Kantor Pajak Incar Hotel Bermasalah

Sabtu, 22 Agustus 2015 - 10:07 WIB
Kantor Pajak Incar Hotel...
Kantor Pajak Incar Hotel Bermasalah
A A A
YOGYAKARTA - Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X dengan tegas meminta Pemkot Yogyakarta merobohkan 18 hotel yang beroperasi tanpa izin gangguan (HO). Sayangnya, permintaan ini diabaikan pemkot.

Namun sikap tegasakan dilancarkan Kantor Di rektorat Jenderal Pajak (DJP) DIY. Mereka menyatakan membidik hotel-hotel itu. Dinas Perizinan (Dinzin) Kota Yogyakarta tegas menyatakan masih memberikan toleransi ke belasan hotel yang belum mengantongi izin gangguan untuk menuntaskan kewajibannya.

Tapi, Dinzin enggan menerbitkan HO sementara bagi belasan hotel itu. Kepala Dinas Perizinan Kota Yog yakarta Heri Karyawan meng ungkapkan, pihaknya akan menyurati seluruh hotel yang belum memiliki HO agar segera menyelesaikan proses perizinan tersebut. Hanya dia menolak membeberkan namana ma hotel itu dengan alasan masih menginventarisasi.

Meski demikian, Heri menyebutkan, jumlah hotel yang belum memiliki HO berjumlah 14 hotel bukan 18 seperti yang diberitakan sebelumnya. Sebab dari 18 hotel yang disebutkan sebelumnya, empat hotel ternyata belum beroperasi. Hotel-hotel itu merupakan bagian dari hotel yang mengajukan izin sejak 2013 sebelum ada moratorium.

Total Dinzin mencatat ada 104 permohonan izin mendirikan bangunan (IMB) yang diajukan hingga akhir Desember 2013. Dari jumlah itu, izin untuk 79 hotel sudah diterbitkan dan 25 lainnya masih proses kajian. Dari 79 izin yang sudah diterbitkan, 13 di antaranya belum memulai pembangunan, 39 sudah mulai membangun, dan 17 lainnya sudah selesai per Juni 2015.

Selain itu, ada juga permohonan perubahan dan sudah selesai tiga hotel serta hasil penertiban pihaknya tujuh hotel. “Yang penertiban itu saat kami lakukan operasi belum memiliki IMB, akhirnya pada 2013 itu melakukan pendaftaran. Kebanyakan penginapan yang tersebar di beberapa kecamatan,” ujar Heri, kemarin.

Dia menjelaskan, persoalan muncul setelah ada aturan baru tentang kewajiban mengantungi sertifikat layak fungsi (SLF) sejak 2013. Sebelum izin dilanjutkan pada kepemilikan SKB atau surat kepemilikan bangunan (SKB). Meski begitu, kata Heri, karena SLF adalah hal baru sehingga banyak pengusaha kebingungan.

Terlebih untuk memiliki SLF membutuhkan proses tidak sebentar. “Kami dari Din zin menyarankan mereka menghubungi instansi akademik mana pun yang sesuai untuk memenuhi ketentuan tersebut,” kata Heri. Dinzin, kata Heri, sempat diminta mengeluarkan HO sementara tapi ditolak. Argu mentasinya, terkait perizinan Din zin hanya ingin kepastian.

Dengan begitu, pihaknya enggan memberi HO sementara lantaran dianggap tidak pasti Selain meminta pengusaha menyelesaikan SLF, Dinzin juga menyusun standard operational procedure (SOP) untuk verifikasi dokumen yang masuk. Verifikasi ini dilakukan baik terhadap dokumen maupun administrasinya. “Kondisi bangunan juga akan diverifikasi tim dari Dinzin,” ujarnya.

Kendati belum memiliki HO, dia mengklarifikasi sebagian hotel sudah ditarik pajak karena sudah beroperasi sehingga ada transaksi. Penarikan pajak tidak bergantung pada adanya HO atau tidak. Dia juga meminta Kantor Dinas Pajak Daerah dan Keuangan untuk segera men jaring hotel yang sudah ber operasi agar ditetapkan Penerbitan Nomor Pokok Wajib Pa jak Daerah (NPWPD) dan ditarik pajaknya.

