Menengok Rumah Wafat Sang Komponis WR Supratman

Minggu, 10 Desember 2017 - 06:47 WIB
Menengok Rumah Wafat...
Menengok Rumah Wafat Sang Komponis WR Supratman
A A A
Siang itu, Rabu (6/12/2017), cuaca Kota Surabaya agak mendung. Semilir angin berhembus menggoyang-goyang ranting pohon. Ahmad Saifuna Arif, terlihat sibuk mengepel lantai sebuah rumah kecil yang ada di Jalan Mangga Nomor 21 Kelurahan Tambaksari Surabaya.

Di depan rumah itu, berdiri gagah patung seorang laki-laki mengenakan peci. Di antara bahu dan dagu kirinya mengapit biola, seolah sedang memainkan sebuah lagu.

Ya, inilah rumah tinggal Wage Rudolf (WR) Supratman hingga wafatnya pada 17 Agustus 1938. Wage, begitu dia disapa, tak akan menyangka bahwa, tujuh tahun setelah kematiannya, di tanggal 17 Agustus 1945, lagu ciptaannya, Indonesia Raya berkumandang sebagai tanda Indonesia Merdeka.

Berkat lagu Indonesia Raya, putera dari Joemeno Kartodikromo, seorang tentara KNIL Belanda ini, oleh pemerintah Indonesia, diangkat menjadi Pahlawan Nasional. “Dalam beberapa bulan terakhir ini, rumah ini (rumah tinggal WR Supratman) terus diperbaiki,” kata Ahmad sambil meletakkan sapu di sudut ruangan.

Menurut Ahmad, Wage tinggal di rumah ini hanya setahun atau mulai dari 1937 hingga 1978. Rumah yang bercat putih dan kuning itu merupakan rumah kakak tertua Wage, yakni tertua Rukina Supratinah. WR Supratman meninggal dunia tanpa meninggalkan harta. Dia meninggalkan secarik kertas not-not musik lagu ciptaannya yang terakhir pada bangsanya.

WR Supratman, yang juga seorang wartawan juga meninggalkan sempat membuat roman berjudul ‘Perawan Desa’ yang selesai di tahun 1929. Sayangnya, sebelum tersebar ke khalayak, roman tersebut disita Pemerintah Hindia Belanda.

Untuk menuju ke rumah ini, tidaklah sulit. Lokasinya memang strategis. Rumah Wage ini tepat di depan Gedung Olah Raga (GOR) Tambaksari. Di depan GOR tersebut terdapat Taman Mundu. Nah, di sudut bagian belakang Taman Mundu, akan tampak dengan jelas penanda, Rumah Wafat WR Supratman.

Jalan menuju ke rumah yang tercatat sebagai Cagar Budaya ini tidak begitu lebar. Hanya sekitar 2 meter. Menariknya, paving yang dipasang untuk menuju rumah WR Supratman ini berbeda dengan paving pada umumnya.

Pada umumnya, paving berbentuk kotak persegi panjang. Kalau paving yang menuju ke rumah komponis ini, bentuk kotak persegi. Dari mulut gang, hingga ke rumah tersebut, kurang dari sekitar 200 meter. Rumah Wafat WR Supratman ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya berdasarkan Surat Keputusan (SK) Walikota Surabaya Nomor: 188.45/251/402.1.04/1996 dengan nomor urut 56.

“Mulai September kemarin, mulai ada pemugaran taman depan. Jadi lebih indah,” kata Ahmad yang sejak Juni 2016 lalu menjaga rumah WR Supratman.

Bentuk rumah ini begitu sederhana dengan ukuran 5x 10 meter menghadap ke arah timur. Halaman depan rumah juga tergolong sempit, tidak akan cukup buat memarkir mobil Toyota Alphard. Halaman dihiasi taman mungil dan patung Supratman seukuran manusia tengah memainkan biola.

Dalam rumah ini hanya terdapat 2 kamar tidur di sisi kanan dan ruang tamu di sisi kiri. Ruang tamu terpampang foto-foto WR Supratman dengan keluarga dan teman dekat. Di pojok kamar tidur bagian depan terdapat replika biola WR Soepratman.

Rumah ini cukup bersih. Toilet yang ada di bagian belakang rumah juga sekelas toilet yang ada di pusat perbelanjaan modern. Sembari melihat-lihat isi ruangan dan juga memandangi foto-foto WR Supratman, telinga pengunjung juga ditemani lagu-lagu jaman dulu. Akhirnya, ketika masuk ke rumah ini seolah-olah kembali ke masa jaman perjuangan dulu.

“Pengecatan rumah terus kami lakukan. Sehingga memang terlihat sangat bersih dan nyaman,” katanya.

Tak lama kemudian, tiga orang pekerja masuk ke dalam rumah untuk merenovasi sejumlah bagian bangunan tua ini. Pengunjung yang datang ke rumah ini tidak begitu banyak.

Dalam sehari hanya ada sekitar 10 hingga 20 orang saja yang berkunjung. Itupun hanya dari kalangan pelajar. Kalau ada dari kalangan perguruan tinggi atau masyarakat umum, jumlahnya tidak begitu banyak. Ketika hari libur, jumlah pengunjung agak ada kenaikan. Jumlahnya bisa mencapai 50 orang.

“Tidak ada yang tinggal di rumah ini. Beberapa saudara WR Soepratman yang ada di Sidoarjo dan Jakarta, hanya sesekali saja berkunjung ke sini,” tandas Ahmad yang terhitung sebagai mahasiswa Universitas Surabaya (Ubaya).

Rumah ini sebenarnya adalah tempat persembunyian Supratman dari kejaran aparat Pemerintah Hindia Belanda. Akibat menciptakan lagu Indonesia Raya, WR Soeprataman menjadi buronan pihak pemerintah Hindia Belanda. Dari Batavia Supratman memilih melarikan diri ke Cimahi.

Sayangnya, di Cimahi persembunyiannya diketahui. Diapun bergeser ke Pemalang, Jawa Tengah. Belum begitu lama beliau lari menuju ke Surabaya. Di Kota Pahlawan inilah WR Suprataman akhirnya tertangkap dan dijebloskan ke Penjara Kalisosok.

Di dalam penjara, pria yang mendapat pelajaran musik dari kakak iparnya, Willem van Eldik itu mengalami siksaan hingga akhirnya meninggal meninggal 17 hari kemudian. Beliau kemudian dibawa kembali ke rumah kakaknya.

Mengacu pada buku biografi Wage Rudolf Supratman karya Bambang Sularto yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2012), Supratman pada akhir 1926 ketika tinggal di daerah Kwitang, sempat memiliki hubungan khusus dengan Mujenah.

Kisah asmara ini harus berakhir ketika Mujenah dipingit dan dinikahkan dengan lelaki lain. Namun, kisah asmara dengan Mujenah ini belum bisa diungkap secara jelas.
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1007 seconds (0.1#10.140)