Kisah Karomah Syekh Burhanuddin Ulakan
A
A
A
Syekh Burhanuddin adalah seorang ulama yang berpengaruh di daerah Minangkabau penyebar Islam di Kerajaan Pagaruyung. Dia dikenal sebagai ulama sufi pengamal Tarekat Shatariyah yang melawan penjajahan VOC.
Ulama besar yang bernama asli Pono ini lahir di Pariaman. Ayahnya Pampak Sati Karimun Merah bersuku Koto dan Ibunya Cukuik Bilang Pandai bersuku Guci.
Kehidupan sehari hari si Pono kecil tidak ubahnya seperti anak seusianya yang selalu bejajar dan bermain namun ada kekhususan yang setiap malam diajarkan ayahnya yaitu ilmu kebatinan dan pencak silat. Waktunya banyak dia habiskan di bukit untuk merenung sambil menggembala kerbau dari penggembalaan ini dia mendapat teman akrab bernama Idris.
Sehingga suatu ketika saat menggembala, harimau mengintai untuk memangsanya namun berbekal pelajaran beladiri dari ayahnya si Pono bisa mengusir binatang buas tersebut.
Namun malang baginya urat kakinya putus terkena kuku harimau tersebut. Sehingga akibat peristiwa itu dia menjadi pincang.
Kemudian Pono mendapat kabar ada guru agama di negeri rantau pesisir Minangkabau yaitu seorang ulama dari Mekkah yang terkenal dengan sebutan Tuanku Madinah.
Cerita ini menarik minat Pono maka diutarakanlah niat tersebut pada ayahnya untuk belajar Agama Islam di Tapakis pada Tuanku Madinah.
Melihat semangat anak kesayangannya dan hiba membayangkan anaknya yang selalu diperolok-olok kan temannya karena pincang maka niat tersebut dikabulkan oleh ayahnya untuk pindah sekaligus membuka lapangan usaha di daerah baru.
Karena kecerdasannya dan kemauannya yang kuat dalam mempelajari agama maka dengan cepat Pono berhasil menguasai semua pelajaran yang diberikan Tuanku Madinah. Kemudian Pono disuruhnya pergi berguru ke Aceh menemui Syekh Abdurrauf di Singkil.
Untuk Pono berinisiatif pergi ke Aceh agar bisa menghindari kemarahan masyarakat yang mulai main kasar bahkan ingin membunuhnya karena ajaran Islam tersebut menghalangi adat kebiasaan mereka dalam berjudi dan bersabung ayam.
Dengan bekal keberanian dan keyakinan yang kuat untuk menambah ilmu agama ke Syekh Abdurrauf di Aceh kemudian Pono bertemu dengan empat orang yang juga ingin berguru ke ulama Aceh tersebut.
Adapun teman berempat yang bertemu Pono adalah Datuak Maruhun Panjang dari Padang Gantiang, Batu Sangkar ; Sitarapang dari Kubuang Tigobaleh Solok; M Nasir dari Koto Tengah; Buyuang Mudo dari Bayang Salido Banda Sapuluah.
Akhirnya mereka tiba di Singkil, dan langsung menemui Syekh Abdurrauf di kediamannya sekaligus mengutarakan maksud kedatangan.
Melihat kedatangan Pono, Syekh Abdurrauf teringat akan pesan gurunya bahwa nanti akan ada calon muridnya datang dari arah selatan yang akan menjadi penyuluh agama mewarisi ajarannya. Di mana orang tersebut kakinya cacat namun pintar dan berbudi pekerti yang tinggi.
Maka tanpa ragu sang Mufti langsung menerima kelima orang ini menjadi murid. Latar belakang Pono yang berasal dari keluarga bangsawan dan keahliannya dalam mengolah alam buah pembelajaran keras yang diberi ayahnya sangat berguna diterapkan di pesantren.
Sehingga Syekh Abdurrauf mempercayakan Pono untuk mengurus keperluan pesantren, dari membuat dan memelihara ikan di kolam, berkebun dan ke sawah juga menggembala sapi kepunyaan Sang Syeikh.
Hal itu dia lakukan tanpa membantah karena Pono menyadari dalam ilmu tareqat apapun alirannya dalam menuntut ilmu, “murid dihadapan guru ibarat mayat di tangan orang yang memandikannya”.
