Reinkarnasi Pasar Turi Berjalan Mati Suri
A
A
A
SURABAYA - NASIB kelam pedagang Pasar Turi seperti tak ada ujung. Setelah terbakar, menunggu pembangunan, terlilit hutang, sampai terbaring di rumah sakit jiwa. Setelah menunggu hampir tujuh tahun, Pasar Turi Baru akhirnya berdiri.
Mereka kini memasuki masa reinkarnasi untuk kembali berjualan di pasar legendaris di Indonesia Timur itu, namun proses reinkarnasi tersebut berjalan mati suri. Papan nama berukuran raksasa terlihat kokoh dengan tulisan Pasar Turi Baru. Di tiap sudutnya terpasang semboyan yang akan meluluhkan hati konsumen “semakin nyaman, semakin lengkap , dan tetap murah”.
Bangunan modern delapan lantai itu yang membentang di pusat Kota Pahlawan. Lokasinya tak berubah, tetap di bekas Pasar Turi yang terbakar. Menjelang Ramadan lalu, Pasar Turi baru resmi dibuka. Keinginan pedagang yang bertahun-tahun terpuruk dalam janji-janji pembangunan kembali terobati. Mereka bergairah untuk bertemu pelanggan loyal yang dulu menghiasi hidupnya dengan mendatangkan pundipundi uang.
Reinkarnasi kembali Pasar Turi berjalan lambat. Pelanggan yang ditunggu juga tak kunjung datang. Ribuan pedagang yang mengantungkan harapan agar bisa mengangsur hutang di bank untuk membeli stan di Pasar Turi Baru harus gigit jari. Loronglorong pasar pun tetap sepi.
Pada saat pesaing utama mereka yang berdagang di Pusat Grosir Surabaya (PGS) berada tepat di depan Pasar Turi Baru terus mendulang rupiah, mereka justru tak mendapatkan penghasilan. Demikian juga dengan pedagang yang ada di pusat grosir Dupak sibuk mengemas pesanan, pedagang di Pasar Turi Baru malah duduk diam menunggu pembeli yang tak kunjung pasti.
Beberapa hari menjelang Lebaran yang harusnya jadi puncak penjualan, stan-stan di Pasar Turi Baru tak ada yang didatangi pembeli. Di tempat parkir hanya ada 21 kendaraan roda dua. Petugas parkir hanya sibuk kipas-kipas di pintu masuk sambil menunggu pengendara yang mampir ke Pasar Turi Baru. Saat masuk di lantai LG berjumlah ratusan stan hanya ada dua yang membuka gerainya.
Stan penjual alat sepeda yang ada di bagian ujung timur dan penjual alat listrik di bagian utara. Selebihnya stan ditutup tanpa ada aktivitas penjualan. Beberapa stan di bagian tengah juga memasang besar tulisan disewakan dengan menyertakan nomor telepon yang bisa dihubungi.
Muslimin, 35, siang itu datang ke Pasar Turi Baru bersama istrinya, Atiek. Pasangan suami istri (pasutri) yang tinggal di Lamongan itu ingin berbelanja baju Lebaran untuk keluarganya. Awalnya, mereka ingin datang ke PGS, namun ketika melihat Pasar Turi Baru sudah dibuka, mereka menyempatkan diri mampir.
Bagi Muslimin, Pasar Turi sudah tak asing lagi. Ia dulu pernah berbelanja rutin tas dan seragam sekolah untuk dijual kembali di desanya yang ada di Paciran. Sejak Pasar Turi terbakar, ia sudah tak mengambil lagi barang di sana. Setelah masuk, Muslimin tiba-tiba kaget.
Bangunan yang megah dan modern itu tak ada pedagangnya. Ia dan Atiek hanya mondar-mandir untuk melihat tanpa mampir ke stan yang ada. “Lah nggak ada yang jual. Kalau cuma yang buka dua stan saja, pilihannya sedikit,” ujarnya.
Di bangunan besar itu hanya ada satu eskalator saja yang difungsikan, tepatnya di bagian tengah bangunan. Sementara eskalator lainnya mati karena tak ada pengunjung yang datang. Semarak menjelang Lebaran hanya ada empat penjual baju yang memilih membuka lapak di open counter di lantai dasar. Mereka berjualan baju dan hijab.
Meskipun hari sudah siang, belum juga ada pembeli datang untuk sekadar menawar. Para penjual pun lebih memilih tiduran di lantai sambil bersenda gurau dengan sesama penjual. Beberapa penjual lainnya juga asyik bermain ponsel. “Sepi di sini. Sehari saja paling ada dua orang yang menawar. Itu pun belum tentu membeli,” ujar Aminah, salah satu penjual baju muslim.
Kondisi lebih tragis juga dialami pedagang Pasar Turi Baru di lantai G dan lantai satu. Di sana hanya ada satu penjual baju bayi yang lampunya menyala. Dua pedagang juga duduk manis tanpa ada pembeli yang datang. S ebenarnya ada acara yang dilakukan untuk menarik pembeli datang ke Pasar Turi Baru. Tepatnya di lantai G. Siang itu ada acara senam bersama yang dilakukan oleh komunitas.
