Syekh Muhammad Djamil Djambek, Ulama Besar Minangkabau
A
A
A
Di antara sekian banyak ulama asal Minangkabau, tersebutlah nama Syekh Muhammad Djamil Djambek. Siapa dia?
Nama Syekh Muhammad Djamil Djambek disebut Mohammad Hatta dalam buku Untuk Negeriku, Sebuah Otobiografi (Penerbit Buku Kompas).
Hatta menyebut Syekh Muhammad Djamil Djambek seorang ulama besar yang terkenal sampai ke luar daerah. Beliaulah yang pertama kali membimbing langkah Hatta ke jalan pengetahuan Islam.
Syekh Muhammad Djamil Djambek lahir tahun 1860 di Bukittinggi. Dia adalah anak dari Muhammad Saleh Datuk Maleka, Kepala Nagari Kurai. Ibunya berasal dari Betawi, ada juga yang menyebutnya dari Sunda.
Dikutip dari Wikipedia, Syekh Muhammad Djamil Djambek menempuh pendidikan dasar di Sekolah Rendah yang khusus mempersiapkan pelajar untuk masuk ke sekolah guru. Dia diajak ke Mekkah oleh ayahnya pada usia 22 tahun untuk menimba ilmu.
Saat tinggal di Mekkah, dia berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Selama di Tanah Suci, banyak ilmu agama yang dia dapatkan, antara lain yang dipelajari secara intensif adalah tentang ilmu tarekat serta memasuki suluk di Jabal Abu Qubais.
Dengan pendalaman tersebut, Syekh Muhammad Djamil Djambek menjadi seorang ahli tarekat dan bahkan memperoleh ijazah dari Tarekat Naqsyabandiyah-Khalidiyah. Namun, dari semua ilmu yang pernah didalami, yang pada akhirnya membuatnya terkenal adalah tentang ilmu falak.
Keahliannya di bidang ilmu falak mendapat pengakuan luas di Mekkah. Karena itu, saat berada di Tanah Suci, Syekh Muhammad Djamil Djambek pun mengajarkan ilmunya itu kepada para penuntut ilmu dari Minangkabau yang belajar di Mekkah, seperti Ibrahim Musa Parabek (pendiri perguruan Tawalib Parabek) serta Syekh Abbas Abdullah (pendiri perguruan Tawalib Padang Japang Lima Puluh Kota).
Tahun 1903, Syekh Muhammad Djamil Djambek kembali ke Tanah Air. Dia pun memilih mengamalkan ilmunya secara langsung kepada masyarakat dengan mengajarkan ilmu tentang ketauhidan dan mengaji.
Di antara murid-muridnya terdapat beberapa guru tarekat. Karena itu, Syekh Muhammad Jambek dihormati sebagai Syekh Tarekat.
Setelah beberapa lama, Syekh Muhammad Djamil Djambek berpikir melakukan kegiatan alternatif. Hatinya memang lebih condong untuk memberikan pengetahuannya, walaupun tidak melalui lembaga atau organisasi. Dia begitu tertarik pada usaha meningkatkan keimanan seseorang.
Dia lalu mendirikan dua buah surau, yakni Surau Tengah Sawah dan Surau Kamang. Keduanya dikenal sebagai Surau Inyik Jambek. Di Surau Tengah Sawah inilah Mohammad Hatta atau Bung Hatta belajar mengaji.
Kiprah Syekh Muhammad Djamil Djambek mampu memberikan warna baru di bidang kegiatan keagamaan di Minangkabau. Syekh Muhammad Djamil Djambek dikenal sebagai ulama yang pertama kali memperkenalkan cara bertablig di muka umum.
Barzanji (rawi) atau marhaban (puji-pujian) yang biasanya dibacakan di surau-surau saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, digantinya dengan tablig yang menceritakan riwayat lahir Nabi Muhammad dalam bahasa Melayu.
Kebiasaan membaca riwayat Isra Mikraj Nabi Muhammad SAW dari kitab berbahasa Arab digantinya dengan tablig yang menceritakan peristiwa tersebut dalam bahasa Melayu.
