Situs Pasir Lulumpang, Peninggalan Prasejarah yang Terlupakan

Minggu, 14 Agustus 2016 - 05:00 WIB
Situs Pasir Lulumpang,...
Situs Pasir Lulumpang, Peninggalan Prasejarah yang Terlupakan
A A A
Keberadaan lima buah Batu Lumpang yang berlokasi di situs prasejarah punden berundak Pasir Lulumpang Kampung Cimareme, Desa Cimareme, Kecamatan Banyuresmi, Garut, Jawa Barat, seolah terlupakan. Padahal, lima batu di situs yang berdekatan dengan kompleks makam pahlawan Garut, Haji Hasan Arif, itu merupakan contoh salah satu bukti peradaban manusia yang ditinggalkan di zaman megalitikum.

Kelima buah batu ini setidaknya terletak di bukit yang memiliki ketinggian 680 meter dari permukaan laut (mdpl). Keberadaan batu-batu itu seolah tersembunyi.

Berbagai pepohonan yang ditanam warga, membuat lima batu lulumpang yang tersisa luput dari pandangan sejak dari bawah bukit.

Saat KORAN SINDO berkunjung beberapa waktu lalu, Juru Kunci Situs Pasir Lulumpang, Iin, menjelaskan, batu-batu itu disebut lulumpang oleh masyarakat sekitar karena memiliki lubang yang mirip dengan lubang lumpang (tempat menumbuk).

Iin menjelaskan, ukuran satu buah batu yang paling besar, memiliki lubang lumpang yang berdiameter 27 cm. Ukuran batu ini memiliki lebar batu 1,5 meter dan panjang 1,75 meter.

Beberapa buah batu itu terletak pada kemiringan sekitar 45 derajat. "Hanya ada dua buah batu yang terletak di tanah yang datar. Itu juga berada di puncak bukit," tuturnya.

Satu dari empat Batu Lumpang yang ada, lanjutnya, mengalami kerusakan. Iin tidak tahu pasti perihal kerusakan itu.

"Kebenarannya bagaimana saya tidak tahu persis. Namun menurut cerita turun-temurun dari orang tua, satu batu itu rusak karena dihancurkan seorang warga di waktu dulu,” katanya.

Lokasi sebuah batu yang mengalami kerusakan ini sendiri terletak di bawah bukit. Iin menduga, rendahnya lokasi batu berada membuat orang yang tidak bertanggung jawab mudah untuk merusaknya.

"Meski kejadiannya sudah lama, tetap saja di zaman sekarang orang-orang banyak yang belum mengerti apa itu situs prasejarah. Mereka tidak tahu bahwa situs prasejarah harus dilestarikan. Padahal sebenarnya mereka harus ikut merawat, minimalnya tidak merusak," ujarnya.

Menurut Iin, Situs Pasir Lulumpang terletak di tepi sebelah timur laut Rawa Ranca Gabus. Rawa ini, kata dia, membentang di antara beberapa bukit, yaitu bukit Pasir Kiara Payung, Pasir Tengah, Pasir Kolocer, Pasir Astaria, Pasir Luhur, Pasir Gantung, Pasir Tanjung, Pasir Malaka.

"Secara garis besar, undakan batu di Situs Bukit Pasir Lulumpang berjumlah 13 undakan. Menurut Balai Arkeologi Bandung, tempat ini dikenal sebagai lokasi pemujaan orang-orang zaman prasejarah. Kendati demikian, sebagian masyarakat sekitar sini percaya bahwa di bukit ini terdapat aura mistisnya," ungkapnya.

Salah satu contoh, kata dia, pada waktu-waktu tertentu sejumlah warga dari kampung tetangga seperti Kampung Cibudug, Desa Sindang Sari, Kecamatan Leuwigoong, dan Kampung Curug, Desa Kayasari, Kecamatan Banyuresmi, selalu mendengar suara berbagai tabuhan dari bukit tersebut.

