Kiras Bangun, Penentang Belanda dari Tanah Karo

Sabtu, 30 Mei 2015 - 05:00 WIB
Kiras Bangun, Penentang Belanda dari Tanah Karo
Kiras Bangun, Penentang Belanda dari Tanah Karo
A A A
IMING-iming uang, jabatan, dan persenjataan dari Belanda tak mampu meluluhkan hati Kiras Bangun. Berikut kisah Pahlawan Nasional dari Tanah Karo tersebut.

Jelang akhir abad ke-19, Belanda berusaha menguasai lahan milik adat atau perseorangan di wilayah Sumatera Timur. Karena tanah di Sumatera Timur semakin berkurang untuk dijadikan perkebunan, Belanda berusaha menguasai Tanah Karo, Sumatera Utara.

Selain membuka perkebunan baru, usaha menguasai Tanah Karo bertujuan mencegah sabotase yang sering dilakukan orang-orang Karo terhadap sejumlah perkebunan di Sumatera Timur.

Dalam usaha menduduki Tanah Karo, Belanda mendapat tantangan dari seorang tokoh karismatik Karo, Kiras Bangun, yang juga populer dengan sebutan Garamata.

Siapa Kiras Bangun? Tokoh ini lahir tahun 1852 di Batukarang, Payung, Karo, Sumatera Utara. Ia dilahirkan dari pasangan Tanda Bangun dan Beru Ginting.

Semasa kecilnya, Kiras Bangun tidak pernah menikmati pendidikan formal. Di masa mudanya, Kiras Bangun disekolahkan di Binjai dan menguasai bahasa Melayu serta aksara Karo. Sejak itu pula, dia dikenal sebagai tokoh muda yang melakukan pembelaan terhadap hak-hak rakyat yang ingin dirampas Belanda.

Di daerahnya, Kiras Bangun dikenal sebagai seorang penghulu dan Kepala Adat Karo Lima Senina. Sebagai kepala kampung, Kiras Bangun juga berhasil menempatkan diri sebagai sebagai juru damai berbagai sengketa antarkampung atau antarmarga yang terjadi di daerah tersebut.

Prinsip yang senantiasa dipegang dalam menyelesaikan masalah adalah membenarkan yang benar dan menyalahkan yang salah. Jika ada pihak yang ingin menang sendiri, Kiras Bangun menggertak akan menggunakan pasukannya.

Kepiawaiannya sebagai juru damai semakin terbukti ketika muncul sengketa antara Penghulu Mardinding dan Panglima Hasan dari Aceh. Untuk mempererat persatuan di kalangan masyarakat Karo, ia sering mengadakan musyawarah antarkampung maupun antarmarga.

Antipati Kiras Bangun terhadap Belanda sudah diperlihatkannya dalam Perang Sunggal (1872-1895). Beberapa kali dalam periode ini ia mengirimkan pasukannya ke Langkat untuk membantu penduduk setempat melawan Belanda.

Keterlibatan Kiras Bangun dalam perang ini dan pengaruhnya yang cukup besar di kalangan masyarakat Karo diketahui Belanda. Karena itu, sebelum memasuki Tanah Karo, Belanda berusaha menjinakkan Kiras Bangun terlebih dahulu.

Tahun 1901, Belanda mengirim seorang utusan menemui Kiras Bangun. Dia ditawari jabatan, uang, dan senjata. Syaratnya, mau bekerja sama dengan Belanda. Tawaran itu ditolak mentah-mentah.

Penolakan Kiras Bangun tidak menyurutkan niat Belanda. Tahun 1902, seorang pendeta disertai dua orang Karo yang sudah dipengaruhi Belanda, dikirim ke Kabanjahe (sekarang ibu kota Kabupaten Karo).

Kiras Bangun menafsirkan kedatangan pendeta ini sebagai taktik dan langkah awal Belanda untuk menguasai Tanah Karo. Ia pun bereaksi. Pendeta dan dua orang Karo itu diusir.

Setahun kemudian, Belanda mengirim lagi pendeta itu ke Kabanjahe dengan kawalan satu pasukan tentara. Kiras Bangun tidak tinggal diam. Dia menggalang kekuatan dengan bermusyawarah bersama kepala-kepala kampung lainnya.

