Asep dan Segelas Kopi
A
A
A
WAKTU sore yang indah, apalagi hari itu langit tampak cerah. Angin bertiup perlahan membuat daun-daun pohon glodogan seakan mengucapkan selamat datang. Suasana yang indah ini ternyata tak berbias pada wajah-wajah mereka yang ada di aula Makorem 062 Tarumanagara, Garut. Wajah mereka banyak yang tampak lelah, dan sebagiannya gelisah.
Tim relawan PKPU memang baru tiba dari lapangan. Seminggu sudah bencana terjadi, di mana masih diperlukannya koordinasi lanjutan untuk melakukan aksi-aksi penanganan bencana banjir ini, akibat meluapnya Sungai Cimanuk, Garut, Jawa Barat. Sungai yang selama ini jadi urat nadi warga Garut dan telah akrab menemani mereka dari generasi ke generasi.
Begitu tiba di Garut, Tim Rescue PKPU langsung menuju Makorem 062 TN untuk melihat seperti apa kondisi pengungsian sementara yang ada di tempat ini. Sebelumnya lokasi pengungsian ini merupakan aula tempat berlangsungnya acara-acara besar di markas ini.
Di mana-mana namanya tempat pengungsian ya kurang lebih sama. Seadanya dan serba terbatas. Ini pula yang terlihat, ada puluhan velbed atau ranjang tentara yang berjejer rapi memenuhi aula. Velbed ini terutama diisi anak-anak serta ibu-ibu yang mendampingi mereka.
Bapak-bapak dan laki-laki yang lebih dewasa tak banyak yang ada di dalam aula ini. Mungkin sebagian masih di lokasi rumah-rumah yang masih tergenang lumpur banjir atau malah mencoba mengais-ngais sisa barang yang masih tertinggal di reruntuhan rumah mereka.
Tak lama Tim Rescue PKPU berada di aula Makorem, apalagi angin sore yang berhembus dil uar entah kenapa seakan enggan memasuki ruangan aula. Sejumlah ibu-ibu mencoba menggunakan apa saja yang ada, termasuk sobekan kardus bekas untuk mengurangi udara panas sebagai kipas yang membuat gerah dan anak-anak kecil dalam gendongannya semakin gelisah dan kesulitan memejamkan mata.
Kami pergi tak jauh dari pintu masuk. Setelah berkeliling melihat-lihat aula yang tak seberapa luas, akhirnya kami duduk di Posko Dapur Air. Posko ini produk kreativitas teman-teman kami di Program yang sengaja didedikasikan untuk menemani mereka yang memerlukan, di tengah kesulitan memasak dan mencari air hangat. Apalagi untuk sekedar mengurangi stres akibat tekanan kejadian yang mengguncangkan jiwa dan pikiran.
Dapur air yang tampaknya sederhana, amat berguna bagi mereka yang ada di sana. Ketika kami iseng-iseng menghitung. Ternyata kurang dari 30 menit saja sudah ada 26 orang yang datang dan meracik berbagai minuman yang ada.
Dapur air ini pun amat terbuka. Siapapun bisa membuat berbagai minuman yang disukainya. Di sini ada kopi, teh, susu, minuman jahe, serta berbagai makanan kecil gratis. Tinggal datang, mengambil bahan minuman lalu menyeduhnya dan kemudian menikmatinya. Berkali-kalipun tak ada larangan. Ini memang rekreasi terdekat para pengungsi, termasuk anak-anak yang malah lebih sering minta biskuit serta panganan kecil lainnya yang disediakan di meja oleh tim relawan.
Terlihat seorang relawan kami terkantuk-kantuk. Anak muda berkaos merah ini mengenalkan dirinya bernama Asep. Dia datang dari Bandung. Menemani tim yang sebelumnya datang. Tampak matanya yang agak kuyu berat menahan kantuk.
Karena tak tega, akhirnya kami tak jadi mengajaknya bercerita. Kami biarkan dia terlelap sebentar sambil bersandar ditumpukan kopi dan bahan minuman lainnya yang ada dalam kardus besar.
Meski berkali-kali mengusir kantuk dengan meminum kopi, rupanya Asep tak kuasa mengelak dari sergapan kantuk. Dia yang bolak-balik mengambil air, memanaskan, dan dengan ramah melayani yang datang ke dapur air ternyata punya batas maksimal terjaga.
Beginilah sebagian tim relawan kami. Seperti juga para relawan lainnya yang datang. Mereka sosok-sosok sederhana yang tak punya kepentingan lain, selain membantu sesama dan berbuat apa saja yang mereka bisa.
Mereka, para relawan ini tak memikirkan imbalan apalagi penghargaan. Jiwa mereka hanya tahu, bahwa justru karena bukan pahlawan, bukan pula superman, akhirnya mereka bergabung dengan lembaga-lembaga yang bisa menampung tenaga mereka untuk melangkah bersama meringankan masalah yang ada di tempat bencana.
Asep adalah bukti. Sesederhana apapun peran relawan, ternyata berperan besar bagi kebaikan di tengah himpitan persoalan lain yang lebih panjang untuk diselesaikan.
