Penundaan Pilkada Satu Calon Digugat

Jum'at, 24 Juli 2015 - 10:23 WIB
Penundaan Pilkada Satu Calon Digugat
Penundaan Pilkada Satu Calon Digugat
A A A
SURABAYA - Aturan mengenai penundaan pemilihan kepala daerah (pilkada) bila hanya ada satu calon kepala daerah kembali diusik.

Setelah PDIP, giliran Mohammad Sholeh, seorang advokat di Surabaya melayangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sholeh megaku telah mendaftarkan gugatan terhadap Pasal 48, 49, dan 52 Undang-Undang (UU) Nomor 8 tentang Pilkada. Dia menilai pasal-pasal tersebut mencerminkan ketidakpastian hukum.

“Sudah saya ajukan kemarin (22/7). Ini tidak ada kaitannya dengan PDIP yang juga menggugat. Mungkin materi gugatannya sama dengan saya,” kata Sholeh kemarin. Dia mengungkapkan, pada pasal 52 disebutkan syarat pilkada bisa dilaksanakan minimal dengan dua calon.

Dalam pasal pasal 48 dan 49 dinyatakan, apabila tidak mencapai minimal dua calon, masa pendaftaran akan diperpanjang 10 hari. “UU ini mensyaratkan minimal dua calon, kalau tidak tercapai dibuka perpanjangan. Tapi setelah itu mandek tidak ada solusi dihentikan, tidak dilanjutkan,” katanya.

Namun dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 12/2015 tentang Pencalonan Kepala Daerah, perpanjangan hanya dibuka selama tiga hari dan bila tetap tidak mencapai minimal dua calon, proses pilkada dihentikan dan ditunda pada 2017. Sholeh menilai KPU melampaui kewenangan.

Sebab UU tidak mengamanatkan penundaan pilkada karena tidak memenuhi syarat minimal dua calon. “Maka ini yang saya persoalkan, kenapa harus saya gugat UU Pilkada. Ini karena tidak mencerminkan adanya ketidakpastian hukum,” kata dia. Sholeh menjelaskan, dalam logika ketatanegaraan mencalonkan atau dicalonkan merupakan hak.

Bila tidak digunakan, hal itu seharusnya tidak mempengaruhi pelaksanaan pilkada. “Sama dengan pemilih yang masuk daftar pemilih tetap (DPT) yang diperbolehkan menggunakan hak pilihnya atau tidak. Tidak boleh memaksa, jika dikasih DPT tapi tidak dipergunakan bukan salah negara, yang salah pemilih,” ujarnya.

Sholeh mencontohkan apa yang terjadi di dalam pemilihan wali kota (Pilwali) Surabaya. Hingga saat ini, Tri Rismaharini berpeluang besar menjadi satusatunya calon dengan PDIP sebagai pengusungnya. Sejumlah parpol lain yang tergabung dalam Koalisi Majapahit, hingga kini belum menentukan nama calon.

“Kalau koalisi Majapahit (gabungan enam parpol) yang tidak mencalonkan ya tidak ada masalah. Koalisi Majapahit tidak salah, yang salah ya undang-undang karena tidak mengantisipasi adanya calon tunggal atau petahana yang kuat. Makanya kita gugat supaya MK memutuskan bahwa pilkada satu pasangan itu sah sepanjang dibukanya perpanjangan pendaftaran dilaksanakan,” katanya.

Sehari sebelumnya, DPC PDIP Kota Surabaya menyatakan Pasal 89 Peraturan KPU Nomor 12/2015 bermasalah. Pasal tersebut dinilai PDIP tidak menunjukkan semangat KPU untuk menyukseskan pilkada, sebaliknya malah menghambat. Kemarin PDIP telah menunjuk mantan anggota KPU Kota Surabaya Edward Dewaruci sebagai kuasa hukum.

“Gugatan sudah siap, termasuk tim advokasi baik dari internal PDIP maupun eksternal. Sesuai rencana gugatan kami layangkan ke Mahkamah Konstitusi hari ini,” kata Edward Dewaruci. Menurut dia, gugatan itu dilayangkan karena adanya kekosongan hukum dalam pelaksanaan Pilkada Surabaya 2015.