Termasuk juga tradisi membaca kitab, digantinya dengan membahas masalah kehidupan sehari-hari. Menurutnya, semua itu dilakukan karena agama diperuntukkan bagi siapa saja yang dapat memahaminya. Ia pun dikenal sebagai ulama yang lebih bergiat di aktivitas tablig dan ceramah.
Seiring perjalanan waktu, sikap dan pandangannya terhadap tarekat mulai berubah. Syekh Muhammad Djamil Djambek kemudian tidak lagi tertarik pada tarekat. Pada awal tahun 1905, ketika diadakan pertemuan ulama guna membahas keabsahan tarekat yang berlangsung di Bukit Surungan, Padang Panjang, Syekh Muhammad Djamil Djambek berada di pihak yang menentang tarekat. Dia berseberangan dengan Syekh Bayang dan Haji Abbas yang membela tarekat.
Djamil Djambek juga disebut menyusun jadwal waktu sembahyang serta untuk keperluan berpuasa di dalam bulan Ramadhan. Karena itu, dia dikenal sebagai Bapak Ilmu Falak.
Syekh Muhammad Djamil Djambek juga tercatat sebagai pendiri Persatuan Guru Agama Islam pada 1911 di Padang. Pada tahun 1913, Syeikh Muhammad Djamil Djambek mendirikan Barisan Fisabilillah untuk melatih kaum muda mengusir penjajahan Belanda.
Tahun 1929, Syekh Muhammad Djamil Djambek mendirikan organisasi Persatuan Kebangsaan Minangkabau yang bertujuan memelihara, menghargai, dan mencintai adat istiadat setempat sekaligus untuk memelihara dan mengusahakan agar Islam terhindar dari bahaya yang dapat merusaknya.
Dia juga turut menghadiri kongres pertama Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau tahun 1939. Pada masa pendudukan Jepang, Syekh Muhammad Djamil Djambek mendirikan Majelis Islam Tinggi (MIT) berpusat di Bukittinggi. Pascakemerdekaan RI, ketika organisasi ini berubah menjadi organisasi politik, Syekh Muhammad Djamil Djambek memilih mundur.
Syekh Muhammad Djamil Djambek wafat pada 30 Desember 1947. Dia dimakamkan di samping suraunya di Tengah Sawah Bukittinggi.
Sumber: id.wikipedia.org dan sumber lainnya.
Nama Syekh Muhammad Djamil Djambek disebut Mohammad Hatta dalam buku Untuk Negeriku, Sebuah Otobiografi (Penerbit Buku Kompas).
Hatta menyebut Syekh Muhammad Djamil Djambek seorang ulama besar yang terkenal sampai ke luar daerah. Beliaulah yang pertama kali membimbing langkah Hatta ke jalan pengetahuan Islam.
Syekh Muhammad Djamil Djambek lahir tahun 1860 di Bukittinggi. Dia adalah anak dari Muhammad Saleh Datuk Maleka, Kepala Nagari Kurai. Ibunya berasal dari Betawi, ada juga yang menyebutnya dari Sunda.
Dikutip dari Wikipedia, Syekh Muhammad Djamil Djambek menempuh pendidikan dasar di Sekolah Rendah yang khusus mempersiapkan pelajar untuk masuk ke sekolah guru. Dia diajak ke Mekkah oleh ayahnya pada usia 22 tahun untuk menimba ilmu.
Saat tinggal di Mekkah, dia berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Selama di Tanah Suci, banyak ilmu agama yang dia dapatkan, antara lain yang dipelajari secara intensif adalah tentang ilmu tarekat serta memasuki suluk di Jabal Abu Qubais.
Dengan pendalaman tersebut, Syekh Muhammad Djamil Djambek menjadi seorang ahli tarekat dan bahkan memperoleh ijazah dari Tarekat Naqsyabandiyah-Khalidiyah. Namun, dari semua ilmu yang pernah didalami, yang pada akhirnya membuatnya terkenal adalah tentang ilmu falak.
Keahliannya di bidang ilmu falak mendapat pengakuan luas di Mekkah. Karena itu, saat berada di Tanah Suci, Syekh Muhammad Djamil Djambek pun mengajarkan ilmunya itu kepada para penuntut ilmu dari Minangkabau yang belajar di Mekkah, seperti Ibrahim Musa Parabek (pendiri perguruan Tawalib Parabek) serta Syekh Abbas Abdullah (pendiri perguruan Tawalib Padang Japang Lima Puluh Kota).
