Kemarau, Harga Beras Mulai Naik
A
A
A
BOJONEGORO - Harga beras di sejumlah pasar tradisional Kabupaten Bojonegoro merangkak naik. Kondisi ini dipengaruhi kemarau yang menyebabkan panen padi gagal.
Menurut Asmunah, 56, pedagang beras di Pasar Tobo Bojonegoro, harga beras mulai merangkak naik sejak sebulan terakhir. Harga beras kualitas sedang yang semula Rp7.500 per kilogram (kg), kini naik menjadi Rp8.000 per kg. Sementara harga beras kualitas bagus yang semula Rp8.500 per kg, kini naik menjadi Rp9.000 per kg.
“Harga beras terus naik. Ini disebabkan gagal panen sejumlah tempat di Bojonegoro,” ujar Asmunah. Menurutnya, sejumlah lahan persawahan di Bojonegoro mengalami kekeringan. Banyak petani yang telanjur menanam padi tetapi kekurangan pasokan air karena kemarau datang lebih awal. Akibatnya, tanaman padi yang masih berumur muda, banyak yang mati dan gagal panen. “Sekarang ini pasokan beras dari petani lokal Bojonegoro sedikit. Ini yang menyebabkan harga gabah naik,” ujarnya. K emudian, komoditas lainnya yang merangkak naik yaitu cabai keriting dari Rp25.000 per kg menjadi Rp30.000 per kg; cabai merah naik dari Rp30.000 per kg menjadi Rp40.000 per kg; dan telur dari Rp18.000 per kg menjadi Rp20.000 per kg.
Sementara itu, untuk komoditas sayuran, harganya turun saat memasuki musim kemarau ini. Di antaranya harga kubis turun dari Rp7.000 per kg menjadi Rp4.000 per kg; wortel dari Rp6.000 per kg menjadi Rp5.000 per kg; dan tomat dari Rp5.000 per kg menjadi Rp2.000 per kg. Selain itu, harga bawang merah juga turun dari Rp15.000 menjadi Rp10.000 per kg. Sementara harga bawang putih stabil di kisaran Rp15.000 per kg. Menurut Abdul Khoiron, 45, pedagang sayuran, turunnya harga sayuran ini disebabkan di daerah penghasil sayuran, yakni Magetan, Kediri, dan Nganjuk, saat ini sedang panen.
“Hasil panen sayuran di daerah penghasil saat ini sangat baik karena tidak ada hujan. Akibatnya, karena pasokan berlimpah, membuat harga sayuran di pasaran turun,” ujarnya. Dia mengatakan, pengiriman sayuran dari daerah penghasil ke pasaran di Bojonegoro juga lancar. Kondisi itu berbeda saat musim penghujan, karena biasanya sayuran akan mudah rusak dan membusuk apabila terkena hujan.
“Petani dan pedagang sayuran itu lebih senang saat musim kemarau. Tetapi, bagi petani padi lebih senang musim hujan karena persediaan air cukup untuk pengairan,” ujar warga Desa/Kecamatan Purwosari tersebut.
Siapkan Anggaran Darurat Rp10 Miliar
Untuk mengatasi kekeringan, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro menyiapkan anggaran darurat kekeringan sebesar Rp10 miliar. Anggaran itu digunakan untuk mengatasi kekeringan yang terjadi selama 2015. Anggaran sebesar Rp10 miliar itu bersumber dari APBD Perubahan 2015. Pemakaiannya digunakan untuk beberapa program selama kemarau 2015, terhitung Juni hingga November mendatang.
Di antaranya pembuatan water treatment mini di sekitar embung (bendungan kecil), mengatasi rawan pangan, hingga air bersih untuk 430 desa di 28 kecamatan jika terjadi puncak kemarau. Menurut Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bojonegoro, Andi Sudjarwo, dana darurat kekeringan sudah tersedia di bagian keuangan. Tinggal kemudian bagaimana mengelolanya saat penanganan kekeringan tahun ini. “Anggaran itu sudah siap,” ujarnya.
Andi mengatakan, di Bojonegoro terdapat lebih dari 180 embung yang tersebar di sejumlah desa di bagian selatan. Dari sekian embung tersebut, terdapat embung yang dilapisi dengan geomembran (pelapis anti bocor di dinding embung). Jumlah embung geomembran lebih dari 25 unit. Harusnya, embung yang sudah dilapisi geomembran itu airnya sudah bisa dikonsumsi untuk kebutuhan sehari-hari. Namun, karena belum terbiasa, warga kemudian hanya menggunakannya untuk pertanian.
Pihak BPBD Bojonegoro kini tengah membuat program water treatment di sekitar embung. Tujuannya mengelola air dari embung untuk kebutuhan sehari-hari. Sebab, jika air embung diproses, bisa digunakan untuk kebutuhan rumah tangga. Tujuannya bisa mengurangi ketergantungan warga yang mengalami kekeringan. Di Bojonegoro sendiri desadesa yang sudah membangun embung geomembran di antaranya Dusun Jintel, Desa Megale, Kecamatan Kedungadem.
Luas bangunan embung rata-rata 60x70 meter termasuk areal pendukungnya sekitar satu hektare. Proyek embung geomembran dibangun Agustus 2013. Pemerintah Bojonegoro sebelumnya telah menetapkan darurat kekeringan terhitung 1 Juli 2015.
