Propaganda Militer Jelang Pembantaian Massal 1965-1966
A
A
A
MEDIA massa memiliki peran penting dalam mendorong terjadinya perburuan dan pembantaian massal terhadap anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) serta pendukung gerakan kiri di Indonesia, pada 1965-1966.
Sejauh mana media berhasil menciptakan amuk massa dan menggiring opini masyarakat bahwa PKI sebagai dalang Kudeta Militer 1 Oktober 1965? Berikut ulasan Cerita Pagi.
Semuanya dimulai dengan penculikan dan pembunuhan terhadap enam orang jenderal dan seorang perwira Angkatan Darat (AD) oleh sekelompok tentara yang menamakan dirinya sebagai Gerakan 30 September (G30S), pada 1 Oktober 1965 dini hari.
Sekitar pukul 07.00 Wib, terdengar siaran Radio Republik Indonesia (RRI) tentang G30S yang dikomandoi oleh Letkol Untung. Siaran ini ditangkap langsung oleh Soeharto yang langsung menganggap G30S sebagai suatu pemberontakan.
Lebih jauh, Soeharto langsung menuding PKI sebagai dalang dari pemberontakan itu. Padahal, hingga akhir 1965 dan awal 1966, masih belum ada cukup bukti untuk membenarkan pandangan Soeharto tentang PKI sebagai dalang G30S.
Apalagi dalam siaran RRI Untung mengatakan, "G30S adalah gerakan semata-mata dalam tubuh AD". Politbiro CC-PKI pada 6 Oktober 1965 juga menyatakan, "PKI tidak tahu menahu tentang G30S dan peristiwa itu adalah intern AD".
Sehari setelah G30S, pada 2 Oktober 1965, lokasi pembuangan mayat para jenderal diduga telah diketahui. Baru pada 3 Oktober 1965 mayat-mayat itu siap digali, dan pada 4 Oktober 1965 mayat-mayat itu dievakuasi dari lubang sumur.
Saat pengangkatan mayat, pihak militer memanggil media massa untuk meliput. Dengan dihadiri juru kamera televisi, radio, koran, dan lainnya, pengangkatan mayat para jenderal itu berlangsung sangat dramatis dan menyedihkan.
Tayangan berita pengangkatan mayat ini cepat menyulut emosi masyarakat di daerah. Mereka bahkan mengaitkan foto mayat para jenderal dengan korban Peristiwa Madiun 1948. Secara politis, hal ini berarti dukungan terhadap pihak AD.
Dalam siaran langsung di TVRI dan RRI pukul 15.00 Wib, Soeharto menyatakan, "Ketujuh jenazah Pahlawan Revolusi, enam jenderal dan seorang perwira pertama, ditemukan dalam keadaan tubuh yang jelas penuh luka siksaan".
Pernyataan itu diungkapkan Soeharto selaku Pangkostrad, sesaat setelah pengangkatan jasad para jenderal di Lubang Buaya. Beberapa jam setelah siaran itu, Soeharto membentuk tim forensik untuk memeriksa jasad para jenderal.
Tim forensik yang dibentuk ini terdiri dari dua dokter tentara, yakni Brigjen dr Roebiono Kertopati dan Kolonel dr Frans Patiasina, serta tiga ahli forensik sipil Prof Sutomo Tjokronegoro, dr Liauw Yan Siang dan dr Liem Joe Thay.
Pemeriksaan forensik dilakukan sejak pukul 16.30 Wib hingga 00.30 Wib, di ruang autopsi RSPAD Jakarta. Hasilnya ternyata sangat mengejutkan dan kebalikan dari apa yang telah diucapkan Soeharto di muka TVRI dan corong RRI sebelumnya.
Tim forensik menyatakan, tidak ada bekas luka pada mayat para jenderal akibat siksaan sebelum mereka dibunuh. Anehnya, hasil pemeriksaan tim forensik ini tidak pernah disebarkan oleh Soeharti kepada media dan masyarakat.
