Ketika Iuran RT Berujung ke Mabes Polri
A
A
A
SEMARANG - Masalah tagihan iuran RT di Semarang, Jawa Tengah berbuntut hingga pelaporan ke Mabes Polri. Adalah Setiadi Hadinata warga Jakarta, melaporkan Ketua RT 2/2 Kelurahan Karangayu, Kecamatan Semarang , Semarang Jawa Tengah, Ong Budiono. Alasan Setiadi melaporkan kasus iuran RT ke Mabes Polri karena dia justru digugat balik secara perdata ke PN Semarang sebesar Rp100 juta (materiil) dan Rp1 miliar (imateriil).
Saat ini, Budi—sapaan Ong Budiono—telah ditetapkan tersangka oleh Mabes Polri dengan sangkaan pengancaman dan pemerasan dan melanggar (Pasal 369 KUHP dan Pasal 336 KUHP). Penetapan Budi sebagai tersangka oleh Bareskrim Mabes Polri dalam surat S.Pgl/2019 Subdit-I/VI/2016/Dit Tipidum.
Budi menceritakan kasus ini terjadi pada 2012 ketika Setiadi membeli ruko yang menurutnya berada di wilayah RT2/2 Kelurahan Karangayu, Semarang Barat. Karena berada di wilayahnya, Budi dan warganya menjelaskan adanya iuran rutin, bantuan pembangunan jalan, pembuatan taman, pemasangan CCTV dan sebagainya kepada Setiadi.
Pria ini pun menyanggupi membayar iuran tersebut dan meminta izin untuk membuat pintu belakang yang menghubungkan dengan wilayah kami. “Karena pembangunan itu, tempat sampah yang awalnya ada di belakang rumahnya kami pindah karena lokasi semula mau dibuat akses pintu oleh Setiadi,” kata Budi.
Lebih lanjut Budi mengatakan, Setiadi hanya dua kali mengikuti pertemuan rutin jumpa warga setiap bulannya. Setelah itu, menurut Budi, Setiadi tidak pernah muncul dan tidak pernah membayar uang iuran yang telah disepakati. Total iuran wajib yang tidak dibayar Setiadi sebesar Rp2,5 juta ditambah iuran lain menjadi Rp6,5 juta. Ketika Setiadi memerlukan surat RT, Budi memberitahu tentang tagihan tersebut karena dia menginginkan keadilan karena warga lain juga membayar iuran wajib dan lainnya.
“Setiadi justru mengirimkan surat pernyataan bahwa dirinya bukan warga RT 2, melainkan warga RT 1. Dalam surat itu juga, pihaknya mengatakan bahwa uang yang sudah disumbangkan ke RT 2 tidak perlu dikembalikan. Pernyataan itulah yang membuat kami tersinggung,” terangnya.
Selain tersinggung, menurut Budi, pembangunan ruko milik Setiadi mengakibatkan beberapa fasilitas warga seperti jembatan, bak sampah, saluran air rusak. Budi mengatasnamakan warga kembali mengirimkan surat pemberitahuan yang menyatakan bahwa Setiadi harus tetap membayarkan tunggakan iurannya.
Jika tidak dibayarkan, maka akses pintu belakang rukonya akan ditutup paksa oleh warga. Selain itu, fasilitas yang rusak juga harus dikembalikan seperti semula.
Dari surat itulah, Setiadi kemudian melaporkan hal itu kepada pihak Polsek Semarang Barat dan karena tidak ditanggapi maka Setiadi melaporkan lagi ke Polrestabes Semarang dengan tuduhan ancaman dan pemerasan.
Beberapa warga sempat dimintai keterangen ke Polrestabes Semrang terkait laporan tersebut. Namun, setelah beberapa bulan, Budi tidak mendengar kelanjutan laporan itu dan ternyata laporan tersebut sudah dicabut oleh Setiadi.
Karena pemanggilan warga ke Polrestabes Semarang dianggap telah meresahkan warga, akhirnya Budi dan warga melakukan gugatan perdata ke PN Semarang dan meminta ganti rugi materil sebesar Rp100 juta dan imateril sebesar Rp1 miliar.
“Namun gugatan itu kami kalah baik di tingkat pertama maupun di banding, saat ini kami masih kasasi,” imbuhnya.
Nah, karena laporan perdata ini membuat Setiadi justru melaporkan Budi ke Mabes Polri. Kepada KORAN SINDO, Setiadi mengatakan bahwa dirinya sudah memutuskan menghentikan kasus ini ketika mencabut laporan di Polrestabes Semarang.
Menurut Setiadi, itikad baik dirinya yang ingin menyelesaikan persoalan itu dengan damai justru bertepuk sebelah tangan. Ia justru digugat oleh warga dan Budi secara perdata.