Dalam hikayat, suatu hari Syekh Abdurrauf menguji santrinya dengan memanggil dan menyuruh mereka untuk mengambil bejana yang menurut sang Syekh jatuh di WC pesantren yang penuh kotoran manusia.
Dari sekian banyak santri hanya Ponolah yang mau sepenuh hati menyelami WC penuh tinja tersebut tanpa memperhitungkan bau busuk kotoran dan menyerahkannya pada sang guru setelah dia samak dan bersihkan.
Ketika Syekh Abdurrauf dapat undangan ke sebuah pulau maka dia bergegas pergi dengan beberapa santri dan berpesan pada santri yang tinggal agar menyuruh Pono menyusulnya ke pulau tersebut.
Mendapat tugas dari sang guru yang dia junjung tinggi Pono bergegas ke tepi pantai tetapi setiba di tepi pantai dia tidak mendapat sebuah perahupun untuk berangkat ke pulau.
Maka atas izin Allah dengan keyakinan penuh tubuhnya menjadi ringan seringan kapas dan dia bisa berjalan diatas air seakan-akan ada kayu penyangga yang menopangnya saat dia melangkah menuju pulau.
Peristiwa ini disaksikan oleh santri baik dari daratan maupun di seberang pulau sehingga ini menjadi salah satu kekeramatan Pono.
Kejadian serupa juga terjadi disaat Pono sedang membetulkan atap rumah dimana ada potongan kayu terjatuh dan akan mengenai anak gadis sang guru maka dengan seketika Pono melayang ke bawah untuk menyambut kayu tersebut.
Salah satu peristiwa mashur yang menjadi pegangan kaum sufi adalah disaat Pono diuji keimanannya akan godaan wanita.
Saat itu Pono disuruh menjaga anak gadis sang guru yang lagi mekar-mekarnya di rumah sementara Syekh Abdurrauf pergi memenuhi undangan panggilan kerajaan. Kiranya bangkitlah nafsunya melihat anak sang guru yang sedang ranum.
Namun untuk melawan nafsunya sendiri dia mengambil keputusan yang sangat mahal dengan pergi menjauh dan memukul alat kelaminnya dengan batu.
Bagi Pono dari pada jadi budak nafsu setan dan menjadi orang terbuang di dunia dan di akhirat lebih baik menghukum alat kelamin yang menjadi sumber pemicu pelampiasan hawa nafsu.
Cukup lama Pono menderita penyakit akibat cidera alat kelaminnya dan ketika sembuh dia tetap melakukan tugas semula seperti melayani kebutuhan santri dengan bijak. Hal inilah yang membuat Syekh Abdurrauf menjadi lebih perhatian padanya.
Karena minat serta perhatiannya sungguh luar biasa apalagi diikuti dengan daya ingatnya yang tinggi membuat Pono termasuk murid yang terpandai di antara santri lainnya.
Suatu ketika Pono dibawa Syekh Abdurrauf ke surau besar dan kemudian menyuruhnya membuka lembaran kitab dan Syekh Abdurrauf mengajarkannya sekali dan kenyataannya seluruh isi dari kitab tersebut telah dikuasai oleh Pono.
Hingga akhirnya berhasil lulus dengan baik dan sempurna. Lalu Pono ini menyendiri (berkhalwat) selama 40 hari di gua hulu Sungai Aceh, di kaki Gunung Peusangan.
Setelah dirasa cukup menerima ilmu pengetahuan dari Syekh Abdurrauf maka tibalah saatnya Pono dikembalikan ke Pariaman guna mengembangkan agama yang dia pelajari selama ini. Dengan begitu Syekh Abdurrauf memberinya gelar Syekh Burhanuddin.
Syekh Burhanuddin dilepas Syekh Abdurrauf dengan disertai 70 orang yang akan mengawalnya selama dalam perjalanan. Rombongan ini dipimpin oleh Panglima yang bernama Katib Sangko.
Alasan Syekh Abdurrauf membekali Syekh Burhanuddin pengawal karena dia yakin nanti akan mendapat tantangan berat sebab kala itu masyarakat Pariaman masih kental memeluk agama Hindu Budha sehingga banyak tukang –tukang sihir akan merintangi karena mereka tidak senang kesenangannya di usik dan ganti.
Akhirnya rombongan Syekh Burhanuddin tiba di Pulau Angso dimuka Pantai Pariaman. Tibanya Syekh Burhanuddin menyulut kemarahan para tukang sihir di tempat itu sehingga mereka mengeluarkan segala kepandaiannya untuk mengusir rombongan Syekh Burhanuddin.