Namun, yang datang hanya delapan orang. Para pedagang di sekitar acara juga tak didatangi pembeli. Di sekitar acara senam, ada pedagang batu akik, tato sulam, dan obat herbal. Namun, nasib mereka juga sama, tak ada pembeli yang datang. Mereka pun hanya dihibur dengan acara senam yang dilakukan selama dua jam itu.
Sementara di lantai satu hanya ada penjual kaos sablon yang konsisten berjualan, selebihnya stan tetap kosong dan lampu mati. Di lantai itu hanya ada petugas sekuriti yang mondar-mandir melakukan patroli. Salah satu pedagang yang memilih menutup stannya di Pasar Turi Baru, Kho Ping menuturkan, Pasar Turi Baru saat ini memang sepi karena tidak tegasnya aturan dibuat.
Pihaknya menuntut pembongkaran tempat penampungan sementara (TPS) yang ada di depan Pasar Turi Baru. Keberadaan TPS yang masih membuka lapak meskipun Pasar Turi Baru sudah berdiri menjadi penyebab sepinya penjualan di dalam. “Jelas saja pengunjung tidak mau masuk karena masih ada pedagang di TPS. Pedagang juga tidak mau masuk semua kalau stan di dalam masih saja sepi,” ujarnya.
Pedagang barang elektronik itu menambahkan, selama ini TPS menutupi sebagian gedung Pasar Turi Baru. Karena itu para pembeli tak mau masuk. Ada juga yang tak tahu kalau Pasar Turi Baru sudah buka. Sementara lalu lintas jalan di depan pasar pun terhambat karena TPS. Ia menegaskan pendapatan yang diperoleh pedagang sepi.
Setiap bulan hasil penjualan elektronik yang ditekuninya hanya meraup Rp500 ribu. Sementara dirinya juga memiliki tanggungan pinjaman di bank dengan bunga mencapai Rp2 juta per bulan. Saat ini ada 150 pedagang korban kebakaran Pasar Turi yang masih berjualan di TPS.
Dari 150 pedagang tersebut, 90 di antaranya belum lunas membayar stan di Pasar Turi Baru. Jika nanti dibongkar, dia juga meminta pemkot mengakomodasi para pedagang. Para pedagang juga sudah membuat surat kepada pengembang untuk meminta hal sama.
Caranya dengan membantu pedagang di TPS yang belum menyelesaikan pembayaran stan untuk masuk ke gedung Pasar Turi. Jika semua sudah masuk stan, para pedagang yang lain akan terdorong berjualan kembali.
Aan Haryono
Mereka kini memasuki masa reinkarnasi untuk kembali berjualan di pasar legendaris di Indonesia Timur itu, namun proses reinkarnasi tersebut berjalan mati suri. Papan nama berukuran raksasa terlihat kokoh dengan tulisan Pasar Turi Baru. Di tiap sudutnya terpasang semboyan yang akan meluluhkan hati konsumen “semakin nyaman, semakin lengkap , dan tetap murah”.
Bangunan modern delapan lantai itu yang membentang di pusat Kota Pahlawan. Lokasinya tak berubah, tetap di bekas Pasar Turi yang terbakar. Menjelang Ramadan lalu, Pasar Turi baru resmi dibuka. Keinginan pedagang yang bertahun-tahun terpuruk dalam janji-janji pembangunan kembali terobati. Mereka bergairah untuk bertemu pelanggan loyal yang dulu menghiasi hidupnya dengan mendatangkan pundipundi uang.
Reinkarnasi kembali Pasar Turi berjalan lambat. Pelanggan yang ditunggu juga tak kunjung datang. Ribuan pedagang yang mengantungkan harapan agar bisa mengangsur hutang di bank untuk membeli stan di Pasar Turi Baru harus gigit jari. Loronglorong pasar pun tetap sepi.
Pada saat pesaing utama mereka yang berdagang di Pusat Grosir Surabaya (PGS) berada tepat di depan Pasar Turi Baru terus mendulang rupiah, mereka justru tak mendapatkan penghasilan. Demikian juga dengan pedagang yang ada di pusat grosir Dupak sibuk mengemas pesanan, pedagang di Pasar Turi Baru malah duduk diam menunggu pembeli yang tak kunjung pasti.
Beberapa hari menjelang Lebaran yang harusnya jadi puncak penjualan, stan-stan di Pasar Turi Baru tak ada yang didatangi pembeli. Di tempat parkir hanya ada 21 kendaraan roda dua. Petugas parkir hanya sibuk kipas-kipas di pintu masuk sambil menunggu pengendara yang mampir ke Pasar Turi Baru. Saat masuk di lantai LG berjumlah ratusan stan hanya ada dua yang membuka gerainya.