“Saya tidak terima, akhirnya saya gugat balik (rekompensi) dan gugatan dimenangkan oleh saya. Tidak hanya di PN Semarang, di tingkat banding PT juga kami menang. Sekarang memang sedang ditempuh upaya kasasi,” terangnya.
Atas saran kuasa hukumnya, Setiadi melaporkan Budi ke Mabes Polri. ”Sekarang dia (Ong Budiono) sudah ditetapkan sebagai tersangka. Sebentar lagi P21 dan akan disidangkan,” imbuhnya.
Setiadi menjelaskan saat dirinya masuk ke Kota Semarang dan membeli ruko di Jalan Anjasmoro Raya tersebut tidak tahu lokasinya.
Namun dari keterangan warga, dia mendengar jika ruko tersebut masuk wilayah RT 2. Maka, Setiadi saat itu menemui Budi dan menyanggupi membayar uang iuran seperti warga lainnya.
Namun lama kelamaan, menurut Setadi, dia terus diminta untuk membayar uang iuran tersebut. Tak hanya iuran wajib bulanan, namun juga iuran pembangunan aspal jalan dan sebagainya.
”Setelah itu, saya mencoba mencari tahu keberadaan ruko saya sebenarnya. Dan saya terkejut bahwa ternyata ruko yang saya beli itu masuk wilayah RT 1. Hal ini sesuai dengan SPT PBB, surat keterangan kelurahan dan kecamatan yang saya dapat,” imbuhnya.
Mendapat kepastian itu, akhirnya dia mengirimkan surat kepada Budi untuk menjelaskan bahwa ruko miliknya berada di RT 1.
Untuk itu, dia memohon pamit dan mengatakan jika uang yang pernah diberikan kepada RT 2 tidak perlu dikembalikan. Tapi surat tersebut dibalas oleh warga tentang iuran bulanan yang belum dibayar. Setiadi mengaku, warga mengirimkan preman ke ruko miliknya dan mengancam karyawannya.
“Bahkan mereka selain mengancam juga melakukan pengrusakan ruko. Saya punya bukti hal itu di rekaman CCTV ruko saya,” kata Setiadi.
Disinggung upaya damai, Setiadi mengaku jika pihaknya sudah menutup upaya damai tersebut. Hal ini karena pihaknya kecewa dengan langkah yang ditempuh Ong Budiono terkait masalah itu.
”Sekarang sudah di ranah hukum, maka kami tidak akan menarik lagi. Mari diselesaikan di ranah pengadilan dan dibuktikan siapa yang benar siapa yang salah menurut hukum,” tegasnya.
Saat ini, Budi—sapaan Ong Budiono—telah ditetapkan tersangka oleh Mabes Polri dengan sangkaan pengancaman dan pemerasan dan melanggar (Pasal 369 KUHP dan Pasal 336 KUHP). Penetapan Budi sebagai tersangka oleh Bareskrim Mabes Polri dalam surat S.Pgl/2019 Subdit-I/VI/2016/Dit Tipidum.
Budi menceritakan kasus ini terjadi pada 2012 ketika Setiadi membeli ruko yang menurutnya berada di wilayah RT2/2 Kelurahan Karangayu, Semarang Barat. Karena berada di wilayahnya, Budi dan warganya menjelaskan adanya iuran rutin, bantuan pembangunan jalan, pembuatan taman, pemasangan CCTV dan sebagainya kepada Setiadi.
Pria ini pun menyanggupi membayar iuran tersebut dan meminta izin untuk membuat pintu belakang yang menghubungkan dengan wilayah kami. “Karena pembangunan itu, tempat sampah yang awalnya ada di belakang rumahnya kami pindah karena lokasi semula mau dibuat akses pintu oleh Setiadi,” kata Budi.
Lebih lanjut Budi mengatakan, Setiadi hanya dua kali mengikuti pertemuan rutin jumpa warga setiap bulannya. Setelah itu, menurut Budi, Setiadi tidak pernah muncul dan tidak pernah membayar uang iuran yang telah disepakati. Total iuran wajib yang tidak dibayar Setiadi sebesar Rp2,5 juta ditambah iuran lain menjadi Rp6,5 juta. Ketika Setiadi memerlukan surat RT, Budi memberitahu tentang tagihan tersebut karena dia menginginkan keadilan karena warga lain juga membayar iuran wajib dan lainnya.
“Setiadi justru mengirimkan surat pernyataan bahwa dirinya bukan warga RT 2, melainkan warga RT 1. Dalam surat itu juga, pihaknya mengatakan bahwa uang yang sudah disumbangkan ke RT 2 tidak perlu dikembalikan. Pernyataan itulah yang membuat kami tersinggung,” terangnya.