Dalam musyawarah yang digelar hingga tiga kali tersebut, Kiras Bangun ditetapkan sebagai pemimpin tertinggi perlawanan. Berbagai persiapan perlawanan dilakukan, termasuk mengumpulkan senjata. Tak ketinggalan, sejumlah benteng pertahanan dibangun di beberapa tempat. Sang pendeta tersebut diultimatum meninggalkan Kabanjahe dalam waktu 15 hari.

Singkat cerita, operasi militer Belanda di Tanah Karo dimulai pada tanggal 6 September 1904 dipimpin seorang letnan kolonel. Pasukan berkekuatan 200 prajurit ini bergerak dari Bandar Baru, Sumatera Timur.

Kiras Bangun menempatkan pasukan Karo di perbukitan antara Berastagi dan Sepuluh Dua Kuta. Pimpinan pasukan Belanda pun memilih jalur lain, sehingga pasukan Kiras Bangun berada di belakang pasukan Belanda.

Pada tanggal 8 September, mereka bergerak menuju Kabanjahe. Setelah mengatasi perlawanan pasukan Karo, mereka berhasil mencapai Lingga dan selanjutnya berusaha merebut Lingga Julu.

Pertahanan pasukan Karo di Lingga Julu lebih kuat daripada pertahanan di Lingga. Namun, setelah terlibat dalam pertempuran sengit, mereka kehabisan peluru. Setelah Lingga Julu diduduki Belanda, Kiras Bangun memerintahkan pasukannya mundur ke Batukarang untuk memperkuat pertahanan di kampung kelahirannya ini.

Tapi, akhirnya Batukarang berhasil dikuasai Belanda. Setelah Batukarang jatuh ke tangan Belanda, pusat pertahanan berpindah ke Liren, Kuta Gamber, Kempawa, Pamah, dan Lau Petundal.

Daerah ini terletak di perbatasan Aceh Selatan, Aceh Tenggara, dan Tanah Karo. Pemilihan tempat ini dilakukan karena medan yang bergunung, disertai lembah yang terjal, kurang subur serta berpenduduk jarang.

Banyaknya korban berjatuhan akibat penyerangan Belanda tidak membuat pasukan Kiras Bangun menyerah. Selain "Sumpah Setia Melawan Belanda" yang yang telah mengikat mereka, semangat bertempur juga berkobar dengan motto yang selalu ditanamkan Kiras Bangun untuk terus melakukan perjuangan terhadap Belanda di mana pun, dengan apa yang dimiliki.

Saat Kiras Bangun terdesak, Belanda menawarkan Opportuniteits Beginsiel (prinsip oportunitas atau memanfaatkan situasi) untuk Kiras Bangun berunding mengambil keputusan.

Dengan berat hati, Kiras Bangun menerima tawaran yang sebenarnya adalah jebakan Belanda itu. Pertimbangan Kiras Bangun, banyak rakyatnya yang tewas menjadi korban pertempuran. Dengan tipuan yang dilakukan tersebut, Belanda berhasil memancing Kiras Bangun keluar dari persembunyiannya.

Akhirnya, Kiras Bangun dapat ditangkap, lalu dibuang di Riung, kira-kira 6 kilometer di luar Batukarang. Pada 1909, akhirnya Kiras Bangun dibebaskan, tapi tetap berada dalam pengawasan Belanda.

Selepas ditahan, Kiras Bangun tidak berhenti melakukan perlawanan terhadap Belanda. Pada 1919-1926, dengan dibantu kedua anaknya, Kiras Bangun melancarkan gerakan bawah tanah hingga memunculkan peperangan di Tanah Karo.

Perang ini mengakibatkan dirinya dan kedua anaknya dibuang ke Cipinang. Sejak itu, dari tahun 1936-1942, Kiras Bangun memilih berjuang melalui garis kemanusiaan. Meski demikian, sikap anti-Belanda tetap tertanam dalam jiwanya.

Pada 22 Oktober 1942, sang pejuang dari kaki Gunung Sinabung itu meninggal di tanah kelahirannya, Batukarang.

63 tahun kemudian, Pemerintah Republik Indonesia menganugerahi Kiras Bangun gelar Pahlawan Nasional, melalui Surat Keputusan Presiden RI No 082/TK/Tahun 2005 tanggal 7 November 2005.

Sumber:
1. pahlawancenter.com
2. bin.go.id
3. Buku Jejak-Jejak Pengasingan Para Tokoh Bangsa, penulis A Faidi, penerbit Saufa.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3901 seconds (0.1#10.140)