Sementara Ketua DPRD Kota Yogyakarta Sujanarko mengatakan, polemik hotel yang beroperasi tanpa HO muncul karena pemkot tidak tegas dan tebang pilih. Dia mengaku tak habis pikir ada bangunan beroperasi dengan perizinan yang belum lengkap. Dikejar DJP DIY Kepala Pelayanan dan Penyuluhan Humas DJP DIY Ayu Norita Wuryansari mengatakan setiap usaha harus memiliki izin sebagai bukti legalitasnya.

Legalitas ini akan berpengaruh pada pajak penghasilan yang dihasilkan dari bisnis tersebut, baik pajak penghasilan perorangan atau badan perusahaannya. Untuk kasus 14 hotel yang belum melengkapi perizinan dan persyaratan yang ditentu - kan, DJP DIY melihat dari berbagai aspek.

Dari sisi pajak, meski hotel itu belum menyelesaikan perizinannya tapi ketika beroperasi dan mendapat pemasukan, maka mereka terkena pajak penghasilan. Artinya, manajemen hotel harus menyetorkan pajak penghasilannya ke DJP DIY. “Sejauh ini kami masih meng kaji ke-14 hotel ini karena kami harus memastikan terlebih dahulu hotel ini, apakah lokal atau cabang dari salah satu kota besar.

Jika hotel ini memiliki NPWP maka hotel harus mengurus pajaknya meskipun perizinannya masih ber masalah. Bagi kami yang penting hotel tersebut sudah beroperasi,” katanya. Pihaknya segera berkoordinasi dengan Pemkot Yogyakarta terkait masalah ini. Karena jika hotel-hotel ini tidak membayar pajak akan ada sanksi.

“Mulai dari sanksi tertulis hingga sanksi panggilan kepada pemilik hotel,” ujarnya. Terpisah, Ketua PHRI DIY Istidjab Danunegoro menginformasikan dalam waktu dekat ini pihaknya akan bertemu Wali Kota Yogyakarta membahas penyelesaian permasalahan belasan hotel ini. “Secepatnya, kami bertemu dengan Pak Wali, beberapa waktu lalu dia juga sempat merasa kecolongan karena masih ada hotel yang perizinan dan suratsurat izin usaha kepariwisataannya belum terselesaikan tapi sudah beroperasi.

Nanti kami coba cari solusinya, tidak perlu dirobohkan hotelnya,” ujarnya, kemarin. Istidjab menjelaskan kendala utama perizinan usaha hotel adalah izin HO. Ini karena pihak hotel harus meminta izin kepada masyarakat sekitar dan menyo sialisasikan, sementara tidak semua warga setuju akan ada pendirian hotel di wilayahnya. Atas dasar itulah beberapa hotel nekat tetap membangun dan mengoperasikan, meski izin HO belum dikantongi.

Manajemen hotel umumnya mempercepat pembangunan hotel untuk mengejar momen, seperti Lebaran kemarin. Hotel-hotel baru mulai beroperasi lantaran pada musim peak season akan kebanjiran banyak tamu. Tapi permasalahan perizinan jelas akan berpengaruh pada setoran pajak hotel mengingat hotel sudah mulai beroperasi sehingga ada pemasukan.

Nanti PHRI akan membantu mencarikan jalan tengahnya. Pihaknya mungkin akan membantu proses perizinan dan persyaratan lain yang harus segera diselesaikan. Dengan harapan, hotel-hotel yang sudah berdiri ini tidak perlu dirobohkan karena sudah memakan biaya besar untuk membangunnya.

“Selama lima tahun terakhir ini sudah ada 80 hotel berbintang di DIY dengan total kamar 8000 kamar, sedangkan hotel nonbintang 110 hotel dengan kamar 13.000 unit. Mayoritas hotel berada di Kota Yogya dan Sleman. Sisanya ada satu hotel di Bantul, satu di Gunungkidul. Sementara di Kulonprogo belum ada hotel. Total ada 21.000 kamar hotel di DIY,” katanya.

Sodik/ windy anggraina
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1453 seconds (0.1#10.140)