Selamat Jalan Mbah Muchit

Senin, 07 September 2015 - 09:14 WIB
Selamat Jalan Mbah Muchit
Selamat Jalan Mbah Muchit
A A A
JEMBER - Kabar duka menyelimuti warga Nahdlatul Ulama (NU). Salah satu sesepuh ulama NU, KH Muchit Muzadi, kemarin berpulang ke Mahakuasa setelah dirawat di RS Persada Malang, Jawa Timur.

KH Muchit memang sudah lama dirawat karena penyakit komplikasi yang dideritanya. Sejak tiga minggu terakhir, almarhum dirawat di RS Persada sebelum akhirnya mengembuskan napas terakhirnya. Pemakaman kiai kharismatik asal Jember ini pun dihadiri ribuan warga.

Sejumlah tokoh juga terlihat hadir mengantarkan seorang deklarator Partai Kebangkitan Bangsa ini ke tempat peristirahatan terakhir di tempat pemakaman umum Jalan Kalimantan, Jember. Pemakaman almarhum berlokasi di belakang Masjid Sunan Kalijaga dan berjarak sekitar 100 meter dari kediamannya. Almarhum dimakamkan di samping istrinya, Siti Farida, menjelang azan asar.

Terlihat Bupati Jember MZA Djalal, Bupati Bondowoso, dan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas turut memberikan doa di rumah duka. “Kami sangat kehilangan sosok panutan. Beliau seorang sederhana yang meninggalkan kita, semoga almarhum husnul khatimah,” kata MZA Djalal.

Semasa hidupnya mendiang dikenal teguh memegang dan menyebarkan ajaran KH Hasyim Asyari, pendiri NU. Mendiang dikenal sebagai ulama yang fokus memperjuangkan pendidikan formal di Jember. Ulama kelahiran Kecamatan Bangilan, Tuban, 4 Desember 1925 itu kemudian merantau ke Jember dan aktif untuk menyebarkan ajaran Hasyim Asyari.

Di mana pun berada, mendiang selalu menyebarkan nilainilai NU. Menurut penuturan Alfian Futuhul Hadi, putra bungsu KH Muchit Muzadi, almarhum ke Jember sekitar tahun 1965 dengan membantu mengajar mengikuti almarhum KH Dhofir Siddiq. “Di mana pun berada, almarhum selalu menyebarkan nilai-nilai NU. Bahwa NU sebagai organisasi yang lurus, bersifat memperbaiki, dan mengayomi. Maka jika masuk NU, semangatnya pasti memperbaiki diri,” katanya.

Di Jember mendiang merintis berbagai pendidikan formal termasuk sempat dipercaya ikut mengurus lahirnya IAIN Jember dan MAN 1 Jember. Beliau juga pernah menjadi kepala sekolah madrasah dan dekan IAIN Jember. Selain itu, mendiang juga aktif mengajar tentang Aswaja dan ke-NU-an di Pondok Pesantren As Siddiqqi Putri di Talangsari, Jember bersama Halim Siddiq.

“Di sana, mendiang tetap aktif mengajar bahkan hingga masa pensiun. Bapak sangat fokus pada pendidikan dan ke-NU-an,” katanya. KH Muchit juga dikenal dekat dengan Rais Akbar NU Hasyim Asy’ari ketika mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang.

Selama menetap di Jember, kakak dari mantan Ketua Umum PBNU NU dan Wantimpres Hasyim Muzadi itu, juga pernah menjadi sekretaris Rais Aam NU Achmad Shiddiq pada 1980-an serta menjadi mustasyar PBNU untuk beberapa periode.

Di Kota Tembakau ini pula mendiang kehilangan istrinya dan dua anak dari sembilan buah hatinya. Mereka telah berpulang mendahului almarhum. “Ada sembilan bersaudara, sekarang tinggal tujuh, dua kakak saya sudah meninggal dunia. Pesan terakhir Bapak hanya minta didoakan agar husnul khatimah ,” ungkapnya.

Adik kandung KH Muchit yang juga Rais Syuriah Pengurus Cabang NU Jember KH Muhyiddin Abdussomad mengatakan, sosok Mbah Muchit - panggilan KH Muchit - adalah suri tauladan bagi warga NU. “Almarhum memiliki delapan anak, 19 cucu, dan satu cicit. Kami sangat berduka, beliau adalah ayah dan guru kami dan tauladan serta sosok yang istikamah,” kata KH Muhyiddin Abdussomad.

Semasa hidupnya Mbah Muchit dikenal sebagai konseptor ulung dan ideolog di balik berbagai kebijakan strategis NU dalam masalah keagamaan dan kebangsaan. Mbah Muchit adalah murid langsung pendiri NU Hadlratussyaikh KH Hasyim Asyari di Pesantren Tebuireng, Jombang.

Di Tebuireng, Mbah Muchit tidak hanya belajar agama, tapi juga belajar berorganisasi. Pada 1941 Mbah Muchit muda telah menjadi anggota NU. Di sana dia juga bertemu beberapa santri terkenal seperti KH Achmad Shiddiq yang kemudian juga bertindak sebagai Rais Am PBNU.

Salah satu pemikiran fenomenal Mbah Muchit adalah tentang Khittah Nahdliyah dan hubungan NU dan politik serta penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal. Dengan dibantu Mbah Muchit, langkah Kiai Achmad (panggilan KH Achmad Shiddiq) mampu mengimbangi gerak pembaharuan yang dila-kukan oleh Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sehingga dalam waktu singkat NU menjadi organisasi yang sangat maju dan berperan besar baik dalam bidang keagamaan, kemasyarakatan, termasuk kenegaraan.

Sukses duet Gus Dur dan Kiai Achmad ini tidak bisa lepas dari pemikiran kreatif Mbah Muchit. NU dan bangsa Indonesia kehilangan tokoh besar yang selalu berada di balik layar yang menjadi pemantik perubahan besar. Selamat jalan Mbah Muchit, semoga husnul khatimah .

P juliatmoko
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1238 seconds (0.1#10.140)