Di Balik Berdirinya Lanud Husein Sastranegara
A
A
A
Pangkalan TNI AU (Lanud) Husein Sastranegara di Bandung, Jawa Barat memiliki kisah tersendiri dalam perjalanan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU).
Awalnya, Lanud Husein Sastranegara bernama Lapangan Udara Andir, yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda pada Tahun 1921. Sebelumnya, pada 1918 penguasa Hindia Belanda membangun Lapangan Terbang Cipagalo, Sukamiskin yang juga masih di wilayah Bandung. Lapangan itu dibuat hanya dengan meratakan tanah dan dilakukan pengerasan.
Namun, karena kondisinya becek dan tidak dapat dikeraskan dengan sempurna, Belanda membuat landasan baru lagi di daerah Cicukang, Desa Cibeureum yang kemudian terkenal dengan sebutan Lapangan Terbang Andir, karena tempatnya di daerah Andir. Lapangan terbang ini digunakan untuk kepentingan Angkatan Udara Belanda (Luchvaart Afdeling).
Lapangan Terbang Andir dibangun pada tahun 1921, di tanah seluas 45 hektare. Tanah itu milik rakyat yang dibeli oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pembangunannya masih sangat sederhana, hanya diratakan dan dilakukan pengerasan tanpa dilapisi aspal. Peralatan lapangan terbang yang ada di Sukamiskin berangsur-angsur dipindahkan ke Andir.
Pada waktu dibangun, bekas Lapangan Terbang Andir sebelah barat berbatasan dengan Desa Cibeureum, sebelah Timur berbatasan dengan Sungai Cilimus, sebelah utara Cibogo, sebelah Selatan rel kereta api daerah Maleber.
Setelah Jepang mengusai Hindia Belanda, Andir tetap dimanfaatkan sebagai pusat perawatan. Perkembangan selanjutnya, ketika Jepang menyerah kepada Sekutu, Belanda kembali ingin menguasai Andir. Pada Maret 1946, Belanda kembali menguasai Andir setelah Bandung jatuh ke tangan Sekutu.
Selanjutnya, setelah Sekutu pergi dan menyerahkan kekuasaan ke Belanda, Andir kembali digunakan sebagai lapangan terbang untuk pangkalan udara militer dan penerbangan sipil. Sejumlah pesawat yang mendarat di Lapangan Terbang Andir zaman itu di antaranya Avro, Glenmartin, Jeger, dan Koelhoven.
Peristiwa penyerahan Pangkalan Udara Andir ke Indonesia berawal saat Konferensi Meja Bunda (KMB) yang berakhir 2 November 1949. Kala itu dicapai kesepakatan prinsip mengenai peraturan-peraturan Angkatan Udara di Indonesia yang ada di bawah komando Belanda, setelah peresmian pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat.
Hanya dalam waktu enam bulan, pihak AURI benar-benar menunjukkan kesanggupan serta kemampuannya dalam merealisasikan tugas negara. Setelah berlangsungnya pengakuan kedaulatan RIS pada tanggal 27 Desember 1949, berlangsung pula serah terima pangkalan-pangkalan udara secara berangsur-angsur.
Pangkalan Angkatan Udara Andir merupakan yang pertama diserahterimakan dari Belanda ke pihak AURI, tepatnya pada 20 Januari 1950. Namun, serah terima tersebut hanya berlaku bagi PAU Andir sebelah utara yang meliputi fasilitas penerbangan, termasuk hanggar tiga pesawat C-47 Dakota, tiga pesawat latih Harvard, dan tujuh pesawat Piper Cub (Capung ).
Serah terima keseluruhan Pangkalan Udara Andir kepada pihak AURI baru dilakukan tiga bulan kemudian yakni pada tanggal 12 Juni 1950. Serah terima dilakukan Mayor EJ Van Dammen dan Overste Oyens mewakili pemerintahan Belanda. Pihak AURI diwakili Mayor Udara Wiweko Soepono yang menjabat sebagai Ketua Sub Panitia Penerimaan Material dan Personel dari Militairy Luchtvaart (ML) Belanda dan Kapten Udara AR Soehoed.
Dalam buku A.R. Soehoed: Menyertai Setengah Abad Perjalanan Republik ditulis, pada akhir Juli 1950, pecah Perang Korea. Amerika Serikat harus berhadapan dengan pihak komunis Korea Utara. Pilot-pilot Amerika yang disewa AURI kembali ke kandangnya untuk membela negaranya. Kepergian mereka menimbulkan kekosongan di tubuh AURI. Terasa sekali AURI belum banyak memiliki pilot andal.
Untuk menanggulangi itu, Wiweko berinisiatif membangun sebuah advance training base di Andir. Pelatihan akan dipusatkan di Hanggar Utara. Dalam proyek tersebut, AR Soehoed diminta membuat suatu pelataran pesawat seluas kurang lebih 30.000 meter persegi di depan Hanggar Utara. Dia juga harus meng-upgrade dan memperpanjang landasan Andir 500 meter ke ujung timur.