Sehingga terjadilah perkelahian yang memakan banyak korban baik dari rombongan Katik Sangko maupun pihak penyihir.
Tempat tersebut kemudian dikenal dengan nama Ulakan yaitu tempat penolakan kedatangan Rombongan Syekh Burhanuddin.
Berita perkelahian yang memakan korban ini sampai ke para jagoan di Tujuh Koto sehingga mereka segera menyusul untuk menangkap Katib Sangko. Namun rombongan Katib Sangko sangat kuat sehingga para jagoan tersebut tewas.
Peristiwa ini membuat Kalik-Kalik jantan seorang tokoh masyarakat setempat gelap mata sementara rombongan Katib Sangko juga banyak yang tewas.
Karena mengetahui Kalik-kalik jantan kebal terhadap senjata tajam akhirnya Katib Sangko yang melapor pada Syekh Burhanuddin.
Oleh Syeikh Burhanuddin, Katik Sangko disuruh melapor pada Syekh Abdurrauf tentang kejadian ini. Oleh Syekh Abdurrauf Katik sangko diajarkan cara menghilangkan ilmu kebal Kalik-kalik Jantan.
Setelah tiba di Pulau Angso, Syekh Burhanuddin memerintahkan kembali menyerang dari Pantai Pariaman di pagi hari maka pertempuran kembali pecah dan kali ini Kalik Kalik Jantan akhirnya terbunuh oleh Katik Sangko.
Tewasnya Kalik-kalik jantan berdampak pada menyerahnya pengikut Kalik-kalik jantan di seluruh Pariaman selanjutnya Katib Sangko dinobatkan menjadi Mufti di Tandikek.
Setelah merasa aman Syekh Burhanuddin mulai mencari informasi tentang keberadaan kawan karibnya yang kiranya telah diangkat menjadi pemuka masyarakat dengan gelar Majolelo.
Maka melalui nelayan yang singgah di pulau Syekh Burhanuddin mengirim pesan pada Idris bahwa dia adalah si Pono yang dahulu pergi belajar ke Aceh.
Mendapat informasi bahwa yang datang adalah Pono yang kini bergelar Syekh Burhanuddin maka Idris Majolelo mengajak ninik mamak, pemuka adat sanak kerabat dan tokoh masyarakat untuk menjemputnya.
Sebagai tanda kenang-kenangan kembali dari menuntut ilmu, Syekh Burhanuddin menanam ranting pinago biru yang dibawa dari Aceh. Beliau berpesan kepada Idris Majo Lelo bila ajal sampai kelak dia minta dikuburkan dekat pinago biru ini.
Untuk memudahkan pengembangan syiar agama Syeikh Burhanuddin meminta masyarakat agar membawa anaknya ke surau untuk bermain bersamanya. Disinilah cikal bakal pengembangan ilmu agama yang dilakukan oleh Syekh Burhanuddin.
Sistim pembelajaran yang dilakukan Syekh Burhanuddin tidak seperti biasa, dia melakukannya sambil bermain, semua Permainan yang ada dimasyarakat saat itu dia ikuti, dari Sepak Rago, main gundu dan layang-layang semua dilakoninya namun setiap memulai permain dia selalu membaca basmallah dan doa-doa lain yang membuat dia menang.
Hal ini menimbulkan minat anak –anak untuk mengetahui dan belajar apa isi doa yang dibaca Syekh Burhanuddin menjadi tinggi.
Untuk menyebarkan ajaran Islam ke seluruh pelosok Minangkabau cara yang dilakukan Syeikh Burhanuddin meniru cara gurunya Syekh Abdurrauf, dengan kuasa dan restu Raja Pagaruyung.
Maka Syekh Burhanuddin dan pengikutnya diberikan wewenang seluas-luasnya mengembangkan agama Islam di seluruh Minangkabau.
Tahun 1692 Syekh Burhanuddin berpulang ke Rahmatullah dalam usia 85 tahun, kematiannya menimbulkan misteri hingga kini karena setelah jasadnya saat dikapani dan hendak dikubur di samping Surau Tanjung Medan raib.
Konon menurut cerita tak lama berselang tersebarlah kabar bahwa ada masyarakat yang melihat dan mendengar ada cahaya yang diiringi suara gandangtasa terbang melayangdan turun di dekat pohon Pinago Biru maka dinisbatkanlah lokasi tersebut adalah makam Syekh Burhanuddin sesuai wasiatnya dulu.
