Kenangan Lama dalam Bingkai Lagu

Sabtu, 30 Mei 2015 - 07:48 WIB
Kenangan Lama dalam Bingkai Lagu
Kenangan Lama dalam Bingkai Lagu
A A A
Kenangan tak pernah akan hilang dalam embusan angin yang datang setiap saat. Tak akan pernah ada harga mahal untuk membangkitkan kenangan atau batas usia yang memberikan halangan orang untuk merajutnya kembali dalam memenuhi isi ruang dalam hati.

Detak jantung Rima langsung berdetak kencang ketika Ari Lasso tiba-tiba muncul dari balik panggung dengan balutan kemeja hitam dan celana hitam khasnya sejak dulu. Suaranya yang renyah langsung melemparnya dalam memori awal percintaannya tahun 1990-an dengan Hadiyasa yang malam itu duduk di sebelahnya.

Teriakan histeris langsung meluncur deras. Ia lupa kalau malam itu dirinya juga datang bersama Intan Indah Sukma, anak pertamanya yang kini sudah kuliah semester III di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Melihat ibunya histeris, Intan memilih sibuk dengan ponsel pintarnya guna merekam momen yang jarang terjadi dalam keluarganya.

Meskipun tak lagi muda, Rima masih menunjukkan ekspresi seperti dulu ketika mendengar lagu Restu Bumi yang dibawakan langsung Dewa 19 di Hall Grand City Surabaya. Lagu yang menemani masa remajanya itu seakan tetap abadi. Tangannya langsung dilambaikan ke atas dengan hentakan kaki yang tak pernah berhenti sampai lagu berhenti.

Hadiyasa juga tak kalah heroik. Sepanjang Andra Ramadhan, sang gitaris memetik senar yang melengking, ia selalu menyambutnya dengan teriakan dan suara lantang mengiringi vokal Ari Lasso. Intan pun seperti tak percaya kalau ayahnya yang dikenal tegas dan pendiam hafal semua lirik lagu dan tak malu berteriak dan ikut menyanyi sepanjang lagu dibawakan.

Puncaknya, ketika tembang Cukup Siti Nurbaya dimainkan, Rima dan Hadiyasa langsung bergandengan tangan. Intan yang ada di sampingnya hanya tersenyum kecil sambil sesekali melirik ekspresi kedua orang tuanya. “Lagu ini dulu mewakili kami dalam masa susah,” kata Hadiyasa.

Pria yang sehari-hari bekerja sebagai teknisi komputer itu mengaku perjalanan cintanya dengan Rima tak mulus. Ada halangan dari kedua keluarga yang kurang sreg dengan rencana mereka untuk menjalin cinta sampai ke jenjang pernikahan. Orang tua Rima memiliki pendapat yang berbeda ketika niat Hadiyasa mau melamar.

Apalagi, ada pilihan lelaki yang sudah disiapkan untuk mempersunting Rima. Kondisi itu membuat Hadiyasa terpuruk. Setiap malam, di kamar kosnya di Jalan Gebang Putih, Hadiyasa selalu memutar lagu Cukup Siti Nurbaya .

Lirik dan komposisi lagu yang dirilis tahun 1995 dalam album “Terbaik Terbaik” itu selalu membangkitkan semangatnya untuk tak mudah menyerah dalam mendapatkan Rima. “Saya tahu ini sulit, tapi keyakinan itu selalu datang setiap saat ketika mendengarkan lagu itu. Ini menjadi ruang kami untuk bernostalgia,” ucapnya.

Bahkan, ketika Ahmad Dhani memainkan piano untuk membawakan lagu Cintakan Membawamu Kembali , Rima meneteskan air mata. Suara Ari Lasso langsung menusuk ke hati Rima dan Hadiyasa.

Mohon tinggal sejenak; lupakanlah waktu; temani air mataku; teteskan lara; merajut asa; menjalin mimpi; endapkan sepi-sepi; cintakan membawamu....;kembali di sini; menuai rindu; membasuh perih; bawa serta dirimu; dirimu yang dulu; mencintaiku apa adanya. “Dulu ketika pertama lulus kuliah di ITS, gaji saya tak banyak. Makanya banyak pertentangan ketika ingin saya persunting Rima. Tapi semuanya tetap berjalan indah meskipun hidup kami sulit,” tuturnya.

Bagi Rima dan Hadiyasa, menyegarkan kembali kenangan lama dalam bingkai lagu terasa menyenangkan. Kehadiran buah hatinya di sampingnya kini menjadi saksi bahwa tak pernah ada yang siasia dalam berbagai keputusan berani yang diambilnya dulu.

Kekuatan musik era ‘90-an yang begitu meriah di Kota Pahlawan tak akan pernah sirna. Mereka pun rela mengeluarkan kocek besar untuk menonton kembali musik yang hadir dalam hidupnya. Hadiyasa mengaku mengeluarkan Rp3 juta untuk membeli tiga tiket untuk keluarganya. “Tak ada yang mahal dalam sebuah kenangan,” ujarnya.

Ari Lasso sendiri tetap energik seperti dulu dalam menyampaikan lagu. Sosoknya yang flamboyan bersama Dewa 19 menyihir ribuan Baladewa, sebutan penggemar Dewa 19, yang hadir malam itu di Surabaya. “Semuanya tetap sama, hanya bedanya sekarang yang datang sudah membawa anak-anaknya yang sudah remaja,” katanya disambut tepuk tangan meriah dari Baladewa.

Tak ada yang berbeda dalam konser-konser Dewa 19. Seluruh ruangan terisi penuh. Usia tak menghalangi gairah musik. Para penonton tetap ikut menyanyi, berteriak, berjingkrak, dan tentu saja menangis haru melihat dan mendengar kembali lagu yang mewakili zaman keemasan musik era ‘90-an. Penampilan mereka kini memang berbeda.

Para Baladewa yang dulunya memakai kaos oblong dan celana pendek kini tampil lebih kelimis. Setelan batik dan celana kain membalut mereka. Gaun katun pun dipadu dengan sepatu berhak tinggi. Meskipun berpakaian formal, kebiasaan mereka tetap sama dalam meresapi musik.

Mereka tetap berdiri dan meloncat dengan tinggi mengikuti lagu yang dibawakan. Bahkan, kursi-kursi yang disediakan untuk penonton kelas VIP tak membuat mereka tenang. Mereka naik ke kursi dan melupakan usia mereka yang sudah kepala empat dan lima. Mereka hanya ingat dirinya yang masih berusia 20 tahun yang masih energik.

Dengan berdiri dan melambaikan tangan, para orang tua itu masih tetap melantunkan, Semua kata rindumu semakin membuatku tak berdaya; menahan rasa ingin jumpa; percayalah padaku akupun rindu kamu; ku akan pulang melepas semua kerinduan; yang terpendam....

Aan haryono
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8839 seconds (0.1#10.140)