Selain tersinggung, menurut Budi, pembangunan ruko milik Setiadi mengakibatkan beberapa fasilitas warga seperti jembatan, bak sampah, saluran air rusak. Budi mengatasnamakan warga kembali mengirimkan surat pemberitahuan yang menyatakan bahwa Setiadi harus tetap membayarkan tunggakan iurannya.
Jika tidak dibayarkan, maka akses pintu belakang rukonya akan ditutup paksa oleh warga. Selain itu, fasilitas yang rusak juga harus dikembalikan seperti semula.
Dari surat itulah, Setiadi kemudian melaporkan hal itu kepada pihak Polsek Semarang Barat dan karena tidak ditanggapi maka Setiadi melaporkan lagi ke Polrestabes Semarang dengan tuduhan ancaman dan pemerasan.
Beberapa warga sempat dimintai keterangen ke Polrestabes Semrang terkait laporan tersebut. Namun, setelah beberapa bulan, Budi tidak mendengar kelanjutan laporan itu dan ternyata laporan tersebut sudah dicabut oleh Setiadi.
Karena pemanggilan warga ke Polrestabes Semarang dianggap telah meresahkan warga, akhirnya Budi dan warga melakukan gugatan perdata ke PN Semarang dan meminta ganti rugi materil sebesar Rp100 juta dan imateril sebesar Rp1 miliar.
“Namun gugatan itu kami kalah baik di tingkat pertama maupun di banding, saat ini kami masih kasasi,” imbuhnya.
Nah, karena laporan perdata ini membuat Setiadi justru melaporkan Budi ke Mabes Polri. Kepada KORAN SINDO, Setiadi mengatakan bahwa dirinya sudah memutuskan menghentikan kasus ini ketika mencabut laporan di Polrestabes Semarang.
Menurut Setiadi, itikad baik dirinya yang ingin menyelesaikan persoalan itu dengan damai justru bertepuk sebelah tangan. Ia justru digugat oleh warga dan Budi secara perdata.
“Saya tidak terima, akhirnya saya gugat balik (rekompensi) dan gugatan dimenangkan oleh saya. Tidak hanya di PN Semarang, di tingkat banding PT juga kami menang. Sekarang memang sedang ditempuh upaya kasasi,” terangnya.
Atas saran kuasa hukumnya, Setiadi melaporkan Budi ke Mabes Polri. ”Sekarang dia (Ong Budiono) sudah ditetapkan sebagai tersangka. Sebentar lagi P21 dan akan disidangkan,” imbuhnya.
Setiadi menjelaskan saat dirinya masuk ke Kota Semarang dan membeli ruko di Jalan Anjasmoro Raya tersebut tidak tahu lokasinya.
Namun dari keterangan warga, dia mendengar jika ruko tersebut masuk wilayah RT 2. Maka, Setiadi saat itu menemui Budi dan menyanggupi membayar uang iuran seperti warga lainnya.
Namun lama kelamaan, menurut Setadi, dia terus diminta untuk membayar uang iuran tersebut. Tak hanya iuran wajib bulanan, namun juga iuran pembangunan aspal jalan dan sebagainya.
”Setelah itu, saya mencoba mencari tahu keberadaan ruko saya sebenarnya. Dan saya terkejut bahwa ternyata ruko yang saya beli itu masuk wilayah RT 1. Hal ini sesuai dengan SPT PBB, surat keterangan kelurahan dan kecamatan yang saya dapat,” imbuhnya.
Mendapat kepastian itu, akhirnya dia mengirimkan surat kepada Budi untuk menjelaskan bahwa ruko miliknya berada di RT 1.
Untuk itu, dia memohon pamit dan mengatakan jika uang yang pernah diberikan kepada RT 2 tidak perlu dikembalikan. Tapi surat tersebut dibalas oleh warga tentang iuran bulanan yang belum dibayar. Setiadi mengaku, warga mengirimkan preman ke ruko miliknya dan mengancam karyawannya.
“Bahkan mereka selain mengancam juga melakukan pengrusakan ruko. Saya punya bukti hal itu di rekaman CCTV ruko saya,” kata Setiadi.
Disinggung upaya damai, Setiadi mengaku jika pihaknya sudah menutup upaya damai tersebut. Hal ini karena pihaknya kecewa dengan langkah yang ditempuh Ong Budiono terkait masalah itu.
”Sekarang sudah di ranah hukum, maka kami tidak akan menarik lagi. Mari diselesaikan di ranah pengadilan dan dibuktikan siapa yang benar siapa yang salah menurut hukum,” tegasnya.
(sms)