Jejak Tokoh Masyumi Prawoto Mangkusasmito

Jum'at, 11 Desember 2015 - 05:00 WIB
Jejak Tokoh Masyumi Prawoto Mangkusasmito
Jejak Tokoh Masyumi Prawoto Mangkusasmito
A A A
BERBICARA tentang Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) tak bisa dilepaskan dari Prawoto Mangkusasmito. Dialah yang terakhir menjadi ketua umum partai tersebut.

Tokoh yang lahir di Tirto (Grabag) Magelang, Jawa Tengah, 4 Januari 1910 ini adalah anak dari pasangan Supardjo Mangkusasmito dan Suendah. Ayahanda Prawoto adalah seorang mantri candu yang pada masa itu bertugas mengawasi praktik penjualan candu.

Prawoto menyelesaikan pendidikannya di Algemene Middelbare School (AMS) Yogyakarta pada 1932. Selain aktif dalam Jong Islamieten Bond (JIB), ia menjadi anggota Jong Java. Pada 1935, ia melanjutkan studi di Recht Hoge School (RHS) Jakarta. Ia masuk Studenten Islam Studie Club (SIS).

Karena pendudukan Jepang, Prawoto gagal menyelesaikan kuliah hukum, hanya sampai tingkat IV. Semasa clash kedua, ia ikut bergerilya bersama R Pandji Suroso, IJ Kasimo, dan Kasman Singodimedjo.

Saat Indonesia kembali diserang oleh Agresi Militer Belanda I dan II, ia kembali ikut terlibat dalam medan perjuangan dengan para pejuang bangsa yang lain.

Setelah Indonesia merdeka, perjuangan Prawoto tidak lagi dalam medan perang. Ia yang sejak muda aktif dalam pergerakan, memilih Masyumi sebagai basis perjuangannya.

Di Masyumi, namanya disejajarkan dengan Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Wahid Hasyim, maupun Syafruddin Prawiranegara. (Baca juga: Mengenang Wahid Hasyim, Pahlawan Nasional dari Jombang).

Di masa Kabinet Wilopo (3 April 1952-30 Juli 1953), Prawoto dipercaya menjadi wakil perdana menteri.

Setelah Pemilu 1955, ia terpilih menjadi Wakil Ketua I Konstituante sampai lembaga tertinggi hasil pemilihan umum itu dibubarkan oleh Presiden Soekarno lewat Dekrit 5 Juli 1959. Saat itu, Ketua Konstituante dijabat Mr Wilopo.

Dalam lingkup Partai Masyumi, Prawoto menjadi orang nomor satu saat tokoh-tokoh Masyumi seperti Mohammad Natsir dan Syafruddin Prawiranegara harus berjuang di hutan-hutan Sumatera karena terlibat dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

Prawoto menjabat sebagai ketua umum terakhir Partai Masyumi, sekaligus ketua Masyumi saat partai ini membubarkan diri tahun 1960. Sebagai ketua partai terbesar kedua di Indonesia berdasarkan hasil Pemilu 1955, Prawoto memikul tanggung jawab yang sangat berat ketika Masyumi dihadapkan kepada dua pilihan: dibubarkan atau membubarkan diri, seperti pidato yang disampaikan oleh Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1960.

PP Masyumi menerima surat dari Direktur Kabinet Presiden No. 2730/TU/60 yang mengemukakan bahwa Masyumi harus dibubarkan.

Surat itu berbunyi: "Paduka Yang Mulia Presiden telah berkenan memerintahkan kepada kami untuk menyampaikan Keputusan Presiden (Nomor 200/1960), bahwa Partai Masyumi harus dibubarkan. Dalam waktu 30 hari sesudah tanggal keputusan ini, yaitu 17 Agustus 1960, pimpinan Partai Masyumi harus menyatakan partainya bubar. Pembubaran ini harus diberitahukan kepada Presiden secepatnya. Kalau tidak, Partai Masyumi akan diumumkan sebagai 'partai terlarang'."

Keputusan itu sangat berat bagi Prawoto yang memiliki ciri khas janggut dan kumis setengah putih, kemeja putih, peci, dan terkadang mamakai sarung ini. Sebab, Masyumi telah mengukir sejarah tinta emas dalam perjalanan bangsa ini.

Sebelum memilih langkah membubarkan partai tersebut, Prawoto melakukan konsultasi dengan para anggota di daerah. Dia mengunjungi para pemilih atau pendukung Masyumi untuk menentukan sikap.

Akhirnya, Masyumi memilih membubarkan diri ketimbang mengikuti Manipol Usdek buatan Soekarno dengan semangat otoriternya yang telah begitu akrab dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Setelah Masyumi bubar, pada 16 Januari 1962 oleh rezim Soekarno, Prawoto dijebloskan ke tahanan bersama tokoh-tokoh politik lainnya seperti Mohammad Roem, M Yunan Nasution, Isa Anshary, Sutan Sjarir, dan Mochtar Lubis.

Mereka ditempatkan di Rumah Tahanan Militer Madiun, Jakarta, dan terakhir di Wisma Keagungan. Di tahanan itu ada juga Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, dan Boerhanuddin Harahap. Mereka dibebaskan oleh pemerintahan Orde Baru pada 17 Mei 1966.

Setelah Indonesia memasuki pemerintahan baru di bawah rezim Soeharto, kiprah Prawoto dalam panggung politik nasional tak terdengar lagi.

Prawoto mencurahkan seluruh energinya dalam bidang dakwah. Bersama sejumlah tokoh Masyumi seperti Mohammad Natsir dan Mohammad Roem, dia terlibat dalam lahirnya Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) pada pertengahan 1967.

Prawoto yang pernah menjadi pengurus Universitas Islam Indonesia (UII) dan kurator Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (cikal bakal IAIN atau UIN) ini meninggal pada 24 Juli 1970 di desa binaannya, 25 km dari Banyuwangi, Jawa Timur.

Ia meninggal di tengah-tengah kehidupan masyarakat bawah, yang secara istiqamah ia perjuangkan nasibnya semasa hidup.

Sosok Prawoto begitu dihormati kawan-kawan seperjuangan, lawan politiknya, maupun kalangan lainnya. Dia dikenal bukan politikus yang menggunakan politik untuk mencari duit. Ia berjuang untuk negara dan rakyat Indonesia. Hidupnya pun sangat sederhana.

Sumber:
- Buku Pahlawan-Pahlawan Bangsa yang Terlupakan, penulis Johan Prasetya, Penerbit Saufa, Agustus 2014.
- http://www.dewandakwah.or.id
- http://lukmanhakiem.blogspot.co.id.

PILIHAN:

Kisah Kesaktian Panembahan Senopati

Sejarah Kota Salatiga
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3360 seconds (0.1#10.140)