Stan penjual alat sepeda yang ada di bagian ujung timur dan penjual alat listrik di bagian utara. Selebihnya stan ditutup tanpa ada aktivitas penjualan. Beberapa stan di bagian tengah juga memasang besar tulisan disewakan dengan menyertakan nomor telepon yang bisa dihubungi.
Muslimin, 35, siang itu datang ke Pasar Turi Baru bersama istrinya, Atiek. Pasangan suami istri (pasutri) yang tinggal di Lamongan itu ingin berbelanja baju Lebaran untuk keluarganya. Awalnya, mereka ingin datang ke PGS, namun ketika melihat Pasar Turi Baru sudah dibuka, mereka menyempatkan diri mampir.
Bagi Muslimin, Pasar Turi sudah tak asing lagi. Ia dulu pernah berbelanja rutin tas dan seragam sekolah untuk dijual kembali di desanya yang ada di Paciran. Sejak Pasar Turi terbakar, ia sudah tak mengambil lagi barang di sana. Setelah masuk, Muslimin tiba-tiba kaget.
Bangunan yang megah dan modern itu tak ada pedagangnya. Ia dan Atiek hanya mondar-mandir untuk melihat tanpa mampir ke stan yang ada. “Lah nggak ada yang jual. Kalau cuma yang buka dua stan saja, pilihannya sedikit,” ujarnya.
Di bangunan besar itu hanya ada satu eskalator saja yang difungsikan, tepatnya di bagian tengah bangunan. Sementara eskalator lainnya mati karena tak ada pengunjung yang datang. Semarak menjelang Lebaran hanya ada empat penjual baju yang memilih membuka lapak di open counter di lantai dasar. Mereka berjualan baju dan hijab.
Meskipun hari sudah siang, belum juga ada pembeli datang untuk sekadar menawar. Para penjual pun lebih memilih tiduran di lantai sambil bersenda gurau dengan sesama penjual. Beberapa penjual lainnya juga asyik bermain ponsel. “Sepi di sini. Sehari saja paling ada dua orang yang menawar. Itu pun belum tentu membeli,” ujar Aminah, salah satu penjual baju muslim.
Kondisi lebih tragis juga dialami pedagang Pasar Turi Baru di lantai G dan lantai satu. Di sana hanya ada satu penjual baju bayi yang lampunya menyala. Dua pedagang juga duduk manis tanpa ada pembeli yang datang. S ebenarnya ada acara yang dilakukan untuk menarik pembeli datang ke Pasar Turi Baru. Tepatnya di lantai G. Siang itu ada acara senam bersama yang dilakukan oleh komunitas.
Namun, yang datang hanya delapan orang. Para pedagang di sekitar acara juga tak didatangi pembeli. Di sekitar acara senam, ada pedagang batu akik, tato sulam, dan obat herbal. Namun, nasib mereka juga sama, tak ada pembeli yang datang. Mereka pun hanya dihibur dengan acara senam yang dilakukan selama dua jam itu.
Sementara di lantai satu hanya ada penjual kaos sablon yang konsisten berjualan, selebihnya stan tetap kosong dan lampu mati. Di lantai itu hanya ada petugas sekuriti yang mondar-mandir melakukan patroli. Salah satu pedagang yang memilih menutup stannya di Pasar Turi Baru, Kho Ping menuturkan, Pasar Turi Baru saat ini memang sepi karena tidak tegasnya aturan dibuat.
Pihaknya menuntut pembongkaran tempat penampungan sementara (TPS) yang ada di depan Pasar Turi Baru. Keberadaan TPS yang masih membuka lapak meskipun Pasar Turi Baru sudah berdiri menjadi penyebab sepinya penjualan di dalam. “Jelas saja pengunjung tidak mau masuk karena masih ada pedagang di TPS. Pedagang juga tidak mau masuk semua kalau stan di dalam masih saja sepi,” ujarnya.
Pedagang barang elektronik itu menambahkan, selama ini TPS menutupi sebagian gedung Pasar Turi Baru. Karena itu para pembeli tak mau masuk. Ada juga yang tak tahu kalau Pasar Turi Baru sudah buka. Sementara lalu lintas jalan di depan pasar pun terhambat karena TPS. Ia menegaskan pendapatan yang diperoleh pedagang sepi.
Setiap bulan hasil penjualan elektronik yang ditekuninya hanya meraup Rp500 ribu. Sementara dirinya juga memiliki tanggungan pinjaman di bank dengan bunga mencapai Rp2 juta per bulan. Saat ini ada 150 pedagang korban kebakaran Pasar Turi yang masih berjualan di TPS.
Dari 150 pedagang tersebut, 90 di antaranya belum lunas membayar stan di Pasar Turi Baru. Jika nanti dibongkar, dia juga meminta pemkot mengakomodasi para pedagang. Para pedagang juga sudah membuat surat kepada pengembang untuk meminta hal sama.
Caranya dengan membantu pedagang di TPS yang belum menyelesaikan pembayaran stan untuk masuk ke gedung Pasar Turi. Jika semua sudah masuk stan, para pedagang yang lain akan terdorong berjualan kembali.
Aan Haryono
(ftr)