Misteri Tuah Pusaka Gong Kiai Pradah

Jum'at, 01 April 2016 - 05:00 WIB
Misteri Tuah Pusaka Gong Kiai Pradah
Misteri Tuah Pusaka Gong Kiai Pradah
A A A
Kiai Pradah atau Kiai Bicak diyakini sebagai pusaka milik Panembahan Senopati Raja Pertama Mataram Islam.
Pusaka berbentuk alat musik gamelan itu berasal dari Ki Ageng Selo, tokoh sakti penangkap petir berdarah keturunan Majapahit.

Dengan Kiai Bicak Panembahan Senopati berhasil mengusir pasukan Kerajaan Pajang yang dipimpin Sultan Hadiwijaya saat hendak menaklukkan Mataram. Perang besar dengan komposisi tidak seimbang itu terjadi di kawasan Prambanan Jawa Tengah.

Dalam catatan HJ De Graaf dalam buku “Awal Kebangkitan Mataram, Masa Pemerintahan Senapati” disebutkan bagaimana Sutawijaya atau Panembahan Senopati memukul Kiai Bicak berulang ulang di tengah suasana erupsi Gunung Merapi dan kobaran api yang berasal dari jerami yang sengaja dibakar.

Situasi mencekam yang sengaja diciptakan itu membuat pasukan Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya (Raja Pajang) melarikan diri.

Kemudian pusaka tersebut jatuh ke tangan Pangeran Prabu yang merupakan saudara tiri Sri Susuhunan Pakubuwono I. Pusaka tersebut berada di tangan Pangeran Prabu ketika Sri Susuhunan Pakubuwono I dinobatkan sebagai raja.

Pangeran Prabu merasa sakit hati dan dia berniat membunuh Sri Susuhunan Pabubuwono I, namun upayanya ketahuan, maka sebagai hukuman atas kesalahannya itu Pangeran Prabu dibuang di hutan Lodoyo.

Ketika itu hutan Lodoyo dikenal sangat angker dan banyak dihuni binatang buas. Karena Pangeran Prabu merasa salah, untuk menebus kesalahannya dia berangkat ke hutan Lodoyo dan diikuti istrinya Putri Wandansari dan abdinya Ki Amat Tariman.

Mereka membawa pusaka Kiai Bicak, yang akan digunakan sebagai tumbal penolak bala di hutan Lodoyo.

Perjalanan jauh itu mereka lakukan dengan penuh ketabahan, karena mereka percaya tidak akan menghadapi marabahaya selama mereka membawa pusaka Kiai Bicak.

Untuk menenangkan hati, Pangeran Prabu melakukan bertapa seorang diri di hutan Lodoyo dan Kiai Bicak dan serta abdi setianya Ki Amat Tariman dititipkan kepada Nyi Rondho Patrasuta.

Dia meninggalkan pesan bahwa setiap tanggal 12 Mulud dan tanggal 1 Syawal supaya pusaka tersebut disucikan dengan cara disirami atau dijamasi air bunga setaman dan air bekas jamasan tersebut bisa untuk mengobati orang sakit dan sebagai sarana ketentraman hidup.

Pada suatu ketika Ki Amat Tariman sangat rindu kepada Pangeran Prabu, dia kemudian berjalan-jalan di hutan, tetapi tersesat dan kebingungan, karena bingungnya dia memukul Kiai Bicak 7 kali, suaranya menimbulkan keajaiban.

Ketika itu yang datang bukan rombongan Pangeran Prabu tetapi harimau besar-besar dan anehnya mereka tidak menyerang atau mengganggu tetapi justru menjaga keberadaan Ki Amat Tariman, dan sejak itu Kiai Bicak diberi nama Gong Kiai Pradah yang artinya harimau.

Saat ini pusaka Gong Kiai Pradah masih diyakini bertuah. Di mana masih banyak yang meyakini air bekas bilasan dan apapun yang melekat di pusaka Kiai Pradah bisa membawa berkah kebaikan.

Mulai masalah kesehatan, perjodohan, kelancaran rezeki maupun sukses dalam pendidikan. Air yang jatuh itupun ditampung dengan wadah seadanya.

Adonan kapur warangan yang telah lumer menyerupai mentega itu dicoleki. Ada yang mengoleskan di kedua pipi, leher dan tengkuk. Ada juga yang membalurkan hingga kedua lengan.

Sementara meski telah menjelma logam perunggu tua, gong Pradah masih memantulkan gema yang membahana.

Dulu, pada pukulan yang ketujuh, harimau dan singa konon pada berdatangan. Saat itu kawasan Lodoyo masih berupa rimba raya yang menjadi pembuangan Pangeran Prabu.

Pusaka ini konon pernah menarik perhatian almarhum Presiden Keempat RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), bahkan sempat memintanya untuk dibungkus kembali dengan kain kafan.

Kepala Disporbudpar Kabupaten Blitar Luhur Sejati mengatakan bahwa upacara siraman pusaka Kiai Pradah sudah menjadi agenda wisata rutin tahunan. Bahkan wisata sejarah ini telah tercatat di Provinsi Jawa Timur.

“Dan ritual ini memiliki efek ekonomi kerakyatan yang bagus. Sebab tidak sedikit masyarakat sekitar yang diuntungkan. Banyak dagangan yang laku,“ ujarnya.

Kasmiran (83) kakek sembilan cucu asal Kelurahan Kalipang, Kecamatan Sutojayan mengaku selalu hadir di setiap upacara siraman pusaka Kiai Pradah.

Seperti warga yang lain, Kasmiran juga turut berebut air bekas siraman. Dia meyakini bekas siraman yang bercampur dengan kapur dan warangan gong Pradah membuat fisiknya senantiasa bugar.

“Ya kalau saya tujuannya untuk menghilangkan pegel linu saja. Caranya diusap usapkan di bagian yang sakit. Dan ini saya lakukan sudah pergantian lima juru kunci,“ pungkasnya.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.5105 seconds (0.1#10.140)