Saat mayat para jenderal itu dimakamkan, pada 5 Oktober 1965, tiba-tiba muncul berita bohong di Harian Bersendjata yang menampilkan foto mayat para jenderal yang mulai membusuk dengan narasi seperti yang telah dibangun Soeharto.
Puncak dari kemarahan rakyat yang pertama terhadap PKI terjadi pada 6 Oktober 1965, saat puteri Nasution meninggal dunia akibat luka tembak anak buah Untung. Kematian gadis ini semakin memompa kemarahan masyarakat terhadap G30S.
Pada 9 Oktober 1965, Berita Yudha menurunkan laporan berita bohong yang berisi tentang banyaknya luka sayatan pisau pada jasad Lettu Tendean, mulai dada sebelah kiri dan perutnya, lehernya dipenggal, dan kedua matanya dicungkil keluar.
Berita bohong itu sangat berhasil dalam membakar emosi masyarakat di daerah. Untuk memompa kemarahan rakyat menjadi amuk massa, pada 11 Oktober 1965, Harian Bersendjata kembali menulis tentang jasad Pierre Tendean yang penuh luka siksaan.
Media itu bahkan memberi bumbu beracun dengan mengatakan, jasad Pierre Tendean sempat dijadikan "barang mainan" oleh para aktivis Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) sebelum dilemparkan ke dalam sumur tua, di kawasan Lubang Buaya.
Untuk menyempurnakan skenarionya, pada 20 Oktober 1965, Harian Api Pantjasila milik IPKI yang berafiliasi dengan militer mengumumkan temuan alat yang digunakan aktivis Gerwani untuk mencungkil mata para jenderal di Lubang Buaya.
Selain menggunakan media massa untuk memompa kemarahan masyarakat terhadap PKI dan seluruh organisasi kiri, pihak militer juga memanfaatkan jaringan sipil mereka untuk memobilisasi massa melakukan perburuan terhadap PKI.
Penggalangan masa antikomunis mulai digalang tidak lama setelah Kudeta Militer 1 Oktober 1965 diumumkan. Beberapa tokoh dari HMI, PII, Gasbindo, Muhammadiyah, dan NU kemudian membentuk kesatuan aksi Komando Aksi Melawan Komunisme.
Kesatuan aksi inilah yang kemudian menjadi Kelompok Aksi Penghancuran Gestapu (KAP-Gestapu). Kesatuan aksi ini mendapat dukungan dari Partai Katolik, PSII, IPKI dan semua organisasi-organisasi massa masing-masing.
Aksi pertama KAP-Gestapu dilakukan pagi hari, pada 4 Oktober 1965. Dalam aksinya, kelompok antikomunis ini memiliki peran yang sangat penting, terutama dalam mempelopori serangan terhadap PKI dan organisasi kiri lainnya di Indonesia.
Hal ini sejalan dengan apa yang diinginkan militer dan Soeharto. Dalam buku otobiografinya, Soeharto menyatakan langkah hemat AD, yakni tidak melibatkan tentara secara langsung dalam berbagai pertentangan-pertentangan yang terjadi.
AD, katanya, hanya akan terlibat pada saat-saat yang tepat dan jika terpaksa. "Saya lebih suka memberikan bantuan kepada rakyat untuk melindungi dirinya sendiri dan membersihkan daerahnya masing-masing dari benih-benih jahat," katanya.
Di Jakarta, serangan terhadap PKI dimulai pada 8 Oktober 1965. Gedung CC PKI dibakar massa, kantor-kantor tiap organisasi yang berafiliasi dengan PKI dan rumah-rumah pemimpin PKI di Jakarta dihancurkan, serta disita.
Menjelang pertengahan Oktober 1965, aksi-aksi kekerasan terhadap PKI mulai bergeser dari Jakarta ke daerah. Aceh merupakan daerah pertama yang banjir darah orang-orang komunis. Disusul kemudian Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sumatera.
