145 Petugas Diturunkan Mendata Warga yang Dipasung di Jawa Timur
A
A
A
SURABAYA - Wakil Gubernur Jawa Timur (Jatim), Saifullah Yusuf mengaku kesulitan membebaskan pengidap gangguan jiwa dari jeratan pasung. Ini akibat dari keluarga pasien yang kurang begitu terbuka pada petugas pendamping di lapangan.
Gus Ipul, sapaan Saifullah Yusuf mengatakan, saat ini pihaknya sudah menyiapkan sebanyak 145 petugas pendamping yang akan memetakan warga pengidap gangguan jiwa yang dipasung. Petugas tersebut juga melakukan sosialisasi dan edukasi pada masyarakat terkait hak asasi yang dimiliki dari pengidap gangguan jiwa tersebut.
“Di keluarga misalnya, mereka menganggap pengobatan pasien sakit jiwa yang dipasung kena biaya, padahal tidak. Kemudian, terkadang keluarga juga malu punya anggota keluarga yang sakit jiwa,” katanya usai menerima anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Siane Indriani di ruangan Wagub Jatim, Senin (7/8/2017).
Mantan Ketua GP Ansor ini mengungkapkan, data awal ada sebanyak 2.600 warga di Jatim yang dipasung gara-gara mengalami gangguan jiwa. Pemprov Jatim sendiri berupaya membebaskan warga yang dipasung tersebut dan saat ini sudah berkurang menjadi 463 orang. Sementara itu, sekitar 1.600 orang pasien sudah sembuh dan tinggal diserahkan ke keluarga masing-masing.
“Anehnya lagi, pihak keluarga ada yang enggan menerima anggota keluarga yang sudah sembuh tersebut. Sehingga saat mereka (yang sudah sembuh) masih tinggal di dinas sosial (dinsos) setempat,” tandasnya.
Di sisi lain, Dinsos Jatim kini menerapkan sistem E-Pasung guna mendata secara online penderita gangguan jiwa di 38 kabupaten/kota di Jatim. Ini untuk mengejar target Jatim sebagai provinsi bebas pasung pada akhir tahun 2017. Dengan program E-Pasung, nantinya penderita gangguan jiwa dicatat secara online. Mereka akan dipantau oleh tim relawan pendamping. “Sehingga bisa diobati sampai penyakitnya sembuh dan bisa kembali hidup membaur dengan masyarakat,” kata Kepala Dinsos Jatim Sukesi.
Sistem E-Pasung dianggap mempermudah pengobatan penderita gangguan jiwa di Jatim. Mereka yang terdata menderita gangguan jiwa bisa segera dikirim ke rumah sakit jiwa di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Menur dan RSJ Lawang untuk diobati sampai sembuh. Data penderita gangguan jiwa yang dikirim relawan secara online itu bisa sewaktu-waktu diperbaharui oleh pemerintah. “Jika keluarganya mau menerima maka akan dikembalikan. Kalau tidak ya terpaksa menjadi penghuni di situ (Dinsos) selamanya,” paparnya.
Sementara itu, anggota Komnas HAM Siane Indriani terus mendorong Pemprov Jatim membebaskan pengidap sakit jiwa yang dipasung. Menurutnya, pemasungan sudah bagian dari pelanggaran HAM. Hak atas kebebasan menjadi terbatasi hanya karena mengalami gangguan jiwa. Padahal, ini merupakan penyakit biasa yang bisa diobati. “Saya minta pada masyarakat agar tidak mau memiliki anggota keluara yang mengalami gangguan jiwa,” pintanya.
Gus Ipul, sapaan Saifullah Yusuf mengatakan, saat ini pihaknya sudah menyiapkan sebanyak 145 petugas pendamping yang akan memetakan warga pengidap gangguan jiwa yang dipasung. Petugas tersebut juga melakukan sosialisasi dan edukasi pada masyarakat terkait hak asasi yang dimiliki dari pengidap gangguan jiwa tersebut.
“Di keluarga misalnya, mereka menganggap pengobatan pasien sakit jiwa yang dipasung kena biaya, padahal tidak. Kemudian, terkadang keluarga juga malu punya anggota keluarga yang sakit jiwa,” katanya usai menerima anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Siane Indriani di ruangan Wagub Jatim, Senin (7/8/2017).
Mantan Ketua GP Ansor ini mengungkapkan, data awal ada sebanyak 2.600 warga di Jatim yang dipasung gara-gara mengalami gangguan jiwa. Pemprov Jatim sendiri berupaya membebaskan warga yang dipasung tersebut dan saat ini sudah berkurang menjadi 463 orang. Sementara itu, sekitar 1.600 orang pasien sudah sembuh dan tinggal diserahkan ke keluarga masing-masing.
“Anehnya lagi, pihak keluarga ada yang enggan menerima anggota keluarga yang sudah sembuh tersebut. Sehingga saat mereka (yang sudah sembuh) masih tinggal di dinas sosial (dinsos) setempat,” tandasnya.
Di sisi lain, Dinsos Jatim kini menerapkan sistem E-Pasung guna mendata secara online penderita gangguan jiwa di 38 kabupaten/kota di Jatim. Ini untuk mengejar target Jatim sebagai provinsi bebas pasung pada akhir tahun 2017. Dengan program E-Pasung, nantinya penderita gangguan jiwa dicatat secara online. Mereka akan dipantau oleh tim relawan pendamping. “Sehingga bisa diobati sampai penyakitnya sembuh dan bisa kembali hidup membaur dengan masyarakat,” kata Kepala Dinsos Jatim Sukesi.
Sistem E-Pasung dianggap mempermudah pengobatan penderita gangguan jiwa di Jatim. Mereka yang terdata menderita gangguan jiwa bisa segera dikirim ke rumah sakit jiwa di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Menur dan RSJ Lawang untuk diobati sampai sembuh. Data penderita gangguan jiwa yang dikirim relawan secara online itu bisa sewaktu-waktu diperbaharui oleh pemerintah. “Jika keluarganya mau menerima maka akan dikembalikan. Kalau tidak ya terpaksa menjadi penghuni di situ (Dinsos) selamanya,” paparnya.
Sementara itu, anggota Komnas HAM Siane Indriani terus mendorong Pemprov Jatim membebaskan pengidap sakit jiwa yang dipasung. Menurutnya, pemasungan sudah bagian dari pelanggaran HAM. Hak atas kebebasan menjadi terbatasi hanya karena mengalami gangguan jiwa. Padahal, ini merupakan penyakit biasa yang bisa diobati. “Saya minta pada masyarakat agar tidak mau memiliki anggota keluara yang mengalami gangguan jiwa,” pintanya.
(mcm)