Pantang Tinggalkan Telepon Sebelum Pulang

Kamis, 08 Oktober 2015 - 10:17 WIB
Pantang Tinggalkan Telepon...
Pantang Tinggalkan Telepon Sebelum Pulang
A A A
Mata pria berusia 48 tahun itu tak pernah lepas dari lima pesawat telepon yang ada di kantornya. Lengannya yang berkulit cokelat dengan sigap mengangkat satu demi satu gagang telepon saat terdengar bunyi panggilan.

Dialah Partono (48), salah satu petugas pemadam kebakaran Dinas Pemadam Kebakaran Kota Semarang. Sejak delapan tahun silam, Partono menjadi bagian dari korps yang memiliki jargon 'Pantang Pulang Sebelum Padam' itu.

Tugas Partono bukanlah seperti rekan-rekannya yang lain. Ia bukanlah petugas pemadam kebakaran yang harus berjibaku dengan api. Namun, tugasnya sebagai operator telepon pemadam kebakaran, sehari-hari bapak tiga anak ini harus berjibaku dengan ratusan laporan masyarakat melalui pesawat telepon itu.

Belum lagi, jika terjadi peristiwa kebakaran secara bersamaan seperti yang terjadi pada bulan-bulan ini, Partono mengaku sering kebingungan mengangkat telepon. Dua hingga tiga gagang telepon ia pegang secara bersamaan sambil sibuk mendengarkan laporan dari masyarakat dan mencatatnya.

"Sehari-hari saya bertugas di sini menjaga telepon dan menunggu jika ada laporan kebakaran dari masyarakat. Maaf saya nyambi kerja ya, Mas," kata pria berkumis tipis ini mengawali obrolan dengan KORAN SINDO saat ditemui di kantornya.

Meski hanya sebagai penjaga telepon, tugas yang diemban oleh warga asli Jalan Rorojongrang I RT 1/10 Kelurahan Manyaran, Kecamatan Semarang Barat ini bukanlah pekerjaan mudah. Sebab sedikit saja melakukan kesalahan, nasib masyarakat, jiwa maupun harta, dapat menghilang.

"Saat bertugas, sebentar pun saya tidak pernah meninggalkan telepon-telepon ini. Bahkan untuk makan serta urusan ke belakang saja, harus dilakukan dengan cepat. Kalau teman-teman di lapangan punya jargon 'Pantang Pulang Sebelum Padam', saya punya jargon sendiri yakni 'Pantang Tinggalkan Telepon Sebelum Pulang'," kata suami Dwi Sulastri ini sambil tersenyum.

Tak hanya itu, pekerjaannya juga memiliki risiko tinggi. Seringkali ia harus sabar mendengar cacian masyarakat yang menginginkan petugas pemadam kebakaran segera tiba di lokasi kejadian.

"Tak hanya itu, seringkali ada orang yang iseng ngerjani saya. Mereka mengabarkan bahwa ada kebakaran, namun setelah dicek ternyata tidak ada. Sering saya mendapat telepon seperti itu, biasanya dari anak-anak yang iseng dan tidak mengerti bahwa hal itu sangat merugikan," paparnya.

Selain merugikan dirinya, masuknya telepon iseng itu dapat mengganggu masyarakat yang ingin mengabarkan kejadian kebakaran. Dengan adanya telepon iseng yang masuk itu, masyarakat yang benar-benar mengalami musibah kebakaran tidak dapat menghubungi.

"Jadi dalam kesempatan ini saya berharap masyarakat dewasa dengan tidak melakukan hal iseng yang dapat merugikan banyak orang," tegasnya.

Meski sering mendapat perlakuan iseng serta cacian masyarakat yang tidak sabar, Partono mengaku menikmati pekerjaannya itu. Menurutnya, menjadi operator telepon pemadam kebakaran adalah kerja sosial yang dapat dijadikan lahan amal.

"Semoga keberadaan saya ini dapat memberikan manfaat bagi orang lain khususnya mereka yang menjadi korban kebakaran. Dengan saya siaga, kerugian akibat musibah kebakaran itu dapat diminimalisir," pungkasnya.

PILIHAN:
Derita ISPA akibat Kabut Asap, Bayi 28 Hari Meninggal
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1869 seconds (0.1#10.140)