Robert Wolter Monginsidi: Menolak Menyerah, Setia Berjuang sampai Akhir
A
A
A
Senin, 5 September 1949, dini hari, sejumlah petugas menggiring seorang pemuda keluar dari dalam penjara Kiskampement Makassar. Dalam pengawalan ketat, pemuda itu tampak tenang dengan sorot mata tajam, digiring menuju mobil dan membawa keluar halaman penjara.
Mobil tersebut tiba di tanah lapang di Panaikang –Tallo. Di sana sudah menanti satu regu tembak. Pemuda ini berjalan tenang sambil membawa Alkitab menyalami seluruh regu tembak dan menuju tempat pelaksanaan eksekusi.
Tepat pukul 5.00 Wita, terdengar suara senapan menyalak serentak, kemudian hening. Tubuh pemuda itu pun luruh dengan tangan kanan terkepal setelah tiga kali pekikan merdeka. 8 peluru menembus raganya: 4 di dada kiri, 1 di dada kanan, 1 di ketiak kiri menembus ketiak kanan, 1 di pelipis kiri, dan 1 di tepat pusar.
Robert Wolter Monginsidi pun gugur pada usia muda, 24 tahun. Setelah menjalani perjuangan yang meskipun singkat dan dua kali meringkuk dalam penjara, pemuda kelahiran 14 Februari 1925 di pesisir Desa Malalayang, Manado, Sulawesi Utara, telah memilih takdirnya. Gugur demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
“Saya jalani hukuman tembak mati ini dengan tenang, tidak ada rasa takut dan gentar demi kemerdekaan bangsa Indonesia tercinta.” Demikian keteguhan dan keyakinanya dia tulis dalam salah satu surat kepada keluarganya dari sel penjara.
Robert Wolter Monginsidi yang akrab disapa Bote ini, sejak ditangkap dan dipenjara di Kiskampement Makassar pada 28 Oktober 1948 menolak menyerah pada penjajah Belanda atas perlawanan yang dilakukannya. Meskipun dalam penjara tangan dan kakinya harus dibelenggu.
Dia juga menolak takut pada kematian setelah divonis hukuman mati dijatuhkan oleh hakim Meester B Damen pada 26 Maret 1949. Grasi yang ditawarkan dua pejabat Belanda yakni Overste Komandan Territoriale Troepen di Makassar dan seorang Majoor Titulair 'inlander' dari Raad van Justitie (pengadilan), ditolak.
Monginsidi yang saat itu sedang membaca buku pelajaran berbahasa Jerman, langsung bangkit dan berkacak pinggang. "Minta grasi? Minta grasi berarti mengkhianati keyakinan sendiri dan teman-teman!"
Dua pejabat itu tertegun dan hampir serentak berkata, "Dat is pas een man." (Ini baru benar-benar seorang jantan). Mereka pergi dan Monginsidi kembali membaca seakan-akan tidak terjadi apa-apa.
Bahkan ketika kedua orangtuanya didatangkan dalam usaha untuk memintakan grasi ini dan membujuknya, ternyata tak mampu meluluhkan keteguhan Wolter Monginsidi. “Sampaikan salam saya kepada Papa, saudara-saudara saya di Malalayang serta teman-teman seperjuangan, saya jalani hukuman tembak mati ini dengan tenang,” tulisnya dalam surat kepada ayah dan ibunya, Petrus Monginsidi dan Lina Suawa.
Keteguhan Monginsidi tak pernah berubah seperti ketika dia pertama kali memutuskan untuk ikut serta dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pada 17 Juli 1946, Monginsidi menjadi salah satu orang yang ikut dalam pembentukan Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS).
Meskipun masih muda, keberanian dan kemampuan Monginsidi sudah teruji. Monginsidi tidak kenal takut dan menyerah melawan Belanda yang bersenjatakan lebih canggih. Dia pernah bersama rekannya menghadang sebuah jip militer milik Belanda yang membawa 4 prajurit.
Monginsidi menodongkan pistol ke sopir jip yang berpangkat kapten. Seragam dan tanda pangkat si kapten dilucuti lalu dikenakan oleh Monginsidi. Mereka mengambilalih mobil jip tersebut dan masuk ke kandang musuh. Monginsidi memberondong senapan dari dalam mobil. Mereka menimbulkan kekacauan besar di pihak Belanda saat itu.
