Perjuangan Rohana Kudus Mengangkat Derajat Perempuan
A
A
A
Bicara tentang perempuan yang berjuang mengangkat derajat kaumnya, publik selalu teringat sosok Kartini. Padahal, ada nama lain yakni Rohana Kudus, yang perjuangannya tak kalah dari Kartini.
Perempuan Minang dalam lembaran sejarah nasional, seakan sepi dibicarakan. Semua perhatian tertuju pada sosok perempuan ningrat asal Jawa bernama Kartini.
Kepada SINDOnews, pemerhati sejarah Sumatera Barat Fikrul Hanif Sufyan mengatakan, terpinggirkannya peran perempuan Minang dalam panggung nasional dipengaruhi historiografi Kolonial yang memang terasa dominan, sehingga tampak 'belah bambu' antara Jawa dan non-Jawa.
Ya, kala itu, nasib baik memang tidak selalu berpihak pada perempuan Minangkabau. Ketika mereka ingin menikmati sekolah ala Belanda ataupun partikulir yang sedang giat-giatnya dibangun pada awal abad ke-20, perempuan Minang pada masa itu tidak boleh bersekolah, tidak boleh melebihi laki-laki, dan harus dipingit..
Menurut Fikrul Hanif, Rohana Kudus atau Roehana Koeddoes yang dilahirkan di Koto Gadang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 20 Desember 1884, merupakan perempuan yang bernasib sama dengan gadis-gadis Minang lainnya.
Anak dari jurnalis Mohamad Rasjad Maharadja Soetan dan ibu bernama Kiam itu, semasa kecil tinggal di Alahan Panjang, Solok. Kedekatannya dengan keluarga Jaksa Alahan Panjang, kemudian mengantarnya mendapat keterampilan dan pendidikan agama.
Delapan tahun kemudian, Rohana dibawa oleh ayahnya pindah ke Talu, Pasaman. Tamar Djaja (1980: 28) menulis, ketika berada di Talu, Rohana masih sering membaca. Bahkan, Rasjad sengaja berlangganan 'Berita Kecil' terbitan Medan untuk anak gadisnya itu.
Menurut Fikrul Hanif, untuk menarik perhatian kawan-kawannya, Rohana kecil selalu membaca dengan suara lantang. Tak disangka, anak lelaki dan perempuan berkumpul di teras rumahnya, untuk sekadar mendengar Rohana membaca, sampai akhirnya mereka pun tertarik mempelajarinya.
Selama empat tahun bermukim di Talu, Rohana kecil menyulap teras rumahnya sebagai sekolahan, untuk anak yang sebaya dengannya. Tentu tidak terbayang oleh penulis historiografi Kolonial, seorang bocah berumur 10 tahun bisa mendidik kawan sebayanya.
Ketika ibunya meninggal tahun 1901, Rohana berusia 17 tahun. Menurut Mrazek (1996), Rasjad selanjutnya menikah kembali dengan Rabiah, anak dari Jaksa Bonjol. Dari pernikahan kedua Rasjad ini kelak lahir Perdana Menteri pertama RI, yakni Sutan Sjahrir.
Ketika ayah dan ibu tirinya memutuskan pindah ke Medan, jelas Fikrul Hanif, Rohana menolak halus. Ia memilih kembali ke kampung halamannya di Koto Gadang, Agam. Rohana kembali berhadapan dengan kenyataan, perempuan Koto Gadang masih saja dipingit, tidak boleh bersekolah, harus melayani suami, dan lain sebagainya. (Fitriyanti, 2001).
Keterbelakangan perempuan di Koto Gadang ini membuat gusar Rohana. Sampai akhirnya Ratna Puti, istri Jaksa Kayutanam, ikut mensponsori berdirinya Kerajinan Amai Setia (KAS) pada Februari 1911. (Djaja, 1980: 38). Ini merupakan sekolah keterampilan khusus perempuan.
Melalui KAS, Rohana muda ingin mengangkat derajat perempuan Minangkabau dengan beberapa materi penting, di antaranya menulis, membaca, berhitung, urusan rumah tangga, agama dan akhlak, kepandaian tangan, menjahit, menggunting, dan menyulam.
Kurikulum KAS yang berbasis keterampilan itu menandakan bahwa Rohana menginginkan pembebasan untuk perempuan Minangkabau. Tak cuma itu, menurut Fikrul Hanif, Rohana ingin membangun kesadaran pentingnya pendidikan dan pemberdayaan perempuan.
