi pasti bagian dari demokrasi selama tidak anarkistis. Jadi diberilah ruang untuk menyampaikan itu.
Bagaimana Anda merespons penolakan tersebut?
Itu setiap hari ada 5-6 demo dengan berbagai alasan. Itu artinya Sulsel butuh panggung dialogis. Dialog interaktif. Dinamika generasi yang ingin dapat jawaban tidak tersalurkan sehingga melakukan demonstrasi. Apalagi ditambah dengan andaikata itu ada sponsor (demo) jadi makin berat. Maka sebagai pj gubernur, saya akan siapkan dialog interaktif. Saya juga akan berkunjung ke setiap kampus, ke setiap media hingga pasar. Hal ini sebagaimana saya lakukan ke Sulut dan DKI Jakarta. Hal ini panggilan dari pamong praja.
Buat saya didemo ya silakan saja. Mungkin mereka belum kenal saya. Saya datang ke Sulsel ikut membantu membangun bangsa. Ini sense-nya pengabdian dan kontribusi. Saya siap melakukan dialog dan melakukan kuliah umum. Dialog interaktif akan saya gunakan. Saya akan memberikan jawaban C jika sudah mendengar A dan B. Nah, mungkin inilah yang dibutuhkan di Sulsel.
(amm)