Takjil Gratis, Saat Fakir dan Kikir Bertemu

Minggu, 28 Juni 2015 - 10:49 WIB
Takjil Gratis, Saat Fakir dan Kikir Bertemu
Takjil Gratis, Saat Fakir dan Kikir Bertemu
A A A
Bulan penuh berkah membuat Ramadan menjadi saat yang tepat untuk beramal ibadah agar berlipat pahala. Salah satu kebaikan yang banyak dijumpai adalah pembagian takjil gratis di jalan dan musala-musala.

Jumat (26/6), jam dinding menunjuk pukul 15.00 WIB. Kami harus menjemput Dilanti yang pulang les di salah satu lembaga bantuan belajar di kawasan Jalan Ambengan. Sebelum berangkat, notifikasi BlackBerry Messenger(BBM) berbunyi. “Nanti sekalian beli makanan untuk bagi-bagi takjil di sekolah,” bunyi pesan itu membuat kami sempat bingung.

Memang sebenarnya pada Kamis (25/6), Dilanti sudah memberi tahu ada tugas dari sekolah untuk mengumpulkan takjil di sekolahnya. Takjil dari para siswa itu dikumpulkan untuk kemudian, Jumat, dibagikan secara gratis di depan sekolah, Jalan Kapas Krampung. Saat Dilanti memberi tahu, kami menyanggupinya dengan estimasi memasak lebih awal untuk buka puasa agar bisa menyiapkan takjil tersebut.

Tetapi kami lupa dan BBM itu seperti menampar ingatan. Kami tetap berangkat menjemput Dilanti sambil mencari solusi cepat karena belum belanja, apalagi memasak. Waktu tidak mencukupi, sementara pukul 16.00 takjil harus dibagikan. Beruntung, solusi mendapat makanan untuk takjil itu datang, meski perut terasa lapar. Makanan itu akan kami beli di makanan cepat saji di Hi Tech Mall, kawasan Jalan Kusuma Bangsa.

Dari Ambengan, lokasi itu hanya lima menit perjalanan. Untuk menghemat waktu, kami menunggu di tepi jalan depan taman makam pahlawan, sementara Dilanti masuk ke salah satu penjual makanan cepat saji yang ada di Hi Tech Mall. Dari kejauhan, di pintu pagar tampak semacam stan dengan banyak tumpukan makanan. Kami mengira itu untuk pembagian takjil gratis.

Dilanti hanya melintasinya dan terus masuk ke Hi Tech Mall. Namun, beberapa saat kemudian terlihat seorang pengendara berhenti di depan stan itu. Orang itu memilih kotak makanan dan mengeluarkan uang dari dompetnya. Ternyata itu stan penjual takjil yang banyak sekali pelanggannya. Ah, jika tahu, dari tadi Dilanti bisa lebih cepat mendapat makanan.

Saat keluar usai membeli makanan dari resto cepat saji, Dilanti juga memerhatikan stan penjual makanan di sekitar pagar gerbang itu. “Oala,di situ tadi ada (penjual makanan). Tahu begitu tadi gaperlu antre di dalam,” celetuknya sambil menaiki sepeda motor. Kami harus bergegas ke sekolah karena waktu sudah menunjuk pukul 15.50. Dari Jalan Kusuma Bangsa, kami melintas melalui Jalan Ngaglik hingga sampai di SMP Negeri 9, Jalan Kapas Krampung.

Tiba di sana, beberapa siswa sudah terlihat di tepi jalan untuk membagikan takjil gratis. Dilanti berlari kecil masuk ke sekolah. Salah satu siswa mendekati kami untuk membagi takjil. Siswa itu tidak tahu (karena kami memakai masker). Dia mengira kami berhenti untuk meminta takjil. “Oh, maaf. Saya tidak tahu,” kata siswa itu saat kami membuka masker dan mengetahui orang tua Dilanti.

Beberapa menit menunggu Dilanti, kami menyaksikan pembagian takjil gratis itu. Makanan untuk berbuka puasa itu dibagi tentu saja untuk menyasar para fakir guna meringankan bebannya. Dari arah barat tampak melintas lelaki yang menggeret gerobak. Siswa yang ada di paling barat pun memberinya takjil. Pria itu berhenti sejenak lalu berjalan lagi. Tidak jauh, seorang siswa memberinya lagi.