Pertama, Rohana ingin merekonstruksi kembali budaya Minang dan mengubah stigma bahwa perempuan Minang hanya berputar dalam urusan domestik sumur, dapur, dan kasur. Kedua, Rohana menginginkan pemberdayaan untuk seluruh perempuan, tanpa melihat status sosialnya.
Dikutip dari Wikipedia, banyak rintangan yang dihadapi Rohana dalam mewujudkan cita-citanya. Dia jatuh bangun memperjuangkan nasib kaum perempuan penuh dengan benturan sosial menghadapi pemuka adat dan kebiasaan masyarakat Koto Gadang. Bahkan, fitnah terus menderanya seiring keinginannya memajukan kaum perempuan. Tapi, hal itu justru membuat Rohana tegar dan semakin yakin dengan apa yang diperjuangkannya.
Selain berkiprah di sekolahnya, Rohana menjalin kerja sama dengan pemerintah Belanda karena ia sering memesan peralatan dan kebutuhan menjahit untuk kepentingan sekolahnya. Rohana menjadi perantara untuk memasarkan hasil kerajinan muridnya ke Eropa yang memang memenuhi syarat ekspor.
Ini menjadikan sekolah Rohana berbasis industri rumah tangga serta koperasi simpan pinjam dan jual beli yang anggotanya semua perempuan dan menjadi yang pertama di Minangkabau.
Banyak petinggi Belanda kagum atas kemampuan dan kiprah Rohana. Selain menghasilkan berbagai kerajinan, Rohana juga menulis puisi dan artikel serta fasih berbahasa Belanda. Kiprah Rohana menjadi topik pembicaraan di Belanda.
Berita perjuangannya ditulis di surat kabar terkemuka dan disebut sebagai perintis pendidikan perempuan pertama di Sumatera Barat. Keinginan untuk berbagi cerita tentang perjuangan memajukan pendidikan kaum perempuan di kampungnya ditunjang kebiasaannya menulis berujung diterbitkannya surat kabar perempuan yang diberi nama Sunting Melayu pada 10 Juli 1912. Sunting Melayu merupakan surat kabar perempuan pertama di Indonesia yang pemimpin redaksi, redaktur, dan penulisnya adalah perempuan.
Namun, kisah sukses Rohana di KAS tak berlangsung lama. Pada 22 Oktober 1916, seorang muridnya yang telah dididiknya hingga pintar menjatuhkannya dari jabatan di KAS. Dia dituduh menyelewengkan keuangan. Rohana menghadapi beberapa kali persidangan yang digelar di Bukittinggi. Dia didampingi suaminya, Abdul Kudus, yang mengerti hukum.
Setelah beberapa kali persidangan, tuduhan pada Rohana tidak terbukti. Jabatan di KAS kembali diserahkan padanya, namun dengan halus ditolaknya karena dia berniat pindah ke Bukittinggi.
Di Bukittinggi, Rohana mendirikan sekolah dengan nama 'Rohana School'. Dia mengelola sekolahnya sendiri tanpa minta bantuan siapa pun. Ini dilakukan untuk menghindari permasalahan yang tak diinginkan terulang.
Berkat kepopuleran dan jabatannya sebagai Pemimpin Redaksi Sunting Melayu, Rohana School sangat terkenal. Muridnya banyak, tidak hanya dari Bukittinggi.
Tak puas dengan ilmunya, di Bukittinggi Rohana memperkaya keterampilannya dengan belajar membordir pada orang China, menggunakan mesin jahit Singer. Karena jiwa bisnisnya juga kuat, selain belajar membordir, Rohana menjadi agen mesin jahit untuk murid-murid di sekolahnya sendiri.
Dengan kepandaian dan kepopulerannya, Rohana mendapat tawaran mengajar di sekolah Dharma Putra. Di sekolah ini muridnya tidak hanya perempuan. Rohana diberi kepercayaan mengisi pelajaran keterampilan menyulam dan merenda. Semua guru di sini adalah lulusan sekolah guru. Hanya Rohana yang tidak pernah menempuh pendidikan formal. Di sini, Rohana juga mengajar mata pelajaran Agama, Budi Pekerti, Bahasa Belanda, politik, sastra, dan teknik menulis jurnalistik.
Perjalanan panjang Rohana memperjuangkan kaum perempuan harus berakhir saat dia mengembuskan napas terakhir pada 17 Agustus 1972. Namun, apa yang disampaikan Rohana Kudus ini bisa menjadi renungan untuk kaum perempuan:
"Perputaran zaman tidak akan pernah membuat perempuan menyamai laki-laki. Perempuan tetaplah perempuan dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah perempuan harus mendapat pendidikan dan perlakuan yang lebih baik. Perempuan harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan."
