Kisah Sulton Suldi dan Misteri Goa Cirawun

Jum'at, 18 November 2016 - 05:00 WIB
Kisah Sulton Suldi dan...
Kisah Sulton Suldi dan Misteri Goa Cirawun
A A A
PANGANDARAN - Nama Sulton Suldi kerap dikaitkan dengan sejarah perkembangan Islam daerah Pangandaran. Sulton Suldi merupakan salah satu putra kembarnya Eyang Sembah Agung. Dimana Eyang Sembah Agung merupakan salah satu tokoh penyebaran Islam di Pangandaran.

Dalam kitab Kacijulangan tertera salah satu rangkaian sejarah perjalanan Sulton Suldi atau Raden Rangga Carita. Dalam kitab tersebut disebutkan jika Eyang Sembah Agung memiliki putra kembar yaitu, Sulton Suldi dan Sulton Muradi.

Sulton Suldi merupakan salah satu putra kembarnya Eyang Sembah Agung yang hilang di Batu Nunggul Sungai Sandaan Desa Kondangjajar, Kecamatan Cijulang ketika masih bayi.
(Baca juga: Situs Batu Nunggul Sandaan dan Kisah Eyang Sembah Agung)

Sedangkan Sulton Muradi berdasarkan Kitab Kacijulangan menghilang saat masih berada dalam kandungan namun kemudian menjelma menjadi manusia setelah dewasa di daerah Bojongkondang yang sekarang menjadi Desa Kondangjajar.

Tapi Sulton Muradi kembali menghilang dan memilih pergi ke tanah suci Mekkah menjadi salah satu Syekh yang menyebarkan ajaran agama Islam.

Dalam Kitab Kacijulangan diterangkan, Eyang Sembah Agung beserta istrinya melakukan pencarian bayi yang hilang saat berada dalam ayunan dengan cara menyisir jalur sungai Sandaan hingga daerah Cirawun di Desa Masawah, Kecamatan Cimerak. (Baca: Rahasia Kitab Kacijulangan dan Raja Mandala).

Salah satu Kasepuhan Cijulang Tatang mengatakan, proses pencarian tersebut dibarengi dengan penyiaran ajaran agama Islam ke masyarakat yang tempatnya menjadi persinggahan Eyang Sembah Agung.

“Eyang Sembah Agung melakukan perjalanan dari satu daerah ke daerah lainnya sambil menyiarkan ajaran agama Islam, beliau meninggalkan daerah dan menuju daerah baru setelah seluruh ajaran dasar agama Islam tersampaikan ke masyarakat,” kata Tatang.

Saat dalam perjalanan proses pencarian anaknya yang hilang, Eyang Sembah Agung beserta istrinya banyak menemukan peralatan yang semula berada dalam kanjut kundang atau tas peralatan bayi yang terbuat dari kain. Sehingga daerah tersebut diberi nama sesuai barang yang ditemukan dan nama tersebut abadi hingga sekarang.

“Barang yang pertama kali ditemukan adalah pisau bekas (peso) memutus tali ari-ari bayi, sehingga daerah itu diberi nama Cipeso,” tambahnya.

Setelah ditemukannya pisau di daerah lainnya ditemukan pangbarut wawadasan atau kain pembalut bayi tepatnya di daerah Kakalen sehingga lokasi itu namanya menjadi daerah Kalenwadas.

Tidak jauh dari lokasi itu ditemukan kain berwarna merah yang biasa digunakan untuk mengayun bayi sehingga daerah itu diberi nama Cibeureum. Setelah ditemukannya kain merah ditemukan kain jarit sehingga diberi nama Cisamping.

“Dari daerah itu Eyang Sembah Agung melanjutkan perjalanan pencarian ke hilir sungai dan saat ini nama jalur sungai itu menjadi daerah Citerusan,” papar Tatang.

Setelah menyusuri hilir sungai akhirnya Eyang Sembah Agung dan istrinya menghirup aroma wangi bayi atau bau babangi di daerah Goa Cirawun di Desa Masawah, Kecamatan Cimerak.

“Karena Eyang Sembah Agung dan istrinya merasa optimistis kalau bayi yang telah dicari puluhan tahun tersebut keberadaannya akan ada di lokasi Goa Cirawun sehingga dia menetap dan menyiarkan ajaran agama Islam ke masyarakat sekitar Goa Cirawun,” jelas Tatang.

Setelah menetap lama di lokasi Goa Cirawun secara tidak sengaja Eyang Sembah Agung bertemu dengan salah satu pria yang masih muda dan gagah. Namun pria tersebut tidak mengetahui siapa orang tuanya bahkan tidak mengetahui namanya.

“Eyang Sembah Agung bertanya pada pria muda, siapa namanu, pria itu menjawab saya tidak tahu nama saya dan tidak tahu orangtua saya,” papar Tatang.

Mendengar penjelasan tersebut Eyang Sembah Agung dan istrinya memiliki keyakinan kalau pria tersebut adalah bayi yang hilang puluhan tahun silam yang saat itu sedang dicarinya.

“Ada kekuatan batin yang mendorong Eyang Sembah Agung menyakini bahwa pria muda tersebut adalah anaknya. Sambil menangis dan memeluknya beliau berkata, engkau adalah anaku yang telah lama kami cari,” beber Tatang.

Dari pertemuan tersebut tercipta suasana kekeluargaan yang sangat haru, pria itu pun akhirnya meminta nama kepada Eyang Sembah Agung dan akhirnya diberilah nama Sulton Suldi.

“Eyang Sembah Agung berkata pada pria itu, Nak... engkau kami beri nama Sulton Suldi, karena perjalanan panjang pencarianmu kami memberikan gelar kepadamu Raden Rangga Carita,” tambah Tatang.

Setelah Eyang Sembah Agung beserta istri dan Sulton Suldi berada di Goa Cirawun, Sulton Suldi memilih berkelana untuk menyiarkan ajaran agama Islam ke daerah Serang Banten dan memiliki gelar Eyang Mudik Batara Putih.

Dari Serang Banten Sulton Suldi kemudian berkelana ke Margacinta di Kecamatan Cijulang dan memiliki gelar Tubagus Margacinta. Selanjutnya berkelana ke daerah Parigi dan memiliki gelar Tubagus Parigi, dari daerah Parigi Sulton Suldi melanjutkan berkelana ke daerah Demak dan memiliki gelar Tubagus Ranggajipang.

“Setelah sekian lama Sulton Suldi melakukan berkelana menyiarkan ajaran agama Islam akhirnya memilih untuk kembali ke tempat kelahirannya di daerah Sandaan tepatnya di lokasi batu nunggul yang berada di daerah Sungai Sandaan,” papar Tatang.

Saat kedatangan Sulton Suldi ke tempat kelahirannya secara kebetulan Eyang Sembah Agung beserta istri pun sedang berada di lokasi. Secara tiba-tiba datang seorang pria yang mirip sekali dengan Sulton Suldi.

“Pria yang mirip dengan Sulton Suldi tersebut ternyata Sulton Muradi yang merupakan kembaran Sulton Suldi yang menghilang sejak masih berada dalam kandungan, namun Sulton Muradi saat itu berikrar lebih memilih pergi ke Tanah Suci Mekkah,” cerita Tatang.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0887 seconds (0.1#10.140)