Sumber :
- pariamannews
- wikipedia dan diolah dari berbagai sumber
Ulama besar yang bernama asli Pono ini lahir di Pariaman. Ayahnya Pampak Sati Karimun Merah bersuku Koto dan Ibunya Cukuik Bilang Pandai bersuku Guci.
Kehidupan sehari hari si Pono kecil tidak ubahnya seperti anak seusianya yang selalu bejajar dan bermain namun ada kekhususan yang setiap malam diajarkan ayahnya yaitu ilmu kebatinan dan pencak silat. Waktunya banyak dia habiskan di bukit untuk merenung sambil menggembala kerbau dari penggembalaan ini dia mendapat teman akrab bernama Idris.
Sehingga suatu ketika saat menggembala, harimau mengintai untuk memangsanya namun berbekal pelajaran beladiri dari ayahnya si Pono bisa mengusir binatang buas tersebut.
Namun malang baginya urat kakinya putus terkena kuku harimau tersebut. Sehingga akibat peristiwa itu dia menjadi pincang.
Kemudian Pono mendapat kabar ada guru agama di negeri rantau pesisir Minangkabau yaitu seorang ulama dari Mekkah yang terkenal dengan sebutan Tuanku Madinah.
Cerita ini menarik minat Pono maka diutarakanlah niat tersebut pada ayahnya untuk belajar Agama Islam di Tapakis pada Tuanku Madinah.
Melihat semangat anak kesayangannya dan hiba membayangkan anaknya yang selalu diperolok-olok kan temannya karena pincang maka niat tersebut dikabulkan oleh ayahnya untuk pindah sekaligus membuka lapangan usaha di daerah baru.
Karena kecerdasannya dan kemauannya yang kuat dalam mempelajari agama maka dengan cepat Pono berhasil menguasai semua pelajaran yang diberikan Tuanku Madinah. Kemudian Pono disuruhnya pergi berguru ke Aceh menemui Syekh Abdurrauf di Singkil.
Untuk Pono berinisiatif pergi ke Aceh agar bisa menghindari kemarahan masyarakat yang mulai main kasar bahkan ingin membunuhnya karena ajaran Islam tersebut menghalangi adat kebiasaan mereka dalam berjudi dan bersabung ayam.
Dengan bekal keberanian dan keyakinan yang kuat untuk menambah ilmu agama ke Syekh Abdurrauf di Aceh kemudian Pono bertemu dengan empat orang yang juga ingin berguru ke ulama Aceh tersebut.
Adapun teman berempat yang bertemu Pono adalah Datuak Maruhun Panjang dari Padang Gantiang, Batu Sangkar ; Sitarapang dari Kubuang Tigobaleh Solok; M Nasir dari Koto Tengah; Buyuang Mudo dari Bayang Salido Banda Sapuluah.
Akhirnya mereka tiba di Singkil, dan langsung menemui Syekh Abdurrauf di kediamannya sekaligus mengutarakan maksud kedatangan.
Melihat kedatangan Pono, Syekh Abdurrauf teringat akan pesan gurunya bahwa nanti akan ada calon muridnya datang dari arah selatan yang akan menjadi penyuluh agama mewarisi ajarannya. Di mana orang tersebut kakinya cacat namun pintar dan berbudi pekerti yang tinggi.
Maka tanpa ragu sang Mufti langsung menerima kelima orang ini menjadi murid. Latar belakang Pono yang berasal dari keluarga bangsawan dan keahliannya dalam mengolah alam buah pembelajaran keras yang diberi ayahnya sangat berguna diterapkan di pesantren.
Sehingga Syekh Abdurrauf mempercayakan Pono untuk mengurus keperluan pesantren, dari membuat dan memelihara ikan di kolam, berkebun dan ke sawah juga menggembala sapi kepunyaan Sang Syeikh.
Hal itu dia lakukan tanpa membantah karena Pono menyadari dalam ilmu tareqat apapun alirannya dalam menuntut ilmu, “murid dihadapan guru ibarat mayat di tangan orang yang memandikannya”.
Dalam hikayat, suatu hari Syekh Abdurrauf menguji santrinya dengan memanggil dan menyuruh mereka untuk mengambil bejana yang menurut sang Syekh jatuh di WC pesantren yang penuh kotoran manusia.