Perempuan Minang dalam lembaran sejarah nasional, seakan sepi dibicarakan. Semua perhatian tertuju pada sosok perempuan ningrat asal Jawa bernama Kartini.
Kepada SINDOnews, pemerhati sejarah Sumatera Barat Fikrul Hanif Sufyan mengatakan, terpinggirkannya peran perempuan Minang dalam panggung nasional dipengaruhi historiografi Kolonial yang memang terasa dominan, sehingga tampak 'belah bambu' antara Jawa dan non-Jawa.
Ya, kala itu, nasib baik memang tidak selalu berpihak pada perempuan Minangkabau. Ketika mereka ingin menikmati sekolah ala Belanda ataupun partikulir yang sedang giat-giatnya dibangun pada awal abad ke-20, perempuan Minang pada masa itu tidak boleh bersekolah, tidak boleh melebihi laki-laki, dan harus dipingit..
Menurut Fikrul Hanif, Rohana Kudus atau Roehana Koeddoes yang dilahirkan di Koto Gadang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 20 Desember 1884, merupakan perempuan yang bernasib sama dengan gadis-gadis Minang lainnya.
Anak dari jurnalis Mohamad Rasjad Maharadja Soetan dan ibu bernama Kiam itu, semasa kecil tinggal di Alahan Panjang, Solok. Kedekatannya dengan keluarga Jaksa Alahan Panjang, kemudian mengantarnya mendapat keterampilan dan pendidikan agama.
Delapan tahun kemudian, Rohana dibawa oleh ayahnya pindah ke Talu, Pasaman. Tamar Djaja (1980: 28) menulis, ketika berada di Talu, Rohana masih sering membaca. Bahkan, Rasjad sengaja berlangganan 'Berita Kecil' terbitan Medan untuk anak gadisnya itu.
Menurut Fikrul Hanif, untuk menarik perhatian kawan-kawannya, Rohana kecil selalu membaca dengan suara lantang. Tak disangka, anak lelaki dan perempuan berkumpul di teras rumahnya, untuk sekadar mendengar Rohana membaca, sampai akhirnya mereka pun tertarik mempelajarinya.
Selama empat tahun bermukim di Talu, Rohana kecil menyulap teras rumahnya sebagai sekolahan, untuk anak yang sebaya dengannya. Tentu tidak terbayang oleh penulis historiografi Kolonial, seorang bocah berumur 10 tahun bisa mendidik kawan sebayanya.
Ketika ibunya meninggal tahun 1901, Rohana berusia 17 tahun. Menurut Mrazek (1996), Rasjad selanjutnya menikah kembali dengan Rabiah, anak dari Jaksa Bonjol. Dari pernikahan kedua Rasjad ini kelak lahir Perdana Menteri pertama RI, yakni Sutan Sjahrir.
Ketika ayah dan ibu tirinya memutuskan pindah ke Medan, jelas Fikrul Hanif, Rohana menolak halus. Ia memilih kembali ke kampung halamannya di Koto Gadang, Agam. Rohana kembali berhadapan dengan kenyataan, perempuan Koto Gadang masih saja dipingit, tidak boleh bersekolah, harus melayani suami, dan lain sebagainya. (Fitriyanti, 2001).
Keterbelakangan perempuan di Koto Gadang ini membuat gusar Rohana. Sampai akhirnya Ratna Puti, istri Jaksa Kayutanam, ikut mensponsori berdirinya Kerajinan Amai Setia (KAS) pada Februari 1911. (Djaja, 1980: 38). Ini merupakan sekolah keterampilan khusus perempuan.
Melalui KAS, Rohana muda ingin mengangkat derajat perempuan Minangkabau dengan beberapa materi penting, di antaranya menulis, membaca, berhitung, urusan rumah tangga, agama dan akhlak, kepandaian tangan, menjahit, menggunting, dan menyulam.
Kurikulum KAS yang berbasis keterampilan itu menandakan bahwa Rohana menginginkan pembebasan untuk perempuan Minangkabau. Tak cuma itu, menurut Fikrul Hanif, Rohana ingin membangun kesadaran pentingnya pendidikan dan pemberdayaan perempuan.
Pertama, Rohana ingin merekonstruksi kembali budaya Minang dan mengubah stigma bahwa perempuan Minang hanya berputar dalam urusan domestik sumur, dapur, dan kasur. Kedua, Rohana menginginkan pemberdayaan untuk seluruh perempuan, tanpa melihat status sosialnya.