Hal ini dikarenakan sumber permasalahannya adalah munculnya Peraturan KPU (PKPU) Nomor 12 Tahun 2105 tentang pencalonan kepala daerah hasil penerjemahan KPU RI atas UU 8/2015 tentang Pilkada. UU Pilkada tersebut, lanjut dia, tidak mengantisipasi adanya kemungkinan dalam Pilkada di suatu daerah dimana dominasi calon petahana begitu kuat sehingga dalam pilkada hanya ada satu pasangan calon.

“Siapa tahu kasus ini juga terdapat di daerah-daerah lain. Kalau seperti itu tidak diantisipasi, maka bisa jadi tidak adanya kepastian hukum,” ujarnya. Tahun ini, pilkada serentak akan digelar pada 9 Desember 2015 di 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 36 kota. Pilkada serentak selanjutnya digelar pada Februari 2017 di 7 provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota.

Pada Juni 2018, akan digelar pilkada di 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota. Di Jawa Timur, akan diselenggarakan pilkada serentak di 19 kabupaten/ kota. Pendaftaran calon kepala daerah yang akan bertarung dalam pilkada serentak dimulai pada bulan Juli ini.

Waktu pendaftaran calon kepala daerah dari jalur independen telah berlangsung, dan pendaftaran calon dari partai politik dilaksanakan pada 26-28 Juli. Mendekati masa pendaftaran ini, potensi munculnya calon tunggal dalam pilkada di Jawa Timur tak hanya di Surabaya.

Sebut saja di Kabupaten Mojokerto, di mana petahana Bupati Mustofa Kamal Pasha bisa merebut dukungan hampir dari seluruh partai politik. Sementara nama yang sebelumnya disebut-sebut menjadi pesaing terkuatnya yaitu Wakil Bupati Choirun Nisa bahkan tidak mendapatkan rekomendasi pencalonan dari partainya sendiri, Nasional Demokrat (Nasdem).

Hal yang sama juga terjadi di Kota Pasuruan. Wali Kota Hasani yang kembali mencalonkan diri hampir dipastikan tak punya lawan sebanding. Lawan beratnya, yaitu Wali Wali Kota Setiyono yang juga ketua DPD II Partai Golkar Kota Pasuruan masih harus menambah dukungan di DPRD untuk bisa untuk bisa diusung. Belum lagi persoalan internal Partai Golkar yang belum tuntas.

Namun berbeda dengan Kota Surabaya, di Kabupaten Mojokerto dan Kota Pasuruan, dua petahana kuat tersebut masih mendapat perlawanan dari calon jalur perseorangan, meski diduga hanya sebagai calon “abal-abal”. Terlepas dugaan bahwa calon indenpenden ini dimunculkan demi menghindari penundaan pilkada, sudah jelas bahwa munculnya calon abal-abal ini merupakan fenomena menghadapi peraturan KPU Nomor 12/2015.

Di pihak lain, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengungkapkan, Peraturan KPU Nomor 12/2015 itu memiliki semangat agar tidak ada calon kepala daerah yang membeli dukungan dari semua partai politik. Meski demikian, ia mengaku mendengar kritik bahwa PKPU itu dapat menghambat calon petahana atau figur populer menjadi kepala daerah karena tidak ada calon lain yang berani menjadi pesaing dalam pilkada.

Saat pelaksanaan pilkada ditunda, kata Tjahjo, maka posisi kepala daerah di daerah tersebut akan diisi oleh pejabat daerah sampai ada kepala daerah terpilih. Posisi gubernur kemungkinan akan diisi oleh eselon I yang ditunjuk Mendagri, dan untuk bupati/wali kota akan dipilih Mendagri dari tiga eselon II yang diajukan gubernur. “Kalau ditunda akan dipimpin pejabat daerah dua sampai tiga tahun.

Anggaran (pilkada) yang tidak dipakai dikembalikan lagi,” kata Tjahjo di Istana Negara, Jakarta, kemarin. Di tempat yang sama Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly menuturkan, ada kekhawatiran satu calon akan didukung semua partai politik.

Karena itu dia merasa perlu untuk membatasi satu calon hanya diperbolehkan mendapat dukungan maksimal dari separuh partai politik peserta pemilu. “Tapi ini belum ada ketentuan, masih dalam pikiran kita. Kalau untuk setingkat UU, tentu dengan Perppu, tapi Pak Presiden belum berpikir soal itu,” ucap Yasonna.

Sucipto/tritus julan/ arie yoenianto/ant
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6877 seconds (0.1#10.140)