Jawa Barat juga termasuk yang terkena amuk massa ini. Begitupun dengan sejumlah daerah lainnya di Indonesia. Perburuan dan pembantaian massal terhadap PKI dan organisasi kirinya terjadi secara serempak di hampir semua daerah Indonesia.
Hingga kini, tidak ada kepastian berapa jumlah korban pembantaian massal itu. Mulai dari yang paling kecil 78.000 jiwa, hingga yang sedang antara 500.000-600.000 jiwa, dan yang tertinggi mencapai angka tiga juta jiwa.
Sementara "sekitar satu juta" kader PKI dan orang-orang yang dituduh PKI ditahan. Antara tahun 1981 dan 1990, pemerintah Indonesia memperkirakan antara 1,6 sampai 1,8 juta mantan tahanan PKI dan mereka yang terkiat PKI ada di masyarakat.
Sampai pertengahan tahun 1970-an, 100.000 orang masih ditahan tanpa adanya proses peradilan. Sampai di sini ulasan singkat Cerita Pagi diakhiri. Semoga memberikan manfaat.
Sumber Tulisan
*G Dwipayana dan Ramadhan KH, Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, PT Citra Lamtoro Gung Persada, Cetakan Kedua, 1989.
*ULF Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967 Menuju Dwi Fungsi ABRI, LP3ES, Cetakan Kedua, November 1988.
*Harsutejo, G30S, Sejarah yang Digelapkan, Tangan Berdarah CIA dan Rejim Suharto, Hasta Mitra, Jakarta, Agustus 2003.
*John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, Hasta Mitra dan Institut Sejarah Sosial Indonesia, Jakarta 2008.
*Eros Djarot, Siapa Sebenarnya Soeharto, Fakta dan Kesaksian Para Pelaku Sejarah G30S/PKI, Mediakita, Cetakan ke-13, 2008.
Baca Juga:
Kebohongan Tari Harum Bunga Gerwani di Lubangbuaya
Menyingkap Rahasia Pembantaian Massal 1965-1966
Daftar Maut CIA dan Pembantaian Massal PKI 1965-1966
Sejauh mana media berhasil menciptakan amuk massa dan menggiring opini masyarakat bahwa PKI sebagai dalang Kudeta Militer 1 Oktober 1965? Berikut ulasan Cerita Pagi.
Semuanya dimulai dengan penculikan dan pembunuhan terhadap enam orang jenderal dan seorang perwira Angkatan Darat (AD) oleh sekelompok tentara yang menamakan dirinya sebagai Gerakan 30 September (G30S), pada 1 Oktober 1965 dini hari.
Sekitar pukul 07.00 Wib, terdengar siaran Radio Republik Indonesia (RRI) tentang G30S yang dikomandoi oleh Letkol Untung. Siaran ini ditangkap langsung oleh Soeharto yang langsung menganggap G30S sebagai suatu pemberontakan.
Lebih jauh, Soeharto langsung menuding PKI sebagai dalang dari pemberontakan itu. Padahal, hingga akhir 1965 dan awal 1966, masih belum ada cukup bukti untuk membenarkan pandangan Soeharto tentang PKI sebagai dalang G30S.
Apalagi dalam siaran RRI Untung mengatakan, "G30S adalah gerakan semata-mata dalam tubuh AD". Politbiro CC-PKI pada 6 Oktober 1965 juga menyatakan, "PKI tidak tahu menahu tentang G30S dan peristiwa itu adalah intern AD".
Sehari setelah G30S, pada 2 Oktober 1965, lokasi pembuangan mayat para jenderal diduga telah diketahui. Baru pada 3 Oktober 1965 mayat-mayat itu siap digali, dan pada 4 Oktober 1965 mayat-mayat itu dievakuasi dari lubang sumur.
Saat pengangkatan mayat, pihak militer memanggil media massa untuk meliput. Dengan dihadiri juru kamera televisi, radio, koran, dan lainnya, pengangkatan mayat para jenderal itu berlangsung sangat dramatis dan menyedihkan.