Tahun 1903, Syekh Muhammad Djamil Djambek kembali ke Tanah Air. Dia pun memilih mengamalkan ilmunya secara langsung kepada masyarakat dengan mengajarkan ilmu tentang ketauhidan dan mengaji.
Di antara murid-muridnya terdapat beberapa guru tarekat. Karena itu, Syekh Muhammad Jambek dihormati sebagai Syekh Tarekat.
Setelah beberapa lama, Syekh Muhammad Djamil Djambek berpikir melakukan kegiatan alternatif. Hatinya memang lebih condong untuk memberikan pengetahuannya, walaupun tidak melalui lembaga atau organisasi. Dia begitu tertarik pada usaha meningkatkan keimanan seseorang.
Dia lalu mendirikan dua buah surau, yakni Surau Tengah Sawah dan Surau Kamang. Keduanya dikenal sebagai Surau Inyik Jambek. Di Surau Tengah Sawah inilah Mohammad Hatta atau Bung Hatta belajar mengaji.
Kiprah Syekh Muhammad Djamil Djambek mampu memberikan warna baru di bidang kegiatan keagamaan di Minangkabau. Syekh Muhammad Djamil Djambek dikenal sebagai ulama yang pertama kali memperkenalkan cara bertablig di muka umum.
Barzanji (rawi) atau marhaban (puji-pujian) yang biasanya dibacakan di surau-surau saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, digantinya dengan tablig yang menceritakan riwayat lahir Nabi Muhammad dalam bahasa Melayu.
Kebiasaan membaca riwayat Isra Mikraj Nabi Muhammad SAW dari kitab berbahasa Arab digantinya dengan tablig yang menceritakan peristiwa tersebut dalam bahasa Melayu.
Termasuk juga tradisi membaca kitab, digantinya dengan membahas masalah kehidupan sehari-hari. Menurutnya, semua itu dilakukan karena agama diperuntukkan bagi siapa saja yang dapat memahaminya. Ia pun dikenal sebagai ulama yang lebih bergiat di aktivitas tablig dan ceramah.
Seiring perjalanan waktu, sikap dan pandangannya terhadap tarekat mulai berubah. Syekh Muhammad Djamil Djambek kemudian tidak lagi tertarik pada tarekat. Pada awal tahun 1905, ketika diadakan pertemuan ulama guna membahas keabsahan tarekat yang berlangsung di Bukit Surungan, Padang Panjang, Syekh Muhammad Djamil Djambek berada di pihak yang menentang tarekat. Dia berseberangan dengan Syekh Bayang dan Haji Abbas yang membela tarekat.
Djamil Djambek juga disebut menyusun jadwal waktu sembahyang serta untuk keperluan berpuasa di dalam bulan Ramadhan. Karena itu, dia dikenal sebagai Bapak Ilmu Falak.
Syekh Muhammad Djamil Djambek juga tercatat sebagai pendiri Persatuan Guru Agama Islam pada 1911 di Padang. Pada tahun 1913, Syeikh Muhammad Djamil Djambek mendirikan Barisan Fisabilillah untuk melatih kaum muda mengusir penjajahan Belanda.
Tahun 1929, Syekh Muhammad Djamil Djambek mendirikan organisasi Persatuan Kebangsaan Minangkabau yang bertujuan memelihara, menghargai, dan mencintai adat istiadat setempat sekaligus untuk memelihara dan mengusahakan agar Islam terhindar dari bahaya yang dapat merusaknya.
Dia juga turut menghadiri kongres pertama Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau tahun 1939. Pada masa pendudukan Jepang, Syekh Muhammad Djamil Djambek mendirikan Majelis Islam Tinggi (MIT) berpusat di Bukittinggi. Pascakemerdekaan RI, ketika organisasi ini berubah menjadi organisasi politik, Syekh Muhammad Djamil Djambek memilih mundur.
Syekh Muhammad Djamil Djambek wafat pada 30 Desember 1947. Dia dimakamkan di samping suraunya di Tengah Sawah Bukittinggi.
Sumber: id.wikipedia.org dan sumber lainnya.
(zik)