Kala itu, sangat sulit mendapatkan batu yang besar dan keras di Bandung. Batu-batu itu harus didatangkan dari jauh dengan konsekuensi biaya akan melonjak dan masalah pengangkutan. Karena itu, AR Soehoed mengambil keputusan tidak menggunakan batu besar untuk perpanjangan landasan. Untuk pertama kali di Indonesia, digunakan konstruksi stabilized soil untuk landasan terbang.
Ide itu didapatkan AR Soehoed setelah mempelajari landasan-landasan yang digunakan pada Perang Pasifik yang harus dibangun dengan cepat tanpa biaya tinggi. Mereka mengembangkan teknologi pencampuran tanah dengan menggunakan bahan kimia atau kapur dan sedikit semen. Tanah itu kemudian dipadatkan sehingga menghasilkan landasan yang kokoh dan tidak akan melunak karena air.
Persoalan lain kembali muncul lantaran alat-alat untuk mencampur, menggelar, dan memadatkannya belum tersedia di Indonesia. AR Soehoed memutar otak dengan menciptakan alat-alat tersebut dari peralatan yang ada seperti concrete mixer belt conveyer. Bahkan, asphalt mixing plant yang biasa digunakan untuk pembuatan jalan hotmix atau coldmix, diakali untuk membuat stabilized soil mix.
Agar pemadatan sempurna, diperlukan mesin gilas beroda ban. Namun, alat itu pun belum ada di Indonesia, sehingga terpaksa membuat alat sejenis dengan menggunakan ban-ban bekas pesawat pembom B-25. Semua pekerjaan itu selesai sekitar empat bulan.
Singkat cerita, pada 17 Agustus 1952, Pangkalan Udara Andir diubah namanya menjadi Lanud Husein Sastranegara. Perubahan nama bukan hanya sebagai penghormatan kepada Komodor Muda Husein Sastranegara, tetapi mengisyaratkan pentingnya bandar udara ini dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. (Baca Juga: Husein Sastranegara, Penerbang TNI AU Korban Jatuhnya Pesawat Cukiu
Kini, Lanud Husein Sastranegara menjadi salat satu pangkalan TNI AU bertipe B. Lanud Husein Sastranegara merupakan salah satu Satuan Komando Operasi TNI AU yang berkedudukan di bawah Pangkoops AU 1.
Sumber:
1. tni-au.mil.id
2. A.R. Soehoed: Menyertai Setengah Abad Perjalanan Republik/tim penulis Aristides Katoppo...[et al]. -- Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001.
Awalnya, Lanud Husein Sastranegara bernama Lapangan Udara Andir, yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda pada Tahun 1921. Sebelumnya, pada 1918 penguasa Hindia Belanda membangun Lapangan Terbang Cipagalo, Sukamiskin yang juga masih di wilayah Bandung. Lapangan itu dibuat hanya dengan meratakan tanah dan dilakukan pengerasan.
Namun, karena kondisinya becek dan tidak dapat dikeraskan dengan sempurna, Belanda membuat landasan baru lagi di daerah Cicukang, Desa Cibeureum yang kemudian terkenal dengan sebutan Lapangan Terbang Andir, karena tempatnya di daerah Andir. Lapangan terbang ini digunakan untuk kepentingan Angkatan Udara Belanda (Luchvaart Afdeling).
Lapangan Terbang Andir dibangun pada tahun 1921, di tanah seluas 45 hektare. Tanah itu milik rakyat yang dibeli oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pembangunannya masih sangat sederhana, hanya diratakan dan dilakukan pengerasan tanpa dilapisi aspal. Peralatan lapangan terbang yang ada di Sukamiskin berangsur-angsur dipindahkan ke Andir.
Pada waktu dibangun, bekas Lapangan Terbang Andir sebelah barat berbatasan dengan Desa Cibeureum, sebelah Timur berbatasan dengan Sungai Cilimus, sebelah utara Cibogo, sebelah Selatan rel kereta api daerah Maleber.
Setelah Jepang mengusai Hindia Belanda, Andir tetap dimanfaatkan sebagai pusat perawatan. Perkembangan selanjutnya, ketika Jepang menyerah kepada Sekutu, Belanda kembali ingin menguasai Andir. Pada Maret 1946, Belanda kembali menguasai Andir setelah Bandung jatuh ke tangan Sekutu.
Selanjutnya, setelah Sekutu pergi dan menyerahkan kekuasaan ke Belanda, Andir kembali digunakan sebagai lapangan terbang untuk pangkalan udara militer dan penerbangan sipil. Sejumlah pesawat yang mendarat di Lapangan Terbang Andir zaman itu di antaranya Avro, Glenmartin, Jeger, dan Koelhoven.
