Penanda Heroisme Perjuangan Arek Malang
A
A
A
Alunan suara beduk raksasa berpadu dengan kentongan kayu membahana dari sudut Masjid Sabilillah. Suaranya yang merdu menjadi penanda waktu salat magrib.
Artinya, waktu berbuka puasa pun tiba. Berselang 30 menit, giliran lonceng gereja dari menara Gereja Katolik Paroki Santo Albertus de Trapani Kecamatan Blimbing, Kota Malang, berdentang. Suara lonceng itu menandakan mulai digelarnya ibadat sore untuk umat Katolik. Dua tempat ibadah itu lokasinya berhadap-hadapan hanya terpisah Jalan Achmad Yani. Dalam suasana sore damai di kota Arek-arek Malang ditemani temaram mentari senja dan dinginnya angin pegunungan, umat dari dua agama berbeda ini saling beriringan menjalankan ibadah di tempat ibadah masing-masing.
Masjid Sabilillah yang berdiri megah di atas lahan seluas 8.100 meter persegi itu bukan sekadar masjid biasa. Masjid ini juga menjadi sebuah monumen perjuangan keberanian Arek-arek Malang tergabung dalam Laskar Sabilillahsaat berjuang merebut Kemerdekaan RI. Sesuai namanya, masjid ini dibangun sebagai penanda perjuangan LaskarSabilillah. Bangunan masjid terdiri dari beberapa bagian, yakni bangunan induk masjid, menara, dan bangunan pelengkap, seperti kantor dan tempat wudu.
Menurut Sekretaris Takmir Masjid Sabilillah, Akhmad Farkhan, sebelum dibangun masjid, lahan itu merupakan hamparan tanah kosong. Pada masa perjuangan kemerdekaan, di atas lahan ini berdiri sebuah gubuk yang menjadi markas bersama Laskar Sabilillah dan Laskar Hizbullah.
Di markas yang sederhana itu, kedua laskar tempat para Arek-arek Malang mewadahi perjuangannya sering mengatur strategi perjuangan melawan penjajah Belanda. Akhmad menuturkan, pada masa agresi militer Belanda dan pertempuran 10 November 1945, Arek-arek Malang juga turut berjuang mempertahankan kemerdekaan melalui Laskar Sabilillah dan Laskar Hizbullah.
“Laskar Sabillah dipimpin oleh KH Zainul Arifin yang akhirnya memprakarsai membangun masjid ini sebagai bentuk monumen perjuangan,” ungkap Akhmad. Rencana pembangunan masjid sebagai bentuk monumen ini sudah diawali sejak 1968. Tetapi, baru bisa terealisasi pada 1974. “Dahulu sempat ada rencana dibangun monumen perjuangan. Tetapi, akhirnya dipilih masjid karena bisa difungsikan dan berguna untuk masyarakat,” kata dia.
Bangunan masjid ini sendiri penuh dengan penanda khusus. Seperti pilar utama penyangga kubah berjumlah sembilan pilar besar yang merupakan penanda bagi Wali Songo. Di sekelilingnya dikitari pilar luar berjumlah 17 buah sebagai penanda tanggal Kemerdekaan RI. Kubah masjid berdiameter 20 meter melambangkan sifatsifat Tuhan.
Tinggi lantai hingga atap mencapai delapan meter menyimbolkan bulan Agustus. Sementara menara masjid mencapai 45 meter sebagai simbol tahun kemerdekaan 1945. Saat ini masjid yang berada di jalur utama Kota Malang itu selalu ramai dikunjungi masyarakat.
“Di sini aksesnya sangat mudah dan masjidnya sangat nyaman sehingga bisa semakin khusyuk menjalankan ibadah,” kata Wahyu, 37, warga Sawojajar, Kota Malang, yang sengaja datang untuk menjalankan salat magrib berjamaah.
Yuswantoro
Kota Malang
Artinya, waktu berbuka puasa pun tiba. Berselang 30 menit, giliran lonceng gereja dari menara Gereja Katolik Paroki Santo Albertus de Trapani Kecamatan Blimbing, Kota Malang, berdentang. Suara lonceng itu menandakan mulai digelarnya ibadat sore untuk umat Katolik. Dua tempat ibadah itu lokasinya berhadap-hadapan hanya terpisah Jalan Achmad Yani. Dalam suasana sore damai di kota Arek-arek Malang ditemani temaram mentari senja dan dinginnya angin pegunungan, umat dari dua agama berbeda ini saling beriringan menjalankan ibadah di tempat ibadah masing-masing.
Masjid Sabilillah yang berdiri megah di atas lahan seluas 8.100 meter persegi itu bukan sekadar masjid biasa. Masjid ini juga menjadi sebuah monumen perjuangan keberanian Arek-arek Malang tergabung dalam Laskar Sabilillahsaat berjuang merebut Kemerdekaan RI. Sesuai namanya, masjid ini dibangun sebagai penanda perjuangan LaskarSabilillah. Bangunan masjid terdiri dari beberapa bagian, yakni bangunan induk masjid, menara, dan bangunan pelengkap, seperti kantor dan tempat wudu.
Menurut Sekretaris Takmir Masjid Sabilillah, Akhmad Farkhan, sebelum dibangun masjid, lahan itu merupakan hamparan tanah kosong. Pada masa perjuangan kemerdekaan, di atas lahan ini berdiri sebuah gubuk yang menjadi markas bersama Laskar Sabilillah dan Laskar Hizbullah.
Di markas yang sederhana itu, kedua laskar tempat para Arek-arek Malang mewadahi perjuangannya sering mengatur strategi perjuangan melawan penjajah Belanda. Akhmad menuturkan, pada masa agresi militer Belanda dan pertempuran 10 November 1945, Arek-arek Malang juga turut berjuang mempertahankan kemerdekaan melalui Laskar Sabilillah dan Laskar Hizbullah.
“Laskar Sabillah dipimpin oleh KH Zainul Arifin yang akhirnya memprakarsai membangun masjid ini sebagai bentuk monumen perjuangan,” ungkap Akhmad. Rencana pembangunan masjid sebagai bentuk monumen ini sudah diawali sejak 1968. Tetapi, baru bisa terealisasi pada 1974. “Dahulu sempat ada rencana dibangun monumen perjuangan. Tetapi, akhirnya dipilih masjid karena bisa difungsikan dan berguna untuk masyarakat,” kata dia.
Bangunan masjid ini sendiri penuh dengan penanda khusus. Seperti pilar utama penyangga kubah berjumlah sembilan pilar besar yang merupakan penanda bagi Wali Songo. Di sekelilingnya dikitari pilar luar berjumlah 17 buah sebagai penanda tanggal Kemerdekaan RI. Kubah masjid berdiameter 20 meter melambangkan sifatsifat Tuhan.
Tinggi lantai hingga atap mencapai delapan meter menyimbolkan bulan Agustus. Sementara menara masjid mencapai 45 meter sebagai simbol tahun kemerdekaan 1945. Saat ini masjid yang berada di jalur utama Kota Malang itu selalu ramai dikunjungi masyarakat.
“Di sini aksesnya sangat mudah dan masjidnya sangat nyaman sehingga bisa semakin khusyuk menjalankan ibadah,” kata Wahyu, 37, warga Sawojajar, Kota Malang, yang sengaja datang untuk menjalankan salat magrib berjamaah.
Yuswantoro
Kota Malang
(ars)