Dari sekian banyak santri hanya Ponolah yang mau sepenuh hati menyelami WC penuh tinja tersebut tanpa memperhitungkan bau busuk kotoran dan menyerahkannya pada sang guru setelah dia samak dan bersihkan.
Ketika Syekh Abdurrauf dapat undangan ke sebuah pulau maka dia bergegas pergi dengan beberapa santri dan berpesan pada santri yang tinggal agar menyuruh Pono menyusulnya ke pulau tersebut.
Mendapat tugas dari sang guru yang dia junjung tinggi Pono bergegas ke tepi pantai tetapi setiba di tepi pantai dia tidak mendapat sebuah perahupun untuk berangkat ke pulau.
Maka atas izin Allah dengan keyakinan penuh tubuhnya menjadi ringan seringan kapas dan dia bisa berjalan diatas air seakan-akan ada kayu penyangga yang menopangnya saat dia melangkah menuju pulau.
Peristiwa ini disaksikan oleh santri baik dari daratan maupun di seberang pulau sehingga ini menjadi salah satu kekeramatan Pono.
Kejadian serupa juga terjadi disaat Pono sedang membetulkan atap rumah dimana ada potongan kayu terjatuh dan akan mengenai anak gadis sang guru maka dengan seketika Pono melayang ke bawah untuk menyambut kayu tersebut.
Salah satu peristiwa mashur yang menjadi pegangan kaum sufi adalah disaat Pono diuji keimanannya akan godaan wanita.
Saat itu Pono disuruh menjaga anak gadis sang guru yang lagi mekar-mekarnya di rumah sementara Syekh Abdurrauf pergi memenuhi undangan panggilan kerajaan. Kiranya bangkitlah nafsunya melihat anak sang guru yang sedang ranum.
Namun untuk melawan nafsunya sendiri dia mengambil keputusan yang sangat mahal dengan pergi menjauh dan memukul alat kelaminnya dengan batu.
Bagi Pono dari pada jadi budak nafsu setan dan menjadi orang terbuang di dunia dan di akhirat lebih baik menghukum alat kelamin yang menjadi sumber pemicu pelampiasan hawa nafsu.
Cukup lama Pono menderita penyakit akibat cidera alat kelaminnya dan ketika sembuh dia tetap melakukan tugas semula seperti melayani kebutuhan santri dengan bijak. Hal inilah yang membuat Syekh Abdurrauf menjadi lebih perhatian padanya.
Karena minat serta perhatiannya sungguh luar biasa apalagi diikuti dengan daya ingatnya yang tinggi membuat Pono termasuk murid yang terpandai di antara santri lainnya.
Suatu ketika Pono dibawa Syekh Abdurrauf ke surau besar dan kemudian menyuruhnya membuka lembaran kitab dan Syekh Abdurrauf mengajarkannya sekali dan kenyataannya seluruh isi dari kitab tersebut telah dikuasai oleh Pono.
Hingga akhirnya berhasil lulus dengan baik dan sempurna. Lalu Pono ini menyendiri (berkhalwat) selama 40 hari di gua hulu Sungai Aceh, di kaki Gunung Peusangan.
Setelah dirasa cukup menerima ilmu pengetahuan dari Syekh Abdurrauf maka tibalah saatnya Pono dikembalikan ke Pariaman guna mengembangkan agama yang dia pelajari selama ini. Dengan begitu Syekh Abdurrauf memberinya gelar Syekh Burhanuddin.
Syekh Burhanuddin dilepas Syekh Abdurrauf dengan disertai 70 orang yang akan mengawalnya selama dalam perjalanan. Rombongan ini dipimpin oleh Panglima yang bernama Katib Sangko.
Alasan Syekh Abdurrauf membekali Syekh Burhanuddin pengawal karena dia yakin nanti akan mendapat tantangan berat sebab kala itu masyarakat Pariaman masih kental memeluk agama Hindu Budha sehingga banyak tukang –tukang sihir akan merintangi karena mereka tidak senang kesenangannya di usik dan ganti.
Akhirnya rombongan Syekh Burhanuddin tiba di Pulau Angso dimuka Pantai Pariaman. Tibanya Syekh Burhanuddin menyulut kemarahan para tukang sihir di tempat itu sehingga mereka mengeluarkan segala kepandaiannya untuk mengusir rombongan Syekh Burhanuddin.
Sehingga terjadilah perkelahian yang memakan banyak korban baik dari rombongan Katik Sangko maupun pihak penyihir.