Aksi heroik Monginsidi yang lainnya terjadi saat pasukan Monginsidi terlibat kontak senjata dengan pihak Belanda pada Januari 1947. Serangkaian perlawanan yang dipimpin oleh Monginsidi membuat Belanda mengenali sosoknya dan berkali-kali menggelar razia besar-besaran untuk menangkapnya.
Pada 28 Februari 1947, Monginsidi tertangkap dan dipenjarakan. Namun, pada 17 Oktober 1947, kawan-kawan seperjuangan Monginsidi berhasil menyelundupkan 2 granat yang disisipkan di dalam roti. Granat pun diledakkan, Monginsidi dan ketiga rekannya berhasil melarikan diri melalui cerobong asap dapur.
Namun, 10 hari kemudian pasukan Belanda kembali menangkap Monginsidi karena tempat persembunyiannya dibocorkan. Pada 28 Oktober 1948, Monginsidi tertangkap akibat dari ruang geraknya sudah dipersempit.
Monginsidi sebenarnya bisa saja melemparkan sebuah granat yang masih disimpan, tetapi terlalu tinggi risikonya karena dekat area pemukiman warga. Demi keselamatan rakyat, Monginsidi akhirnya menyerah dan ditangkap oleh Belanda.
Dia ditempatkan di penjara Kiskampement Makassar yang lebih ketat. Tangan dan kakinya dirantai yang dikaitkan ke tembok sel. “Tidak ada lagi bantal untuk kubaringkan kepalaku di sini,” begitu dia menggambarkan keadaanya.
Namun, Monginsidi membuktikan dia tidak pernah takut, apalagi menyerah. Meskipun dikhianati dan menghadapi eksekusi mati, dia tidak pernah menyesal dan dendam. Dalam Alkitab yang digenggam saat menghadapi eksekusi regu tembak, terselip secarik kertas bertulis “Setia Hingga Akhir di Dalam Keyakinan,”
Robert Wolter Mongisidi dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia pada 6 November, 1973. Dia juga mendapatkan penghargaan tertinggi Negara Indonesia, Bintang Mahaputra (Adipradana), pada 10 November 1973. Penghargaan tersebut diterima ayahnya, Petrus yang berusia 80 tahun pada saat itu.
SUMBER
belanegarari.files.wordpress.com
sejarah-negara.com
wikipedia
indonesiaone.org
Mobil tersebut tiba di tanah lapang di Panaikang –Tallo. Di sana sudah menanti satu regu tembak. Pemuda ini berjalan tenang sambil membawa Alkitab menyalami seluruh regu tembak dan menuju tempat pelaksanaan eksekusi.
Tepat pukul 5.00 Wita, terdengar suara senapan menyalak serentak, kemudian hening. Tubuh pemuda itu pun luruh dengan tangan kanan terkepal setelah tiga kali pekikan merdeka. 8 peluru menembus raganya: 4 di dada kiri, 1 di dada kanan, 1 di ketiak kiri menembus ketiak kanan, 1 di pelipis kiri, dan 1 di tepat pusar.
Robert Wolter Monginsidi pun gugur pada usia muda, 24 tahun. Setelah menjalani perjuangan yang meskipun singkat dan dua kali meringkuk dalam penjara, pemuda kelahiran 14 Februari 1925 di pesisir Desa Malalayang, Manado, Sulawesi Utara, telah memilih takdirnya. Gugur demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
“Saya jalani hukuman tembak mati ini dengan tenang, tidak ada rasa takut dan gentar demi kemerdekaan bangsa Indonesia tercinta.” Demikian keteguhan dan keyakinanya dia tulis dalam salah satu surat kepada keluarganya dari sel penjara.
Robert Wolter Monginsidi yang akrab disapa Bote ini, sejak ditangkap dan dipenjara di Kiskampement Makassar pada 28 Oktober 1948 menolak menyerah pada penjajah Belanda atas perlawanan yang dilakukannya. Meskipun dalam penjara tangan dan kakinya harus dibelenggu.
Dia juga menolak takut pada kematian setelah divonis hukuman mati dijatuhkan oleh hakim Meester B Damen pada 26 Maret 1949. Grasi yang ditawarkan dua pejabat Belanda yakni Overste Komandan Territoriale Troepen di Makassar dan seorang Majoor Titulair 'inlander' dari Raad van Justitie (pengadilan), ditolak.