Dikutip dari Wikipedia, banyak rintangan yang dihadapi Rohana dalam mewujudkan cita-citanya. Dia jatuh bangun memperjuangkan nasib kaum perempuan penuh dengan benturan sosial menghadapi pemuka adat dan kebiasaan masyarakat Koto Gadang. Bahkan, fitnah terus menderanya seiring keinginannya memajukan kaum perempuan. Tapi, hal itu justru membuat Rohana tegar dan semakin yakin dengan apa yang diperjuangkannya.
Selain berkiprah di sekolahnya, Rohana menjalin kerja sama dengan pemerintah Belanda karena ia sering memesan peralatan dan kebutuhan menjahit untuk kepentingan sekolahnya. Rohana menjadi perantara untuk memasarkan hasil kerajinan muridnya ke Eropa yang memang memenuhi syarat ekspor.
Ini menjadikan sekolah Rohana berbasis industri rumah tangga serta koperasi simpan pinjam dan jual beli yang anggotanya semua perempuan dan menjadi yang pertama di Minangkabau.
Banyak petinggi Belanda kagum atas kemampuan dan kiprah Rohana. Selain menghasilkan berbagai kerajinan, Rohana juga menulis puisi dan artikel serta fasih berbahasa Belanda. Kiprah Rohana menjadi topik pembicaraan di Belanda.
Berita perjuangannya ditulis di surat kabar terkemuka dan disebut sebagai perintis pendidikan perempuan pertama di Sumatera Barat. Keinginan untuk berbagi cerita tentang perjuangan memajukan pendidikan kaum perempuan di kampungnya ditunjang kebiasaannya menulis berujung diterbitkannya surat kabar perempuan yang diberi nama Sunting Melayu pada 10 Juli 1912. Sunting Melayu merupakan surat kabar perempuan pertama di Indonesia yang pemimpin redaksi, redaktur, dan penulisnya adalah perempuan.
Namun, kisah sukses Rohana di KAS tak berlangsung lama. Pada 22 Oktober 1916, seorang muridnya yang telah dididiknya hingga pintar menjatuhkannya dari jabatan di KAS. Dia dituduh menyelewengkan keuangan. Rohana menghadapi beberapa kali persidangan yang digelar di Bukittinggi. Dia didampingi suaminya, Abdul Kudus, yang mengerti hukum.
Setelah beberapa kali persidangan, tuduhan pada Rohana tidak terbukti. Jabatan di KAS kembali diserahkan padanya, namun dengan halus ditolaknya karena dia berniat pindah ke Bukittinggi.
Di Bukittinggi, Rohana mendirikan sekolah dengan nama 'Rohana School'. Dia mengelola sekolahnya sendiri tanpa minta bantuan siapa pun. Ini dilakukan untuk menghindari permasalahan yang tak diinginkan terulang.
Berkat kepopuleran dan jabatannya sebagai Pemimpin Redaksi Sunting Melayu, Rohana School sangat terkenal. Muridnya banyak, tidak hanya dari Bukittinggi.
Tak puas dengan ilmunya, di Bukittinggi Rohana memperkaya keterampilannya dengan belajar membordir pada orang China, menggunakan mesin jahit Singer. Karena jiwa bisnisnya juga kuat, selain belajar membordir, Rohana menjadi agen mesin jahit untuk murid-murid di sekolahnya sendiri.
Dengan kepandaian dan kepopulerannya, Rohana mendapat tawaran mengajar di sekolah Dharma Putra. Di sekolah ini muridnya tidak hanya perempuan. Rohana diberi kepercayaan mengisi pelajaran keterampilan menyulam dan merenda. Semua guru di sini adalah lulusan sekolah guru. Hanya Rohana yang tidak pernah menempuh pendidikan formal. Di sini, Rohana juga mengajar mata pelajaran Agama, Budi Pekerti, Bahasa Belanda, politik, sastra, dan teknik menulis jurnalistik.
Perjalanan panjang Rohana memperjuangkan kaum perempuan harus berakhir saat dia mengembuskan napas terakhir pada 17 Agustus 1972. Namun, apa yang disampaikan Rohana Kudus ini bisa menjadi renungan untuk kaum perempuan:
"Perputaran zaman tidak akan pernah membuat perempuan menyamai laki-laki. Perempuan tetaplah perempuan dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah perempuan harus mendapat pendidikan dan perlakuan yang lebih baik. Perempuan harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan."
(zik)