Tempat tersebut kemudian dikenal dengan nama Ulakan yaitu tempat penolakan kedatangan Rombongan Syekh Burhanuddin.
Berita perkelahian yang memakan korban ini sampai ke para jagoan di Tujuh Koto sehingga mereka segera menyusul untuk menangkap Katib Sangko. Namun rombongan Katib Sangko sangat kuat sehingga para jagoan tersebut tewas.
Peristiwa ini membuat Kalik-Kalik jantan seorang tokoh masyarakat setempat gelap mata sementara rombongan Katib Sangko juga banyak yang tewas.
Karena mengetahui Kalik-kalik jantan kebal terhadap senjata tajam akhirnya Katib Sangko yang melapor pada Syekh Burhanuddin.
Oleh Syeikh Burhanuddin, Katik Sangko disuruh melapor pada Syekh Abdurrauf tentang kejadian ini. Oleh Syekh Abdurrauf Katik sangko diajarkan cara menghilangkan ilmu kebal Kalik-kalik Jantan.
Setelah tiba di Pulau Angso, Syekh Burhanuddin memerintahkan kembali menyerang dari Pantai Pariaman di pagi hari maka pertempuran kembali pecah dan kali ini Kalik Kalik Jantan akhirnya terbunuh oleh Katik Sangko.
Tewasnya Kalik-kalik jantan berdampak pada menyerahnya pengikut Kalik-kalik jantan di seluruh Pariaman selanjutnya Katib Sangko dinobatkan menjadi Mufti di Tandikek.
Setelah merasa aman Syekh Burhanuddin mulai mencari informasi tentang keberadaan kawan karibnya yang kiranya telah diangkat menjadi pemuka masyarakat dengan gelar Majolelo.
Maka melalui nelayan yang singgah di pulau Syekh Burhanuddin mengirim pesan pada Idris bahwa dia adalah si Pono yang dahulu pergi belajar ke Aceh.
Mendapat informasi bahwa yang datang adalah Pono yang kini bergelar Syekh Burhanuddin maka Idris Majolelo mengajak ninik mamak, pemuka adat sanak kerabat dan tokoh masyarakat untuk menjemputnya.
Sebagai tanda kenang-kenangan kembali dari menuntut ilmu, Syekh Burhanuddin menanam ranting pinago biru yang dibawa dari Aceh. Beliau berpesan kepada Idris Majo Lelo bila ajal sampai kelak dia minta dikuburkan dekat pinago biru ini.
Untuk memudahkan pengembangan syiar agama Syeikh Burhanuddin meminta masyarakat agar membawa anaknya ke surau untuk bermain bersamanya. Disinilah cikal bakal pengembangan ilmu agama yang dilakukan oleh Syekh Burhanuddin.
Sistim pembelajaran yang dilakukan Syekh Burhanuddin tidak seperti biasa, dia melakukannya sambil bermain, semua Permainan yang ada dimasyarakat saat itu dia ikuti, dari Sepak Rago, main gundu dan layang-layang semua dilakoninya namun setiap memulai permain dia selalu membaca basmallah dan doa-doa lain yang membuat dia menang.
Hal ini menimbulkan minat anak –anak untuk mengetahui dan belajar apa isi doa yang dibaca Syekh Burhanuddin menjadi tinggi.
Untuk menyebarkan ajaran Islam ke seluruh pelosok Minangkabau cara yang dilakukan Syeikh Burhanuddin meniru cara gurunya Syekh Abdurrauf, dengan kuasa dan restu Raja Pagaruyung.
Maka Syekh Burhanuddin dan pengikutnya diberikan wewenang seluas-luasnya mengembangkan agama Islam di seluruh Minangkabau.
Tahun 1692 Syekh Burhanuddin berpulang ke Rahmatullah dalam usia 85 tahun, kematiannya menimbulkan misteri hingga kini karena setelah jasadnya saat dikapani dan hendak dikubur di samping Surau Tanjung Medan raib.
Konon menurut cerita tak lama berselang tersebarlah kabar bahwa ada masyarakat yang melihat dan mendengar ada cahaya yang diiringi suara gandangtasa terbang melayangdan turun di dekat pohon Pinago Biru maka dinisbatkanlah lokasi tersebut adalah makam Syekh Burhanuddin sesuai wasiatnya dulu.
Sumber :
- pariamannews
- wikipedia dan diolah dari berbagai sumber
(sms)