Muhammad roqib
Menurut Asmunah, 56, pedagang beras di Pasar Tobo Bojonegoro, harga beras mulai merangkak naik sejak sebulan terakhir. Harga beras kualitas sedang yang semula Rp7.500 per kilogram (kg), kini naik menjadi Rp8.000 per kg. Sementara harga beras kualitas bagus yang semula Rp8.500 per kg, kini naik menjadi Rp9.000 per kg.
“Harga beras terus naik. Ini disebabkan gagal panen sejumlah tempat di Bojonegoro,” ujar Asmunah. Menurutnya, sejumlah lahan persawahan di Bojonegoro mengalami kekeringan. Banyak petani yang telanjur menanam padi tetapi kekurangan pasokan air karena kemarau datang lebih awal. Akibatnya, tanaman padi yang masih berumur muda, banyak yang mati dan gagal panen. “Sekarang ini pasokan beras dari petani lokal Bojonegoro sedikit. Ini yang menyebabkan harga gabah naik,” ujarnya. K emudian, komoditas lainnya yang merangkak naik yaitu cabai keriting dari Rp25.000 per kg menjadi Rp30.000 per kg; cabai merah naik dari Rp30.000 per kg menjadi Rp40.000 per kg; dan telur dari Rp18.000 per kg menjadi Rp20.000 per kg.
Sementara itu, untuk komoditas sayuran, harganya turun saat memasuki musim kemarau ini. Di antaranya harga kubis turun dari Rp7.000 per kg menjadi Rp4.000 per kg; wortel dari Rp6.000 per kg menjadi Rp5.000 per kg; dan tomat dari Rp5.000 per kg menjadi Rp2.000 per kg. Selain itu, harga bawang merah juga turun dari Rp15.000 menjadi Rp10.000 per kg. Sementara harga bawang putih stabil di kisaran Rp15.000 per kg. Menurut Abdul Khoiron, 45, pedagang sayuran, turunnya harga sayuran ini disebabkan di daerah penghasil sayuran, yakni Magetan, Kediri, dan Nganjuk, saat ini sedang panen.
“Hasil panen sayuran di daerah penghasil saat ini sangat baik karena tidak ada hujan. Akibatnya, karena pasokan berlimpah, membuat harga sayuran di pasaran turun,” ujarnya. Dia mengatakan, pengiriman sayuran dari daerah penghasil ke pasaran di Bojonegoro juga lancar. Kondisi itu berbeda saat musim penghujan, karena biasanya sayuran akan mudah rusak dan membusuk apabila terkena hujan.
“Petani dan pedagang sayuran itu lebih senang saat musim kemarau. Tetapi, bagi petani padi lebih senang musim hujan karena persediaan air cukup untuk pengairan,” ujar warga Desa/Kecamatan Purwosari tersebut.
Siapkan Anggaran Darurat Rp10 Miliar
Untuk mengatasi kekeringan, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro menyiapkan anggaran darurat kekeringan sebesar Rp10 miliar. Anggaran itu digunakan untuk mengatasi kekeringan yang terjadi selama 2015. Anggaran sebesar Rp10 miliar itu bersumber dari APBD Perubahan 2015. Pemakaiannya digunakan untuk beberapa program selama kemarau 2015, terhitung Juni hingga November mendatang.
Di antaranya pembuatan water treatment mini di sekitar embung (bendungan kecil), mengatasi rawan pangan, hingga air bersih untuk 430 desa di 28 kecamatan jika terjadi puncak kemarau. Menurut Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bojonegoro, Andi Sudjarwo, dana darurat kekeringan sudah tersedia di bagian keuangan. Tinggal kemudian bagaimana mengelolanya saat penanganan kekeringan tahun ini. “Anggaran itu sudah siap,” ujarnya.
Andi mengatakan, di Bojonegoro terdapat lebih dari 180 embung yang tersebar di sejumlah desa di bagian selatan. Dari sekian embung tersebut, terdapat embung yang dilapisi dengan geomembran (pelapis anti bocor di dinding embung). Jumlah embung geomembran lebih dari 25 unit. Harusnya, embung yang sudah dilapisi geomembran itu airnya sudah bisa dikonsumsi untuk kebutuhan sehari-hari. Namun, karena belum terbiasa, warga kemudian hanya menggunakannya untuk pertanian.
Pihak BPBD Bojonegoro kini tengah membuat program water treatment di sekitar embung. Tujuannya mengelola air dari embung untuk kebutuhan sehari-hari. Sebab, jika air embung diproses, bisa digunakan untuk kebutuhan rumah tangga. Tujuannya bisa mengurangi ketergantungan warga yang mengalami kekeringan. Di Bojonegoro sendiri desadesa yang sudah membangun embung geomembran di antaranya Dusun Jintel, Desa Megale, Kecamatan Kedungadem.
Luas bangunan embung rata-rata 60x70 meter termasuk areal pendukungnya sekitar satu hektare. Proyek embung geomembran dibangun Agustus 2013. Pemerintah Bojonegoro sebelumnya telah menetapkan darurat kekeringan terhitung 1 Juli 2015.
Muhammad roqib
(ars)