Asep yang kelelahan juga bukti bahwa dunia relawan yang tampak sederhana ternyata juga tak mudah, terutama untuk bisa tersenyum menghadapi para pengungsi dengan beragam gaya dan tingkahnya. Mereka memang punya masalah, namun kadang suka tak ramah, apalagi bila rasa resah mulai mewujud gelisah. (nana/kis/pkpu)
Tim relawan PKPU memang baru tiba dari lapangan. Seminggu sudah bencana terjadi, di mana masih diperlukannya koordinasi lanjutan untuk melakukan aksi-aksi penanganan bencana banjir ini, akibat meluapnya Sungai Cimanuk, Garut, Jawa Barat. Sungai yang selama ini jadi urat nadi warga Garut dan telah akrab menemani mereka dari generasi ke generasi.
Begitu tiba di Garut, Tim Rescue PKPU langsung menuju Makorem 062 TN untuk melihat seperti apa kondisi pengungsian sementara yang ada di tempat ini. Sebelumnya lokasi pengungsian ini merupakan aula tempat berlangsungnya acara-acara besar di markas ini.
Di mana-mana namanya tempat pengungsian ya kurang lebih sama. Seadanya dan serba terbatas. Ini pula yang terlihat, ada puluhan velbed atau ranjang tentara yang berjejer rapi memenuhi aula. Velbed ini terutama diisi anak-anak serta ibu-ibu yang mendampingi mereka.
Bapak-bapak dan laki-laki yang lebih dewasa tak banyak yang ada di dalam aula ini. Mungkin sebagian masih di lokasi rumah-rumah yang masih tergenang lumpur banjir atau malah mencoba mengais-ngais sisa barang yang masih tertinggal di reruntuhan rumah mereka.
Tak lama Tim Rescue PKPU berada di aula Makorem, apalagi angin sore yang berhembus dil uar entah kenapa seakan enggan memasuki ruangan aula. Sejumlah ibu-ibu mencoba menggunakan apa saja yang ada, termasuk sobekan kardus bekas untuk mengurangi udara panas sebagai kipas yang membuat gerah dan anak-anak kecil dalam gendongannya semakin gelisah dan kesulitan memejamkan mata.
Kami pergi tak jauh dari pintu masuk. Setelah berkeliling melihat-lihat aula yang tak seberapa luas, akhirnya kami duduk di Posko Dapur Air. Posko ini produk kreativitas teman-teman kami di Program yang sengaja didedikasikan untuk menemani mereka yang memerlukan, di tengah kesulitan memasak dan mencari air hangat. Apalagi untuk sekedar mengurangi stres akibat tekanan kejadian yang mengguncangkan jiwa dan pikiran.
Dapur air yang tampaknya sederhana, amat berguna bagi mereka yang ada di sana. Ketika kami iseng-iseng menghitung. Ternyata kurang dari 30 menit saja sudah ada 26 orang yang datang dan meracik berbagai minuman yang ada.
Dapur air ini pun amat terbuka. Siapapun bisa membuat berbagai minuman yang disukainya. Di sini ada kopi, teh, susu, minuman jahe, serta berbagai makanan kecil gratis. Tinggal datang, mengambil bahan minuman lalu menyeduhnya dan kemudian menikmatinya. Berkali-kalipun tak ada larangan. Ini memang rekreasi terdekat para pengungsi, termasuk anak-anak yang malah lebih sering minta biskuit serta panganan kecil lainnya yang disediakan di meja oleh tim relawan.
Terlihat seorang relawan kami terkantuk-kantuk. Anak muda berkaos merah ini mengenalkan dirinya bernama Asep. Dia datang dari Bandung. Menemani tim yang sebelumnya datang. Tampak matanya yang agak kuyu berat menahan kantuk.
Karena tak tega, akhirnya kami tak jadi mengajaknya bercerita. Kami biarkan dia terlelap sebentar sambil bersandar ditumpukan kopi dan bahan minuman lainnya yang ada dalam kardus besar.
Meski berkali-kali mengusir kantuk dengan meminum kopi, rupanya Asep tak kuasa mengelak dari sergapan kantuk. Dia yang bolak-balik mengambil air, memanaskan, dan dengan ramah melayani yang datang ke dapur air ternyata punya batas maksimal terjaga.
Beginilah sebagian tim relawan kami. Seperti juga para relawan lainnya yang datang. Mereka sosok-sosok sederhana yang tak punya kepentingan lain, selain membantu sesama dan berbuat apa saja yang mereka bisa.
Mereka, para relawan ini tak memikirkan imbalan apalagi penghargaan. Jiwa mereka hanya tahu, bahwa justru karena bukan pahlawan, bukan pula superman, akhirnya mereka bergabung dengan lembaga-lembaga yang bisa menampung tenaga mereka untuk melangkah bersama meringankan masalah yang ada di tempat bencana.
Asep adalah bukti. Sesederhana apapun peran relawan, ternyata berperan besar bagi kebaikan di tengah himpitan persoalan lain yang lebih panjang untuk diselesaikan.
Asep yang kelelahan juga bukti bahwa dunia relawan yang tampak sederhana ternyata juga tak mudah, terutama untuk bisa tersenyum menghadapi para pengungsi dengan beragam gaya dan tingkahnya. Mereka memang punya masalah, namun kadang suka tak ramah, apalagi bila rasa resah mulai mewujud gelisah. (nana/kis/pkpu)
(poe)