Kerabat Petahana Boleh Ikut Pilkada

Kamis, 09 Juli 2015 - 07:35 WIB
Kerabat Petahana Boleh Ikut Pilkada
Kerabat Petahana Boleh Ikut Pilkada
A A A
JAKARTA - Polemik boleh tidaknya kerabat atau keluarga kepala daerah petahana (incumbent) maju dalam pilkada akhirnya terang.

Mahkamah Konstitusi (MK) kemarin memutuskan keluarga atau kerabat diperbolehkan mencalonkan diri dalam pilkada tanpa harus menunggu jeda satu kali jabatan dari peta-hana.

MK menilai pembatasan keluarga petahana sebagaimana tertuang di Undang- Undang Nomor 8/2015 mengandung unsur diskriminatif jika hanya didasarkan pada status kerabat dan hubungan kelahiran. “Menyatakan Pasal 7 huruf r beserta penjelasan Pasal 7 huruf r UU No 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota bertentangan dengan UUD 1945,” kata Ketua MK Arief Hidayat saat membacakan putusan di Gedung MK Jakarta kemarin.

Dalam pertimbangan putusan atas gugatan anggota DPRD Sulawesi Selatan Adnan Purichta itu, MK menilai hubungan kerabat maupun keluarga dengan petahana tidaklah mengganggu kebebasan ataupun menghalangi orang lain untuk ikut mencalonkan diri dalam pilkada. Bagi mahkamah, harusnya pembatasan ini ditujukan untuk kepala daerah itu sendiri, bukan kerabat maupun keluarga guna menghindari penyalahgunaan wewenang.

Mahkamah menilai petahana memiliki berbagai macam keuntungan seperti kebijakan dan alokasi anggaran yang bisa saja disalahgunakan untuk kepentingan dirinya atau kerabatnya. Namun MK tidak menyebutkan dengan detail pembatasan apa yang ditujukan bagi petahana itu. Untuk itu, menurut Arief, perlu dirumuskan dalam norma UU mengenai pembatasanpembatasan kewenangan apabila ada kerabat yang ikut dalam pilkada agar penyalahgu-naan keuntungan yang dimiliki petahana tidak disalahgunakan.

Dengan kata lain, pembentuk UU harus meru-muskan norma baru untuk mencegah terjadinya dinasti politik tanpa menghalangi hak seseorang untuk ikut dalam pilkada. Arief menandaskan, hadirnya Pasal 7 huruf r beserta penjelasannya dikarenakan tidak optimalnya fungsi pengawasan terhadap kepala daerah yang dilakukan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) maupun Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Sebab, jika fungsi pengawasan sudah berjalan dengan baik, kekhawatiran yang dituangkan menjadi pembatasan keluarga petahana dalam Pasal 7 huruf r tidak perlu ada.

“Problem sesungguhnya adalah tidak optimalnya mekanisme pengawasan terhadap kepala daerah petahana,” ungkap hakim konstitusi Anwar Usman dalam sidang. Bukan hanya itu, rumusan batasan waktu, yakni telah melewati jeda satu kali masa jabatan dalam penjelasan Pasal 7 huruf r juga tidak dapat dibenarkan. Sebab rumusan tersebut merupakan norma baru yang seharusnya tidak termuat dalam penjelasan.

Menanggapi putusan ini, Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarulzaman menyatakan keputusan MK sama saja membuka kelonggaran bagi petahana. Sebab alasan DPR membuat aturan larangan bagi keluarga petahana adalah untuk mencegah munculnya dinasti politik. “Kalau dihapus ya sudah, jadi peraturan KPU dan UU sudah berantakan. Jadi tidak usah pakai surat edaran (SE),” ungkap Rambe di Jakarta kemarin.

Menurut Ketua DPR Setya Novanto, karena itu putusan MK yang bersifat final dan mengikat, semua harus diikuti. DPR dalam hal ini tidak bisa mengubah walaupun persiapan di daerah sudah cukup matang mengenai pilkada serentak ini. “Seharusnya tidak ada perubahan,” ujar Novanto. KPU menandaskan siap melaksanakan putusan terbaru dari MK ini. Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay mengatakan putusan ini akan diterapkan pada penyelenggaraan pilkada tahun ini.

Pascaputusan MK, KPU akan segera melakukan perubahan atas Peraturan KPU (PKPU) Nomor 9/2015 tentang Pencalonan. Seperti diketahui, pendaftaran calon kepala daerah akan dilaksanakan pada 26-28 Juli. “Perubahan atas PKPU No 9 akan kami buat segera,” ungkap dia. Menanggapi putusan MK, anggota Bawaslu Nasrullah mengatakan, sekalipun ada aturan pelarangan politik dinasti, pihaknya tetap melakukan pengawasan secara maksimal. Dengan begitu tidak ada pemanfaatan fasilitas negara yang dimanfaatkan petahana.

“Bawaslu mengupayakan pencegahan pemanfaatan fasilitas yang dilakukan petahana untuk mempertahankan kekuasaannya melalui keluarganya,” jelasnya. Pihaknya akan bekerja sama dengan lembaga lain seperti Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). “Selain itu juga perlu penegakan hukum yang kuat. Hal ini yang menjadi tugas dari sentra Gakumdu yang terdiri atas kejaksaan, kepolisian, dan Bawaslu,” tuturnya.

Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini sangat menyayangkan putusan MK yang hanya mengakomodasi perlindungan hak politik keluarga petahana tanpa mengelaborasi lebih jauh soal konsep pilkada yang jujur, adil, dan demokratis. Putusan ini sama saja memberikan kelonggaran bagi para petahana untuk membangun dinasti politik di daerahnya. Sebab, menurut Titi, adanya aturan pembatasan jeda satu kali periode jabatan saja, para petahana rela mundur demi keluarganya bisa maju dalam pilkada.

Nyalon, PNS Wajib Mundur


MK kemarin juga memutuskan seorang pegawai negeri sipil (PNS) diharuskan mengundurkan diri dari jabatannya jika ingin mengajukan diri sebagai calon kepala daerah. Pengunduran diri secara tertulis ini berlaku apabila yang bersangkutan telah dinyatakan sebagai pasangan calon oleh penyelenggara pemilu. Aturan ini pun berlaku dalam pencalonannya di pemilu presiden dan pemilu legislatif.

Ketentuan mundur dari jabatan ini juga dikenakan terhadap anggota DPR, DPD, dan DPRD yang telah ditetapkan sebagai calon peserta pilkada oleh penyelenggara pemilu. Dengan demikian, bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD yang hendak maju dalam pemilihan kepala daerah tidak cukup sekadar memberitahukan pencalonannya kepada pimpinan.

Nurul adriyana/ dita angga/kiswondari
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3789 seconds (0.1#10.140)