Monginsidi yang saat itu sedang membaca buku pelajaran berbahasa Jerman, langsung bangkit dan berkacak pinggang. "Minta grasi? Minta grasi berarti mengkhianati keyakinan sendiri dan teman-teman!"
Dua pejabat itu tertegun dan hampir serentak berkata, "Dat is pas een man." (Ini baru benar-benar seorang jantan). Mereka pergi dan Monginsidi kembali membaca seakan-akan tidak terjadi apa-apa.
Bahkan ketika kedua orangtuanya didatangkan dalam usaha untuk memintakan grasi ini dan membujuknya, ternyata tak mampu meluluhkan keteguhan Wolter Monginsidi. “Sampaikan salam saya kepada Papa, saudara-saudara saya di Malalayang serta teman-teman seperjuangan, saya jalani hukuman tembak mati ini dengan tenang,” tulisnya dalam surat kepada ayah dan ibunya, Petrus Monginsidi dan Lina Suawa.
Keteguhan Monginsidi tak pernah berubah seperti ketika dia pertama kali memutuskan untuk ikut serta dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pada 17 Juli 1946, Monginsidi menjadi salah satu orang yang ikut dalam pembentukan Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS).
Meskipun masih muda, keberanian dan kemampuan Monginsidi sudah teruji. Monginsidi tidak kenal takut dan menyerah melawan Belanda yang bersenjatakan lebih canggih. Dia pernah bersama rekannya menghadang sebuah jip militer milik Belanda yang membawa 4 prajurit.
Monginsidi menodongkan pistol ke sopir jip yang berpangkat kapten. Seragam dan tanda pangkat si kapten dilucuti lalu dikenakan oleh Monginsidi. Mereka mengambilalih mobil jip tersebut dan masuk ke kandang musuh. Monginsidi memberondong senapan dari dalam mobil. Mereka menimbulkan kekacauan besar di pihak Belanda saat itu.
Aksi heroik Monginsidi yang lainnya terjadi saat pasukan Monginsidi terlibat kontak senjata dengan pihak Belanda pada Januari 1947. Serangkaian perlawanan yang dipimpin oleh Monginsidi membuat Belanda mengenali sosoknya dan berkali-kali menggelar razia besar-besaran untuk menangkapnya.
Pada 28 Februari 1947, Monginsidi tertangkap dan dipenjarakan. Namun, pada 17 Oktober 1947, kawan-kawan seperjuangan Monginsidi berhasil menyelundupkan 2 granat yang disisipkan di dalam roti. Granat pun diledakkan, Monginsidi dan ketiga rekannya berhasil melarikan diri melalui cerobong asap dapur.
Namun, 10 hari kemudian pasukan Belanda kembali menangkap Monginsidi karena tempat persembunyiannya dibocorkan. Pada 28 Oktober 1948, Monginsidi tertangkap akibat dari ruang geraknya sudah dipersempit.
Monginsidi sebenarnya bisa saja melemparkan sebuah granat yang masih disimpan, tetapi terlalu tinggi risikonya karena dekat area pemukiman warga. Demi keselamatan rakyat, Monginsidi akhirnya menyerah dan ditangkap oleh Belanda.
Dia ditempatkan di penjara Kiskampement Makassar yang lebih ketat. Tangan dan kakinya dirantai yang dikaitkan ke tembok sel. “Tidak ada lagi bantal untuk kubaringkan kepalaku di sini,” begitu dia menggambarkan keadaanya.
Namun, Monginsidi membuktikan dia tidak pernah takut, apalagi menyerah. Meskipun dikhianati dan menghadapi eksekusi mati, dia tidak pernah menyesal dan dendam. Dalam Alkitab yang digenggam saat menghadapi eksekusi regu tembak, terselip secarik kertas bertulis “Setia Hingga Akhir di Dalam Keyakinan,”
Robert Wolter Mongisidi dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia pada 6 November, 1973. Dia juga mendapatkan penghargaan tertinggi Negara Indonesia, Bintang Mahaputra (Adipradana), pada 10 November 1973. Penghargaan tersebut diterima ayahnya, Petrus yang berusia 80 tahun pada saat itu.
SUMBER
belanegarari.files.wordpress.com
sejarah-negara.com
wikipedia
indonesiaone.org
(wib)