Pudarnya Resep Rahasia Keluarga

Sabtu, 12 September 2015 - 10:41 WIB
Pudarnya Resep Rahasia Keluarga
Pudarnya Resep Rahasia Keluarga
A A A
Memasak, bagi sebuah keluarga, tidak hanya menjadi rutinitas yang dikerjakan setiap hari. Di dalamnya terdapat sebuah identitas yang menjadi ciri khas keluarga yang diwariskan turun-temurun.

Ada kesukaan lebih pada rasa manis, pedas, maupun gurih yang tidak ada di keluarga yang lain. Namun, kehidupan instan yang menjangkiti Kota Pahlawan telah mengubah segalanya. Tidak ada lagi kini resep rahasia masakan keluarga. Beberapa keluarga kecil lebih memilih menjauhi dapur yang dianggapnya membuang banyak waktu.

Mereka lebih memilih memesan masakan yang sudah jadi tanpa perlu proses panjang di dapur yang bagi sebagian orang menjadi medan perang tiada ujung. Seperti pagi-pagi sebelumnya, Susanti, 45, sudah berada di depot soto ayam langganannya di ujung gang dekat Kantor Kecamatan Wonocolo.

Dia sudah berbaris dalam antrean untuk memesan soto ayam yang menjadi menu favorit keluarganya. Sembari menunggu antrean, dia sesekali membuka ponselnya. Cak Man, si penjual soto ayam, tampaknya sudah paham dengan permintaan Susanti. Saat giliran Susanti memesan soto, si penjual tidak lagi bertanya berapa yang dibungkus.

Susanti pun hanya diam sambil menunggu pesanannya dibuatkan. Mereka berdua sudah saling memahami kebutuhan masing-masing. ”Ini uangnya, terima kasih Cak Man,” kata Susanti sambil memberikan dua lembar uang Rp10.000. Soto dengan kantong besar langsung dibawa pulang. Di dalamnya berisi penuh potongan daging ayam serta kuah yang melimpah.

Karena sudah jadi langganan, Cak Man juga memberikan bonus potongan sayap yang terlihat menyesak di plastik. Sampai di rumahnya di Bendul Merisi, Susanti langsung memasukan soto ke panci besar yang pagi itu dijadikan menu sarapan bagi keluarganya. Dia hanya menanak nasi yang sudah disiapkannya sejak tadi malam.

Pagi yang sejuk bagi ibu dua anak itu kini lebih tenang tanpa harus menghabiskan waktu di dapur untuk bermain dengan pisau, kompor, bawang putih, dan ayam. ”Kalau membeli ini lebih murah dan tidak repot. Coba kalau membuat soto sendiri, paling murah kita harus mengeluarkan uang Rp40.000 untuk membeli bahannya saja,” ucapnya. Selain itu, bagi Susanti, dia juga bisa menghemat waktu.

Sejak bangun tidur, dia harus menyiapkan keperluan anak-anaknya sebelum berangkat sekolah. Dia dan suami juga sama-sama bekerja sehingga waktu pada pagi hari harus bisa dimanfaatkan dengan baik untuk memenuhi semua kebutuhan keluarga. Tepat pukul 06.30 WIB, semuanya sudah berangkat dengan aktivitas masingmasing. Anak-anaknya ke sekolah dia dan suaminya juga berangkat bekerja.

Pagi itu di dapurnya tidak ada sedikit pun sampah atau sekadar tumpahan santan. Untuk makan siang, Susanti juga melakukan hal yang sama seperti sarapan. Sebelum pulang, dia menyempatkan diri untuk mampir di depot makanan serbaada dengan memesan sayur asem, ikan bandeng, pepes teri, serta kerupuk. Makanan itu langsung dibawa ke rumah untuk menu makan siang dan sore.

Makan malam di keluarganya juga tidak melibatkan proses di dapur. Dia memilih keluar rumah membeli makanan serta kudapan yang dijadikan teman setia pada malam hari. Bahkan, Susanti sendiri tidak ingat kapan terakhir kali dia memasak di dapur. Untuk memberikan kombinasi makanan, dia juga terkadang memesan masakan kepada orang lain.

Kebetulan ada tetangganya yang menerima jasa memasak untuk pembuatan makanan seharihari. Menu yang dipilih pun beragam, seperti ikan bakar, ayam kremes, sampai rawon. Kondisi yang sama juga dilakukan Fatma Indah Kurnia. Sejak menikah dengan Supandi, dia tinggal di rumah susun (rusun) di Siwalan Kerto. Hidup berdua dengan suaminya membuatnya jarang sekali memasak di rumah.

Mereka memilih makan di luar rumah setiap hari. ”Kalau sarapan, tinggal cari warung dekat rusun saja, setelah itu samasama pergi ke tempat kerja,” katanya. Sejak menikah dua tahun lalu, dia memang tidak terbiasa memasak. Beberapa kali sang suami sempat bertanya tentang masakan buatan sendiri, tetapi kebiasaan hidup yang samasama bekerja dan tidak ada waktu luang untuk beraktivitas di dapur sudah menjawab semua pertanyaan itu.

Bahkan, saat libur bekerja pada Minggu, mereka berdua tetap tidak pernah memasak di rumah. Hari libur malah dijadikan kesempatan untuk berjalan-jalan serta menikmati wisata kuliner di Surabaya. ”Sempat sih kepikiran untuk bisa memasak sendiri di rumah, tapi tidak ada waktu. Saya saja sering kok beli buku resep, tapi tidak pernah mencoba memasak,” katanya sambil tersenyum.

Namun, ada juga beberapa orang yang masih setia dengan jalur resep keluarga untuk memenuhi kebutuhan makanan di rumah. Dewi Istiandaru, misalnya, dia tetap memasak setiap hari untuk suami dan anaknya yang kini duduk di bangku taman kanak-kanak. Selepas subuh, dia sudah berjibaku di dapur untuk memasak. Tangannya lincah ketika memotong bawang dan daging.

Semua rutinitas itu dijalaninya setiap hari. Kebiasaan untuk sarapan bersama keluarga juga dilakukan. Baginya, semua itu juga menjadi pendidikan bagi anaknya untuk hidup harmonis. Selain itu, dia juga tidak perlu waswas dengan makanan yang dikonsumsi anaknya. Sebab, sebelum berangkat sekolah, dia sudah menyiapkan makanan yang ditata rapi di kotak kecil untuk menu makan siang bagi anaknya di sekolah.

”Jadi tidak perlu jajan di luar. Makanan yang saya berikan juga terjamin dan tahu kebutuhan gizinya,” ujarnya. Selain itu, dia juga memahami kesukaan makanan yang menjadi ciri khas keluarganya. Suami serta anaknya sangat menyukai makanan manis. Mereka semua juga tidak terlalu suka pedas.

”Kalau beli di luar itu kan banyak makanan yang pedas,” tambahnya. Dewi tetap ingin ketika anaknya besar, kebiasaan makanan dan resep yang setiap hari dipakai bisa terus dipertahankan. ”Karena masakan ini mungkin tidak ada di luar, ini resep rahasia kami. Meskipun masakannya sederhana saja,” tuturnya.

Aan haryono
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1430 seconds (0.1#10.140)