Tayangan berita pengangkatan mayat ini cepat menyulut emosi masyarakat di daerah. Mereka bahkan mengaitkan foto mayat para jenderal dengan korban Peristiwa Madiun 1948. Secara politis, hal ini berarti dukungan terhadap pihak AD.
Dalam siaran langsung di TVRI dan RRI pukul 15.00 Wib, Soeharto menyatakan, "Ketujuh jenazah Pahlawan Revolusi, enam jenderal dan seorang perwira pertama, ditemukan dalam keadaan tubuh yang jelas penuh luka siksaan".
Pernyataan itu diungkapkan Soeharto selaku Pangkostrad, sesaat setelah pengangkatan jasad para jenderal di Lubang Buaya. Beberapa jam setelah siaran itu, Soeharto membentuk tim forensik untuk memeriksa jasad para jenderal.
Tim forensik yang dibentuk ini terdiri dari dua dokter tentara, yakni Brigjen dr Roebiono Kertopati dan Kolonel dr Frans Patiasina, serta tiga ahli forensik sipil Prof Sutomo Tjokronegoro, dr Liauw Yan Siang dan dr Liem Joe Thay.
Pemeriksaan forensik dilakukan sejak pukul 16.30 Wib hingga 00.30 Wib, di ruang autopsi RSPAD Jakarta. Hasilnya ternyata sangat mengejutkan dan kebalikan dari apa yang telah diucapkan Soeharto di muka TVRI dan corong RRI sebelumnya.
Tim forensik menyatakan, tidak ada bekas luka pada mayat para jenderal akibat siksaan sebelum mereka dibunuh. Anehnya, hasil pemeriksaan tim forensik ini tidak pernah disebarkan oleh Soeharti kepada media dan masyarakat.
Saat mayat para jenderal itu dimakamkan, pada 5 Oktober 1965, tiba-tiba muncul berita bohong di Harian Bersendjata yang menampilkan foto mayat para jenderal yang mulai membusuk dengan narasi seperti yang telah dibangun Soeharto.
Puncak dari kemarahan rakyat yang pertama terhadap PKI terjadi pada 6 Oktober 1965, saat puteri Nasution meninggal dunia akibat luka tembak anak buah Untung. Kematian gadis ini semakin memompa kemarahan masyarakat terhadap G30S.
Pada 9 Oktober 1965, Berita Yudha menurunkan laporan berita bohong yang berisi tentang banyaknya luka sayatan pisau pada jasad Lettu Tendean, mulai dada sebelah kiri dan perutnya, lehernya dipenggal, dan kedua matanya dicungkil keluar.
Berita bohong itu sangat berhasil dalam membakar emosi masyarakat di daerah. Untuk memompa kemarahan rakyat menjadi amuk massa, pada 11 Oktober 1965, Harian Bersendjata kembali menulis tentang jasad Pierre Tendean yang penuh luka siksaan.
Media itu bahkan memberi bumbu beracun dengan mengatakan, jasad Pierre Tendean sempat dijadikan "barang mainan" oleh para aktivis Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) sebelum dilemparkan ke dalam sumur tua, di kawasan Lubang Buaya.
Untuk menyempurnakan skenarionya, pada 20 Oktober 1965, Harian Api Pantjasila milik IPKI yang berafiliasi dengan militer mengumumkan temuan alat yang digunakan aktivis Gerwani untuk mencungkil mata para jenderal di Lubang Buaya.
Selain menggunakan media massa untuk memompa kemarahan masyarakat terhadap PKI dan seluruh organisasi kiri, pihak militer juga memanfaatkan jaringan sipil mereka untuk memobilisasi massa melakukan perburuan terhadap PKI.
Penggalangan masa antikomunis mulai digalang tidak lama setelah Kudeta Militer 1 Oktober 1965 diumumkan. Beberapa tokoh dari HMI, PII, Gasbindo, Muhammadiyah, dan NU kemudian membentuk kesatuan aksi Komando Aksi Melawan Komunisme.