Peristiwa penyerahan Pangkalan Udara Andir ke Indonesia berawal saat Konferensi Meja Bunda (KMB) yang berakhir 2 November 1949. Kala itu dicapai kesepakatan prinsip mengenai peraturan-peraturan Angkatan Udara di Indonesia yang ada di bawah komando Belanda, setelah peresmian pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat.
Hanya dalam waktu enam bulan, pihak AURI benar-benar menunjukkan kesanggupan serta kemampuannya dalam merealisasikan tugas negara. Setelah berlangsungnya pengakuan kedaulatan RIS pada tanggal 27 Desember 1949, berlangsung pula serah terima pangkalan-pangkalan udara secara berangsur-angsur.
Pangkalan Angkatan Udara Andir merupakan yang pertama diserahterimakan dari Belanda ke pihak AURI, tepatnya pada 20 Januari 1950. Namun, serah terima tersebut hanya berlaku bagi PAU Andir sebelah utara yang meliputi fasilitas penerbangan, termasuk hanggar tiga pesawat C-47 Dakota, tiga pesawat latih Harvard, dan tujuh pesawat Piper Cub (Capung ).
Serah terima keseluruhan Pangkalan Udara Andir kepada pihak AURI baru dilakukan tiga bulan kemudian yakni pada tanggal 12 Juni 1950. Serah terima dilakukan Mayor EJ Van Dammen dan Overste Oyens mewakili pemerintahan Belanda. Pihak AURI diwakili Mayor Udara Wiweko Soepono yang menjabat sebagai Ketua Sub Panitia Penerimaan Material dan Personel dari Militairy Luchtvaart (ML) Belanda dan Kapten Udara AR Soehoed.
Dalam buku A.R. Soehoed: Menyertai Setengah Abad Perjalanan Republik ditulis, pada akhir Juli 1950, pecah Perang Korea. Amerika Serikat harus berhadapan dengan pihak komunis Korea Utara. Pilot-pilot Amerika yang disewa AURI kembali ke kandangnya untuk membela negaranya. Kepergian mereka menimbulkan kekosongan di tubuh AURI. Terasa sekali AURI belum banyak memiliki pilot andal.
Untuk menanggulangi itu, Wiweko berinisiatif membangun sebuah advance training base di Andir. Pelatihan akan dipusatkan di Hanggar Utara. Dalam proyek tersebut, AR Soehoed diminta membuat suatu pelataran pesawat seluas kurang lebih 30.000 meter persegi di depan Hanggar Utara. Dia juga harus meng-upgrade dan memperpanjang landasan Andir 500 meter ke ujung timur.
Kala itu, sangat sulit mendapatkan batu yang besar dan keras di Bandung. Batu-batu itu harus didatangkan dari jauh dengan konsekuensi biaya akan melonjak dan masalah pengangkutan. Karena itu, AR Soehoed mengambil keputusan tidak menggunakan batu besar untuk perpanjangan landasan. Untuk pertama kali di Indonesia, digunakan konstruksi stabilized soil untuk landasan terbang.
Ide itu didapatkan AR Soehoed setelah mempelajari landasan-landasan yang digunakan pada Perang Pasifik yang harus dibangun dengan cepat tanpa biaya tinggi. Mereka mengembangkan teknologi pencampuran tanah dengan menggunakan bahan kimia atau kapur dan sedikit semen. Tanah itu kemudian dipadatkan sehingga menghasilkan landasan yang kokoh dan tidak akan melunak karena air.
Persoalan lain kembali muncul lantaran alat-alat untuk mencampur, menggelar, dan memadatkannya belum tersedia di Indonesia. AR Soehoed memutar otak dengan menciptakan alat-alat tersebut dari peralatan yang ada seperti concrete mixer belt conveyer. Bahkan, asphalt mixing plant yang biasa digunakan untuk pembuatan jalan hotmix atau coldmix, diakali untuk membuat stabilized soil mix.
Agar pemadatan sempurna, diperlukan mesin gilas beroda ban. Namun, alat itu pun belum ada di Indonesia, sehingga terpaksa membuat alat sejenis dengan menggunakan ban-ban bekas pesawat pembom B-25. Semua pekerjaan itu selesai sekitar empat bulan.
Singkat cerita, pada 17 Agustus 1952, Pangkalan Udara Andir diubah namanya menjadi Lanud Husein Sastranegara. Perubahan nama bukan hanya sebagai penghormatan kepada Komodor Muda Husein Sastranegara, tetapi mengisyaratkan pentingnya bandar udara ini dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. (Baca Juga: Husein Sastranegara, Penerbang TNI AU Korban Jatuhnya Pesawat Cukiu
Kini, Lanud Husein Sastranegara menjadi salat satu pangkalan TNI AU bertipe B. Lanud Husein Sastranegara merupakan salah satu Satuan Komando Operasi TNI AU yang berkedudukan di bawah Pangkoops AU 1.
Sumber:
1. tni-au.mil.id
2. A.R. Soehoed: Menyertai Setengah Abad Perjalanan Republik/tim penulis Aristides Katoppo...[et al]. -- Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001.
(zik)