"Sudah sering warga dari kampung tetangga datang ke kampung kami untuk menanyakan dari mana sumber kegaduhan ini. Bila didengar arahnya dari mana, selalu terdengar dari arah bukit ini. Namun, ketika didatangi tidak ada. Percaya atau tidak, sebenarnya masih banyak lagi cerita yang berkembang di sini. Tetapi tetap saja, tempat ini merupakan sebuah kawasan peninggalan prasejarah," bebernya.

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Garut dihadapkan dengan kendala dalam menata Situs Pasir Lulumpang tersebut. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Garut Budi Gan Gan berujar, "menata sebuah lokasi menjadi tempat wisata itu memerlukan berbagai aspek. Salah satunya adalah daya tarik."

Situs Pasir Lulumpang, Peninggalan Prasejarah yang Terlupakan


Menurut Budi, pihaknya kesulitan menata Situs Pasir Lulumpang ini agar bisa menarik wisatawan. Kecuali, bila lokasi tersebut terdapat hal lain yang bisa menjadi tujuan pengunjung.

"Cukup sulit menata Pasir Lulumpang tersebut, sebab sebuah lokasi wisata itu harus memiliki daya tarik. Bagaimanapun juga, wisatawan yang datang itu bisa melihat yang menarik. Kalau hanya melihat batu saja, saya akan sangat sulit. Namun kita lihat dulu nanti bagaimana," katanya.

Sementara itu, mantan Kabid Budaya Disbudpar Kabupaten Garut Warjita menjelaskan situs purbakala ini awalnya berupa kebun milik seorang warga yang ditumbuhi pepohonan jati. Kemudian, tambah dia, pemerintah mulai membebaskan lahan milik warga untuk selanjutnya dijadikan lokasi peninggalan sejarah.

"Lahan situs ini memiliki luas 182 tumbak atau sekitar 2.500 meter persegi lebih. Dan, lahan seluas itu sudah dibebaskan agar kami bisa memugar dan merawat situsnya. Karena sebelumnya lahan itu merupakan kebun milik warga yang ditanami jati," katanya.

Situs Pasir Lulumpang, Peninggalan Prasejarah yang Terlupakan


Menurut dia, proses pembebasan lahan telah dilakukan pada tahun 2004. Situs kemudian dipugar pada tahun 2005.

"Semua proses itu ditempuh setelah sebelumnya ada rekomendasi dari hasil studi kelayakan dari pemerintah provinsi yang menyatakan bahwa situs ini memiliki nilai cagar budaya, yaitu peninggalan zaman megalitikum yang berusia kira-kira 4.000 tahun Sebelum Masehi (SM)," ujarnya.

Ia merunutkan, Situs Pasir Lulumpang ini ditemukan pada November 1993 berdasarkan laporan Disbudpar Kabupaten Garut (saat itu masih bernama Kandepdikbud Garut). Pada Juni 1994 dan Februari 1995, tim Balai Arkeologi Bandung melakukan peninjauan ke lokasi situs ini.

"Situs itu mengindikasikan ada tanda kehidupan manusia di masa lalu. Apalagi, lokasinya berdekatan dengan Rawa Gabus. Di zaman megalitikum, tempat itu memiliki fungsi sebagai tempat religius atau pemujaan," katanya.

Warjita menduga, sebenarnya masih ada lagi sejumlah peninggalan prasejarah yang belum terungkap di kawasan yang sama. Biasanya, kata dia, lokasi yang berbukit-bukit dan terletak dengan sumber air, selalu menjadi patokan untuk menelusuri keberadaan peninggalan sejarah yang terpendam.

"Sangat dimungkinkan di daerah itu ada peninggalan prasejarah lain. Tidak hanya itu, kami juga menduga bahwa peninggalan prasejarah serupa terpendam di kawasan Leles. Di sana (Leles), kontur alamnya sama, yakni berbukit-bukit, ada sumber air dari danau atau Situ Cangkuang, dan adanya Candi Cangkuang. Untuk bisa meneliti daerah itu, kita harus membebaskan lahan warga seluas dua hektare. Namun, karena keterbatasan anggaran, rencana ini terpaksa diurungkan."
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1308 seconds (0.1#10.140)