Kesatuan aksi inilah yang kemudian menjadi Kelompok Aksi Penghancuran Gestapu (KAP-Gestapu). Kesatuan aksi ini mendapat dukungan dari Partai Katolik, PSII, IPKI dan semua organisasi-organisasi massa masing-masing.
Aksi pertama KAP-Gestapu dilakukan pagi hari, pada 4 Oktober 1965. Dalam aksinya, kelompok antikomunis ini memiliki peran yang sangat penting, terutama dalam mempelopori serangan terhadap PKI dan organisasi kiri lainnya di Indonesia.
Hal ini sejalan dengan apa yang diinginkan militer dan Soeharto. Dalam buku otobiografinya, Soeharto menyatakan langkah hemat AD, yakni tidak melibatkan tentara secara langsung dalam berbagai pertentangan-pertentangan yang terjadi.
AD, katanya, hanya akan terlibat pada saat-saat yang tepat dan jika terpaksa. "Saya lebih suka memberikan bantuan kepada rakyat untuk melindungi dirinya sendiri dan membersihkan daerahnya masing-masing dari benih-benih jahat," katanya.
Di Jakarta, serangan terhadap PKI dimulai pada 8 Oktober 1965. Gedung CC PKI dibakar massa, kantor-kantor tiap organisasi yang berafiliasi dengan PKI dan rumah-rumah pemimpin PKI di Jakarta dihancurkan, serta disita.
Menjelang pertengahan Oktober 1965, aksi-aksi kekerasan terhadap PKI mulai bergeser dari Jakarta ke daerah. Aceh merupakan daerah pertama yang banjir darah orang-orang komunis. Disusul kemudian Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sumatera.
Jawa Barat juga termasuk yang terkena amuk massa ini. Begitupun dengan sejumlah daerah lainnya di Indonesia. Perburuan dan pembantaian massal terhadap PKI dan organisasi kirinya terjadi secara serempak di hampir semua daerah Indonesia.
Hingga kini, tidak ada kepastian berapa jumlah korban pembantaian massal itu. Mulai dari yang paling kecil 78.000 jiwa, hingga yang sedang antara 500.000-600.000 jiwa, dan yang tertinggi mencapai angka tiga juta jiwa.
Sementara "sekitar satu juta" kader PKI dan orang-orang yang dituduh PKI ditahan. Antara tahun 1981 dan 1990, pemerintah Indonesia memperkirakan antara 1,6 sampai 1,8 juta mantan tahanan PKI dan mereka yang terkiat PKI ada di masyarakat.
Sampai pertengahan tahun 1970-an, 100.000 orang masih ditahan tanpa adanya proses peradilan. Sampai di sini ulasan singkat Cerita Pagi diakhiri. Semoga memberikan manfaat.
Sumber Tulisan
*G Dwipayana dan Ramadhan KH, Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, PT Citra Lamtoro Gung Persada, Cetakan Kedua, 1989.
*ULF Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967 Menuju Dwi Fungsi ABRI, LP3ES, Cetakan Kedua, November 1988.
*Harsutejo, G30S, Sejarah yang Digelapkan, Tangan Berdarah CIA dan Rejim Suharto, Hasta Mitra, Jakarta, Agustus 2003.
*John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, Hasta Mitra dan Institut Sejarah Sosial Indonesia, Jakarta 2008.
*Eros Djarot, Siapa Sebenarnya Soeharto, Fakta dan Kesaksian Para Pelaku Sejarah G30S/PKI, Mediakita, Cetakan ke-13, 2008.
Baca Juga:
Kebohongan Tari Harum Bunga Gerwani di Lubangbuaya
Menyingkap Rahasia Pembantaian Massal 1965-1966
Daftar Maut CIA dan Pembantaian Massal PKI 1965-1966
(san)