Pria dengan gerobak itu terlihat menggerakkan tangan sebagai tanda penolakan. Hingga di dekat kami, pria itu diberi takjil lagi. “Maaf, tadi sudah dikasih. Terima kasih,” kata pria itu sambil tersenyum. Tapi siswa itu juga ngeyel. “Tidak apa-apa, Pak,” ujar siswa itu. Tetapi, pria itu tetap menolak. “Biar untuk yang lain saja,” ucapnya.

Pria itu pun melanjutkan perjalanan ke timur sambil membawa sebungkus takjil. Hanya berselang beberapa detik, ada pengendara motor matik keluaran terbaru melintas. Para siswa tidak memberinya takjil gratis tersebut. Mereka lebih fokus pada sopir bemo hingga tukang becak. Perempuan pengendara matik itu tiba-tiba berhenti. Tetapi, para siswa tidak ada yang menghampirinya.

Hingga kemudian pengendara itu berteriak memanggil salah satu siswi. “Mbak....saya....saya belum dapat takjil,” teriak ibu itu dari atas motor matiknya yang masih kinclong. Kami agak terperangah dan tersenyum pahit melihat peristiwa itu. Saking melongonya, sampai-sampai kami tidak tahu jika Dilanti sudah kembali.

Kami kemudian melanjutkan perjalanan menuju rumah sambil nggeremeng dalam hati. ”Lha iyo, sing mlaku nggeret gerobak menerima takjil secukupnya. Tapi sing iso beli motor baru lhak kok sampai dibelani mandek, berteriak minta dibagi takjil.”

Memanfaatkan Niat Baik

Dipandang dari kacamata apa pun, berbagi takjil gratis pada dasarnya adalah baik. Pada mulanya takjil gratis itu (mungkin) hanya ada di musala atau masjid. Target utamanya adalah para musafir, muslim yang sedang dalam perjalanan, tetapi tetap menjalankan puasa.

Tentu saja juga untuk jamaah masjid untuk sekadar membatalkan puasa dengan makanan ringan sebelum menjalankan salat. Entah sejak kapan, di kotakota besar, seperti Surabaya, banyak dilakukan pembagian takjil gratis di pinggir jalan. Pembagian ini tentu lebih banyak dilaksanakan secara acak. Jika demikian, sama artinya saat takjil dibagikan, kita belum mengetahui penerimanya itu seseorang yang berpuasa atau tidak.

“Memang berbagi, apa pun bentuknya, adalah sebuah tindakan dengan niat baik. Begitu juga berbagi takjil. Tapi kalau niat baik itu kurang tepat sasaran kan eman. Sebab di negeri ini masih banyak terjadi, orang-orang yang memanfaatkan niat baik itu. Banyak yang kikir pada dirinya sendiri padahal ia tidak fakir,” kata Wakil Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) NU Jawa Timur Mashuri, Kata Mashuri, budaya macakmelarat di masyarakat ini sungguh sangat memprihatinkan.

Mereka menggunakan modus memanfaatkan niat baik untuk meminimalisasi pengeluaran yang sebenarnya untuk dirinya sendiri. “Lhasemacam itu kan kikir pada diri sendiri. Sebenarnya mampu membeli makan, bahkan seharusnya beramal dengan berbagi, malah meminta gratisan,” katanya. Contoh lain yang konkret adalah pembagian bantuan untuk masyarakat miskin. Banyak dijumpai orangorang mampu, bahkan kaya, mendapat bantuan.

Sementara yang sesungguhnya miskin dan tidak mampu malah tidak mendapatkan bantuan. “Seperti BLT itu, tidak hanya soal validasi data. Tapi mental yang buruk. Misalnya, saat tahu mendapat bantuan uang dari pemerintah, ya jujur saja kalau tidak termasuk masyarakat miskin. Dari situ petugas kanbisa memperbaiki data mengalihkannya pada yang benar-benar miskin,” tandasnya.

Zaki zubaidi
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5698 seconds (0.1#10.140)